- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
cerita [romansa komedi si putih] desa sukadia 2


TS
sukevin
cerita [romansa komedi si putih] desa sukadia 2
Bulan mulai muncul di langit Sukadia.
Dapat dipastikan tidak orang desa pergi ke pemakaman, Putih memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Rumah Bibi penjaga makam.
Bibi penjaga pemakaman tidak mengijinkan Putih keluar di terik siang. Dan sekarang Putih sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu tidak di rumah Bibi.
Putih langsung menuju sungai desa. Salah satu tempat favoritnya untuk menyendiri dan jauh dari penampakan hantu lain. Pula ia rindu pada salah satu tempat kenangannya bersama Ari.
Setelah menuruni tanjakan dari tanah yang sudah dibentuk menjadi anak tangga, Putih berdiri di tepian aliran sungai. Raut pucat Putih langsung tersenyum ketika pertama memandang riak permukaan air. Tidak ada yang lebih menenangkannya saat ini selain aliran air sungai desa Sukadia.
Putih menoleh ke bale bambu yang berada beberapa meter darinya. Putih berniat menikmati pemandangan sungai untuk mengenang Ari sembari duduk lama di bale bambu.
Ketika hendak melangkah, sudut mata Putih menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya.
Seekor ikan mas berwarna merah cerah berenang di tepian sungai dekat kaki si Putih. Air yang bening dan cahaya bulan yang menembus hingga dasar sungai membuat ikan mas terlihat sangat hidup.
“Wow, cantiik...” lirih Putih merapat pada aliran sungai.
Putih menekuk lutut. Pemandangan ikan mas terlihat lebih nyata baginya. Sesaat kemudian muncul seekor ikan mas lain, kali ini berwarna hitam.
Dua ikan mas berenang di depan Putih.
Putih mengulurkan tangan. Telapaknya berusaha mengikuti gerak ikan. Putih tertarik untuk menyentuh ikan mas merah.
Beberapa saat tangan Putih berusaha menyentuh si ikan, Putih perlahan menarik tangannya ketika air di sekitar ikan mas hitam berangsur ikut menghitam.
Air makin hitam, mulai muncul tonjolan kepala dari dalam air.
Putih tersentak mundur, dengan cepat si pemilik kepala, hantu gaun panjang warna hitam keluar dari dalam air ke hadapan si Putih. Ikan mas merah terpental dari tubuh hantu bergaun panjang.
Putih merangkak mundur untuk menghindar. Hantu gaun panjang berusaha terus menempel dan berhasil mengunci posisi Putih.
Putih tidak lagi bisa mundur dan terhenti oleh dinding lereng. Kini Putih dan hantu gaun panjang saling berhadap-hadapan.
Hantu gaun panjang senyum menyeringai. Si Putih tak kuasa melawan apa yang ada di depannya. Putih sontak teriak, “Mbak hantu, kamu panuan, ya?! Jidat kamu berwarnaaa... aaa…!”
Putih tidak menyangka, teriakannya yang menggema berhasil memukul mundur hantu gaun panjang. Hantu gaun panjang kemudian terbang mundur menjauh dengan pandangan terus mengawasi Putih.
Sesampai seberang sungai, hantu gaun panjang coba mengancam Putih. Hantu gaun panjang mengintimidasi Putih dengan menyalakan kedua matanya.
Putih tertegun melihat kedua mata hantu gaun panjang yang menyala merah.
Putih mencoba bangkit dengan pandangan waspada pada hantu gaun panjang yang bersiap menyerangnya lagi.
Untuk memberi kesan seram, Hantu gaun panjang mengganti warna matanya dari merah menjadi biru.
“…?” Putih bingung.
Dan tak lama, hantu gaun panjang kembali mengganti warna matanya menjadi merah.
“…?”
Kali ini Putih membuang sikap waspadanya, kemudian memasang wajah muak. “Mata kelap-kelip? Yang merah lah, yang biru, lah? Apaan, norak…”
Putih menjauh dari aliran sungai untuk menaiki tangga. Ia siap meninggalkan area sungai. “Lebih baik aku pergi, biar dia aja yang menguasai sungai ini. Makan tuh air!”
Petang ini Putih terpaksa mencari tempat untuk mengenang Ari tidak di tempat yang menjadi kesukaannya. Pilihan Putih untuk menghabiskan malam tidak banyak, Putih memutuskan ke pemakaman.
