namida.Avatar border
TS
namida.
Jokowi, Presiden Atau Calo Aset Negara?
Menanggapi rencana Presiden Ir. Joko Widodo melalui menteri BUMN dan Pertamina untuk menaikan harga Liquified Petroleum Gas (LPG) 12 KG menjadi Rp. 175.000 per tabung bersamaan dengan kenaikan harga premium dan penghapusan premium menyebabkan seorang warga masyarakat yang berprofesi supir taksi mengungkap rasa frustrasinya dengan mengatakan: “Kalau begini, bunuh saja masyarakat!!,” sebab menurutnya hasil kerja yang dia dapat bisa habis hanya untuk kebutuhan dapur dan ongkos angkutan umum sehingga pengeluaran dalam sebulan malah jauh lebih besar daripada gaji yang dia peroleh sebagai supir taksi (http://nasional.republika.co.id/beri...aja-masyarakat).

Rencana kenaikan BBM secara terselubung melalui penghapusan premium dan pencabutan subsidi kereta api ekonomi sehingga harga melonjak sampai 400%, menaikan tarif dasar listrik 1.300 watt, serta kepastian kenaikan suku bunga KPR sebesar 3% per Januari 2015, masih diikuti dengan meroketnya harga sembilan bahan pokok, misalnya harga cabai yang mencapai Rp. 100.000,00 per kilo sampai seorang Yusril Izha Mahendra menyindir supaya masyarakat meminta kartu diskon ke Presiden Ir. Joko Widodo. Memang Menteri Perdagangan Rachmat Gobel telah berjanji untuk menurunkan harga cabai, tapi bila kita bisa belajar dari janji dan realisasi Jokowi dan anak buahnya, maka kita sampai pada kesimpulan bahwa janji Menteri Perdagangan tersebut tidak layak dipercaya dan hanya pemanis di bibir atau lip service sehingga kita tidak perlu bermimpi harga sembako akan turun sesuai janji; belum lagi bila kita mengingat Presiden Jokowi telah menghapus program beras miskin.

Semua kebijakan dari Jokowi selama dua bulan pemerintahannya jelas telah menyengsarakan rakyat sebagaimana dideskripsikan di atas, yang sebenarnya bertentangan dengan tugas dan kewajiban Jokowi sebagai Presiden, serta bertentangan dengan janji kampanye untuk mensejahterakan rakyat berdasarkan prinsip Trisakti-nya dari Presiden Soekarno. Bahkan Rizal Ramli, seorang pendukung Jokowi sampai terkejut dengan semua kebijakan anti rakyat dan menyengsarakan rakyat tersebut dan berkata: “Kok yang dihajar rakyat menengah bawah? Mas Jokowi, apa ini yang dimaksud dengan perubahan? Kok, tega amat?,” Rizal Ramli juga berkata:

“Lebih penting mana penampilan fisik yang merakyat atau kebijakan ekonomi yang berpihak untuk rakyat? Menyakitkan jika hanya penampilan merakyat, tetapi kebijakan tidak berpihak kepada mayoritas rakyat. Pemimpin jika hanya dikelilingi pedagang, apalagi KKN pula, kebijakannya hanya pro-bisnis, investors dan bond holders, lupa dengan rakyat yang memilihnya..“

http://www.intelijen.co.id/pak-presi...nama-merakyat/

Sebagaimana diakui oleh Rizal Ramli, bahwa kebijakan Presiden yang dia dukung ternyata hanya tidak merakyat, tidak berpihak kepada mayoritas rakyat, hanya dikelilingi oleh pedagang, KKN, pro bisnis sehingga lupa kepada rakyat yang memilihnya. Namun demikian Rizal Ramli juga lupa bahwa dari sejak pilpres, orang-orang yang berpikiran maju telah berusaha untuk mengingatkan para pendukung Jokowi yang terbuai oleh penampilan sederhana dan merakyat dari Jokowi bahwa semua itu hanya kamuflase dan bahwa Jokowi sesungguhnya tidak peduli pada rakyat sebab dia adalah orang yang berambisi menjadi presiden sampai rela menjadi boneka pihak manapun selama mendukung ambisinya tersebut; dan sampai tahap itu, Jokowi dipilih oleh para cukong-cukong yang bermaksud menguras kekayaan alam negara ini untuk kemakmuran mereka. Bahkan Jusuf Kalla,Wakil Presiden yang dipilih oleh Jokowi adalah saudagar dan rekam jejaknya mencatat ketika dirinya menjadi Wakil Presiden bagi Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, dia sengaja mengalihkan banyak proyek pemerintah bagi kepentingan anak-anak perusahaan miliknya, yaitu Kelompok Usaha Bosowa dan Bukaka.

Selain membuat kebijakan yang tidak pro rakyat atau dalam bahasa yang lebih tepat: kebijakan anti rakyat, faktanya kebijakan Jokowi dalam dua bulan terakhir lebih dipusatkan kepada “bagi-bagi kue” kursi kekuasaan dan kemakmuran kepada para pendukungnya, contoh, 16 menteri dari 34 Menteri Kabinet Kerja adalah elit parpol pendukung, sedangkan sisanya adalah menteri yang berlatar belakang elit non partai politik tapi sebelumnya mendukung pencalonan Jokowi seperti Anies Baswedan, Susi Pudjiastuti dll; Chandra Hamzah yang mana kantornya Assegaf Hamzah & Partners mendukung pencalonan Jokowi sekarang menjadi Komisaris PT PLN, demikian pula dengan Sofyan Basyir menjadi Dirut PT PLN, belum lagi Diaz Hendropriyono, anak AM Hendropriyono dan Ketua organisasi Sahabat Jokowi, menjadi Komisaris PT Telkomsel, dan masih banyak lagi yang lain.

Dari konteks bahwa kebijakan Jokowi memang lebih diarahkan untuk kepentingan pengusaha atau pihak yang bisa memberinya kekuasaan seperti IMF yang memuji Jokowi atas “keberanian” menaikan harga premium, ketimbang mayoritas masyarakat kecil maka kita bisa lebih memahami alasan Jokowi membiarkan nilai dolar menguat hingga Rp. 12.400,00, yang bahkan pernah hampir mencapai Rp. 12.800,00, maka kita bisa memahami latar belakang keputusan Jokowi dan menteri-menteri di bidang perekonomian dan perdagangan yang tergabung dalam Kabinet Kerja alias Kabinet Pencitraan seperti berlomba-lomba menjual aset-aset negara dan memilih membayar negara-negara asing ketimbang memaksimalkan hasil produk negeri sendiri. Seorang Jusuf Kalla bahkan sudah memastikan bahwa dia akan menyerahkan proyek-proyek infrastruktur negara kepada swasta.

Kendati demikian, swasta di sini bukan sembarang swasta, tapi swasta asing, seperti rencana Jokowi “merombak” PT PLN yang memiliki wewenang penuh mengatur distribusi listrik di Indonesia dan mengalihkannya kepada asing, bahkan bila perlu dengan pemberian tax holiday atau insentif lain. Tidak heran, Ahmad Daryoko dari Konfederasi Serikat Pekerja BUMN Strategis segera meradang dan dengan sinis menyindir Jokowi adalah calon perusahaan asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia: “Presiden Jokowi hanya berposisi sebagai broker bagi General Electric, HBB, Siemens, Alstom, Hyundai, China Electric, dll, dan bukan penerus cita-cita founding fathers dengan visi Trisakti dan Nawacita; padahal ‘jualan’ saat kampanye adalah itu jargonya.”

Bukan itu saja, tetapi Jokowi juga mengambil alih rekomendasi dari Tim Khusus Reformasi Tata Kelola Migas yang membiarkan PT Pertamina Energy Trading, Ltd atau yang disebut Petral untuk terus beroperasi, padahal berhembus dugaan bahwa ketua Timsus tersebut, Faisal Basri sudah masuk angin. Tuduhan tersebut didasarkan pada fakta bahwa sebelum ini, Faisal Basri kencang menuding Petral sebagai sarana mafia migas untuk melanggengkan importasi minyak yang kian tahun kian membengkak karena BBM masih disubsidi; tapi sekarang dia malah berkata bahwa kedudukan Petral sangat dibutuhkan sebab tanpa Petral yang melakukan trading, maka Indonesia akan kesulitan mengadakan BBM. Luar biasa, patut diketahui bahwa rencana memaksa semua orang miskin untuk mengkonsumsi Pertamax yang harganya dinilai dengan harga pasar itu adalah berdasarkan rekomendasi Faisal Basri, manusia tipe pagi kedelai sore tempe ini. Bahkan Menteri ESDM Sudirman Said juga mendukung kesimpulan Faisal Basri mengenai Petral dengan membela anak perusahaan Pertamina ini.

Sifat tidak nasionalis dan tidak patriotis dari Jokowi semakin tampak jelas ketika menjelang pencapresan, tepatnya bulan April 2014, dirinya telah memberikan leher kepada negara-negara asing ketika dia bertemu dubes-dubes negara imperialis demi mengemis dukungan (http://www.tribunnews.com/pemilu-201...leher-ke-asing). Tidak heran bila kebijakan-kebijakan Jokowi setelah menjabat seolah sedang membalas jasa kepada para imperialis sekalipun hal tersebut merugikan dan menyakiti perasaan rakyat Indonesia. Kita bisa mengambil contoh keputusan Jokowi menaikan harga Premium yang hanya menguntungkan SPBU asing padahal harga minyak dunia justru sedang anjlok drastis dan merugikan rakyat kecil; keputusan Jokowi menjual kursi direksi BUMN kepada orang asing; keputusan Jokowi menjual aset negara berupa gedung BUMN; keputusan Jokowi membeli 1.500 kapal dari China ketimbang memberdayakan PT PAL atau PT Adhiluhung atau PT Dhumas padahal terakhir kali Jokowi mengimpor bus dari China ternyata hasilnya rusak semua; membiarkan dolar menguat dan Rupiah melemah, bahkan JK dengan sinis mengatakan rupiah memang loyo dan lain sebagainya.

http://politik.kompasiana.com/2014/1...ra-712560.html
0
8.2K
98
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan