“adoooohh...ini macet kenapa sih..”,
“..ini PKL koq membabi buta begini jualannya di trotoar sampe-sampe buat jalan aja susah”,
“..ini parkir koq sembarangan begini,jelas-jelas ada rambu larangannya ”,
“..ini sampah udah lama banget gak diangkut-angkut,bikin bau gak enak tiap lewat sini ”,
dan masih banyak lainya celotehan yang kita dengar tentang kota yang kita sebut dengan Jakarta. Jujur gan, Ane pun termasuk dalam berceloteh demikian.

Jadinya malah memunculkan prasangka-prasangka dan stigma buruk yang berlebihan mengenai pemerintah yang gak tanggap dan cepat dalam menangani permasalahan masyarakat atau malah budaya masyarakat yang juga berlaku tidak ‘senonoh’, se-simpel itu bukan??

Pada kenyataannya, jawaban pertanyaan tersebut tidak sesimpel itu. Godaan untuk berlaku semaunya sendiri daripada mematuhi aturan masih besar dan menggiurkan. Kita sudah dibuat terlena oleh kebiasaan yang penuh dengan ‘kemudahan’ tersebut. . Tanpa disadari, secara kolektif kita sudah menciptakan gelembung raksasa yang bernama ‘comfort zone’.
“halaaah orang cuman sebentar doang parkirnya.. ”,
“ yaaah pak kalo Ane gak jualan anak istri Ane mau makan apa.. ”,
“ yang lain juga buang sampah sembarangan,emang Ane doang apa ? “ dan berjuta dalih yang bakal dikeluarkan demi menyelamatkan pembenaran mereka.

Sedangkan yang di ujung nun jauh sana,
“ santai dulu aah..mumpung gak ada yang ngawasin “ ,
” halaaaaah baru juga jam segini..entar-ntaran aja..”,
“ bilang aja sama pak Gubernur udah ditertibkan gitu “,
dan masih banyak juga juga omongan para petugas (yang mungkin tidak semuanya) yang tidak amanah dengan tugasnya.
Kenapa malah jadinya ada simbiosis mutualisme antara masyarakat dengan aparatur pemerintahan dalam permasalahan yang ada di Jakarta?, yang satu seenaknya karena gak ada yang ngawasin, yang satunya lagi seenaknya ngelanggar aturan tanpa takut hukuman karena udah ‘comfort zone’ bangeeet.

Disadari atau tidak, terkadang kita pasti pernah melakukan ritual pelanggaran ini. Siklus ini berlangsung terus-menerus, hingga Ane pun merasa perlu memutus siklus ini, setidaknya dengan dimulai dengan kesadaran Ane sendiri sebagai masyarakat. Contoh paling kecil aja deh dan bisa diterima nalar kalian, banjir sudah berulang-ulang terjadi,bener kan. cuman, kita tidak pernah kapok dan bisa mengubah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Jangan salahkan pemerintah yang memang tidak becus merancang tata ruan kota. Jangan salahkan warga yang tinggal di bantaran kali kota. Salahkan saja kebiasaan kita membuang sampah sembarangan!!,Puas?!!


Trus kan Ane mulai iseng-iseng mencari-cari setidaknya musti ada yang memotivasi masyarakat macam Ane ini untuk menjadi lebih baik .
Ada gak suatu inovasi untuk memunculkan inisiatif-inisiatif perubahan sosial yang lebih baik, dengan menggunakan teknologi seluler?,
inovasi yang berkolaborasi guna memberdayakan masyarakat dalam menggali potensi perangkat seluler sebagai medium penggerak upaya sosial untuk kehidupan yang lebih baik?
Pencarian Ane berakhir pada satu aplikasi yang dibuat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,Namanya Qlue.

Kalo ane bisa deskripsiin setelah liat-liat, Qlue uatu sistem yang dihadirkan oleh anak negri sebagai bentuk keresahan sekaligus kepedulian dan tanggung jawab dalam pembangunan kotanya. Qlue merupakan salah satu elemen dari apa yang disebut Smart City, juga sebagai bentuk upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mendorong warga makin melek teknologi informasi.

Ane pribadi melihat dalam aplikasi ini masyarakat diajak untuk menjadi Citizen journalism serta penyambung lidah ke Pemerintah DKI Jakarta. Penyampaian keluhan masyarakat yang tentunya mengenai dinamika persoalan yang terjadi di Jakarta. Masyarakat juga bisa mengetahui sejauh mana pemerintah bisa menyelesaikan masalah melalui aplikasi Qlue tersebut.

Ane berharap menjadi salah satu pionir yang membentuk sejarah dunia,hahahaha.. sumpah, ini bukan harapan muluk Ane setidaknya Ane mulai dari kota yang Ane cintai ini, Jakarta. Kalian?