“Kelincahan lari si kelinci tidak mampu ditandingi akselerasi maksimal kaki si kura-kura. Si kelinci berhasil menginjakkan empat kakinya di garis finis jauh dari kura-kura yang tidak kunjung muncul untuk menyelesaikan lomba lari.
Bosan menunggu dan jenuh sendiri, si kelinci memutuskan untuk menjemput si kura-kura, Kelinci tidak sabar ingin menyombongkan diri bahwa dialah hewan tercepat di hutan.
Melihat kura-kura yang masih belum putus asa dan tetap gigih menggapai finis, kelinci mendadak lupa untuk berbangga diri. Si kelinci justru menemani kura-kura berjalan sambil mengajak ngobrol, sampai akhirnya mereka menyundul pita garis finis bersama.
Kelinci dan kura-kura merasa obrolan mereka sepanjang lomba banyak yang cocok. Mereka sepakat, rumput lebih cantik jika merah muda, pohon kelapa seharusnya warna ungu, dan kuda jalannya mundur. Tentu hutan akan lebih berwarna.
Sejak itu, kelinci yang bernama asli rabbit itu tidak lagi ragu untuk mengagumi kesabaran gerak lamban kura-kura. Di sisi lain, kura-kura yang bernama asli turtle juga terpukau pada pandangan hidup si Kelinci yang selalu berada di jalur cepat.
Si Kelinci dan Kura-kura pun berikrar untuk sehidup semati. Tamat. Happy ending.”
Kisah klasik kelinci dan kura-kura yang keluar dari bibir kekasihnya [Ari, penulis novel asli desa Sukadia] itu pernah terdengar manis di telinga si Putih. Romantika dengan kadar improvisasi yang ekstrim itu tidak akan pernah dilupakan Si Putih. Romansa dengan akhir yang bahagia itu yang membuat Putih masih menyimpan asa untuk bisa kembali bersama kekasihnya, walau dunia mereka kini telah berbeda.
Putih hanya ingin bisa kembali bahagia, di daerah kecil yang terletak di kaki bukit Pamijahan bernama desa Sukadia. Desa dimana orang-orang membicarakan penampakan putihnya.
Dapat dipastikan tidak orang desa pergi ke pemakaman, Putih memutuskan keluar dari tempat persembunyiannya. Rumah Bibi penjaga makam.
Bibi penjaga pemakaman tidak mengijinkan Putih keluar di terik siang. Dan sekarang Putih sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu tidak di rumah Bibi.
Putih langsung menuju sungai desa. Salah satu tempat favoritnya untuk menyendiri dan jauh dari penampakan hantu lain. Pula ia rindu pada salah satu tempat kenangannya bersama Ari.
Setelah menuruni tanjakan dari tanah yang sudah dibentuk menjadi anak tangga, Putih berdiri di tepian aliran sungai. Raut pucat Putih langsung tersenyum ketika pertama memandang riak permukaan air. Tidak ada yang lebih menenangkannya saat ini selain aliran air sungai desa Sukadia.
Putih menoleh ke bale bambu yang berada beberapa meter darinya. Putih berniat menikmati pemandangan sungai untuk mengenang Ari sembari duduk lama di bale bambu.
Ketika hendak melangkah, sudut mata Putih menangkap sesuatu yang menarik perhatiannya.
Seekor ikan mas berwarna merah cerah berenang di tepian sungai dekat kaki si Putih. Air yang bening dan cahaya bulan yang menembus hingga dasar sungai membuat ikan mas terlihat sangat hidup.
“Wow, cantiik...” lirih Putih merapat pada aliran sungai.
Putih menekuk lutut. Pemandangan ikan mas terlihat lebih nyata baginya. Sesaat kemudian muncul seekor ikan mas lain, kali ini berwarna hitam.
Dua ikan mas berenang di depan Putih.
Putih mengulurkan tangan. Telapaknya berusaha mengikuti gerak ikan. Putih tertarik untuk menyentuh ikan mas merah.
Beberapa saat tangan Putih berusaha menyentuh si ikan, Putih perlahan menarik tangannya ketika air di sekitar ikan mas hitam berangsur ikut menghitam.
Air makin hitam, mulai muncul tonjolan kepala dari dalam air.
Putih tersentak mundur, dengan cepat si pemilik kepala, hantu gaun panjang warna hitam keluar dari dalam air ke hadapan si Putih. Ikan mas merah terpental dari tubuh hantu bergaun panjang.
Putih merangkak mundur untuk menghindar. Hantu gaun panjang berusaha terus menempel dan berhasil mengunci posisi Putih.
Putih tidak lagi bisa mundur dan terhenti oleh dinding lereng. Kini Putih dan hantu gaun panjang saling berhadap-hadapan.
Hantu gaun panjang senyum menyeringai. Si Putih tak kuasa melawan apa yang ada di depannya. Putih sontak teriak, “Mbak hantu, kamu panuan, ya?! Jidat kamu berwarnaaa... aaa…!”
Putih tidak menyangka, teriakannya yang menggema berhasil memukul mundur hantu gaun panjang. Hantu gaun panjang kemudian terbang mundur menjauh dengan pandangan terus mengawasi Putih.
Sesampai seberang sungai, hantu gaun panjang coba mengancam Putih. Hantu gaun panjang mengintimidasi Putih dengan menyalakan kedua matanya.
Putih tertegun melihat kedua mata hantu gaun panjang yang menyala merah.
Putih mencoba bangkit dengan pandangan waspada pada hantu gaun panjang yang bersiap menyerangnya lagi.
Untuk memberi kesan seram, Hantu gaun panjang mengganti warna matanya dari merah menjadi biru.
“…?” Putih bingung.
Dan tak lama, hantu gaun panjang kembali mengganti warna matanya menjadi merah.
“…?”
Kali ini Putih membuang sikap waspadanya, kemudian memasang wajah muak. “Mata kelap-kelip? Yang merah lah, yang biru, lah? Apaan, norak…”
Putih menjauh dari aliran sungai untuk menaiki tangga. Ia siap meninggalkan area sungai. “Lebih baik aku pergi, biar dia aja yang menguasai sungai ini. Makan tuh air!”
Petang ini Putih terpaksa mencari tempat untuk mengenang Ari tidak di tempat yang menjadi kesukaannya. Pilihan Putih untuk menghabiskan malam tidak banyak, Putih memutuskan ke pemakaman.
“Kelincahan lari si kelinci tidak mampu ditandingi akselerasi maksimal kaki si kura-kura. Si kelinci berhasil menginjakkan empat kakinya di garis finis jauh dari kura-kura yang tidak kunjung muncul untuk menyelesaikan lomba lari.
Bosan menunggu dan jenuh sendiri, si kelinci memutuskan untuk menjemput si kura-kura, Kelinci tidak sabar ingin menyombongkan diri bahwa dialah hewan tercepat di hutan.
Melihat kura-kura yang masih belum putus asa dan tetap gigih menggapai finis, kelinci mendadak lupa untuk berbangga diri. Si kelinci justru menemani kura-kura berjalan sambil mengajak ngobrol, sampai akhirnya mereka menyundul pita garis finis bersama.
Kelinci dan kura-kura merasa obrolan mereka sepanjang lomba banyak yang cocok. Mereka sepakat, rumput lebih cantik jika merah muda, pohon kelapa seharusnya warna ungu, dan kuda jalannya mundur. Tentu hutan akan lebih berwarna.
Sejak itu, kelinci yang bernama asli rabbit itu tidak lagi ragu untuk mengagumi kesabaran gerak lamban kura-kura. Di sisi lain, kura-kura yang bernama asli turtle juga terpukau pada pandangan hidup si Kelinci yang selalu berada di jalur cepat.
Si Kelinci dan Kura-kura pun berikrar untuk sehidup semati. Tamat. Happy ending.”
Kisah klasik kelinci dan kura-kura yang keluar dari bibir kekasihnya [Ari, penulis novel asli desa Sukadia] itu pernah terdengar manis di telinga si Putih. Romantika dengan kadar improvisasi yang ekstrim itu tidak akan pernah dilupakan Si Putih. Romansa dengan akhir yang bahagia itu yang membuat Putih masih menyimpan asa untuk bisa kembali bersama kekasihnya, walau dunia mereka kini telah berbeda.
Putih hanya ingin bisa kembali bahagia, di daerah kecil yang terletak di kaki bukit Pamijahan bernama desa Sukadia. Desa dimana orang-orang membicarakan penampakan putihnya.
Diubah oleh sukevin 08-03-2015 12:18
0
1.3K
2


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan