Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mimin.tandinganAvatar border
TS
mimin.tandingan
Habib Rizieq : Perlawanan Umat Islam Jakarta Tidak Akan Berhenti Sebelum Ahok Lengser


Di tengah suasana sejuk Mega Mendung, Bogor, Jawa Barat, Jumat pagi, 21 November lalu, Habib Muhammad Rizieq bin Husein Shihab, 49 tahun, tidak banyak membicarakan isu panas politik Jakarta. Sambil lesehan di Pesantren Agrokultural, yang baru dibangun di kawasan Puncak tersebut, Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) ini banyak berbincang seputar pengelolaan pertanian dengan para tamunya yang sudah membeludak. Ada pengusaha, mantan pejabat kementerian pertanian, dan tamu lainnya.

Dua bulan terakhir, FPI pimpinan Habib Rizieq terlibat ketegangan politik seputar pelantikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sebagai Gubernur DKI Jakarta. FPI yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) menolak Ahok ditetapkan sebagai gubernur, menggantikan Joko Widodo. Sisi lain, Ahok merekomendasi pembubaran FPI.

Rizieq menjelaskan beberapa alasan menolak Ahok. Pertama, FPI berkeyakinan, pemimpin bagi umat Islam harus muslim. Pandangan demikian, kata Rizieq, dilindungi konstitusi. Kedua, Ahok dinilai melanggar etika. ''Kalimatnya kasar, tidak etis, gayanya seperti preman,'' kata Habib Rizieq kepada GATRA.

Ketiga, Ahok dipandang menghina institusi DPRD ketika polemik RUU Pilkada. ''Kalau yang menghina rakyat kecil, udah dijeblosin itu di penjara. Mentang-mentang Ahok yang menghina, itu dibiarkan,'' ujar Rizieq. Keempat, FPI berkeyakinan, berdasarkan Perppu 1/2014 tentang Pilkada, Wagub tidak otomatis menjadi gubernur. Polemik isu ini tengah dimintakan fatwa Mahkamah Agung.
Seusai berbincang santai, doktor bidang syariah dari Universitas Sains Islam Malaysia (USIM) ini mempresentasikan pengajian di layar proyektor. Setelah Salat Jumat, Habib mengajak tamu makan bersama di gazebo. Setelah makan, wartawan GATRA Andi Anggana dan pewarta foto Rifki M. Irsyad mewawancarainya seputar penolakan FPI terhadap pelantikan Ahok. Berikut petikannya:

Mengapa FPI menolak pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta?

Jadi pertama yang sudah disampaikan bahwa ana (saya) tidak boleh memungkiri yang pertama dan paling utama FPI menolak Ahok karena faktor syarat kepemimpinan dalam Islam. Syarat kepemimpinan bagi umat Islam, harus Islam. Ini bagi kami harga mati. Karena bagi FPI dalam perjuangannya, bahwa ayat suci itu selalu di atas ayat konstitusi. Tidak dibalik. Jadi ini yang perlu ana garis bawahi, jadi ana nggak perlu bersembunyi atau malu-malu mengatakannya. Kita terus terang saja, emang alasannya yang pertama dan utama itu.

Jadi anda mengatakan semua pemimpin di negeri ini harus Islam?

Jadi begini, ana tidak mengatakan bahwa pemimpin harus Islam. Tapi yang dikatakan dari FPI, pemimpin itu harus diangkat dari mayoritas. Apapun agamanya. Di Bali mayoritas Hindu, angkat pemimpin Hindu. Yang kita nyatakan, kita harus menjunjung tinggi asas proporsionalitas.

Jadi kalau di Bali agama Hindu, taruhlah orang Hindu jadi gubernur. Nggak usah orang Islam mencalonkan diri, KPU musti tolak calon-calon Islam. Di NTT mayoritas Kristen, biarkan mayoritas jadi gubernur. Jagalah keharmonisan kita sebagai bangsa.

Begitu juga di Manado, banyak Katolik, jadikan disana gubernur yang Katolik. Kan jadi harmonis. Nah Jakarta kan mayoritas Islam, ya berikan pimpinannya dari orang Islam dong. Apa salah kalau FPI punya pendapat seperti itu, itukan asas proporsional. Kalau scope nasional, pemimpin itu harus diambil kalangan mayoritas.

Artinya memang itu alasan menolak Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta?

Dia bikin aturan pelarangan kurban, itu kan rasis. Kenapa jadi kita yang dibilang rasis? Jadi kalau FPI menolak orang kafir jadi gubernur, ya wajar. Islam juga ditolak di Bali, ya wajar. Ana nggak marah kalau orang Islam ditolak di Bali, ya wajar. Siapa suruh mau jadi gubernur di Bali. Jadi jangan kita paksakan.

Konsep proporsional dan mayoritas itu berasal dari mana?

Dari zaman Soeharto. Memang dari dulu memperhatikan asas proporsional. Pak Harto tidak pernah kan ngangkat gubernur di Bali dari kalangan Islam, nggak ada. Ngangkat Kristen di Jakarta? Nggak ada. Karena memang itu bertentangan dari asas proporsional.

Bukankah alasan itu berbau SARA?

Walaupun pihak lain mengatakan itu SARA, ya itu urusan mereka. Yang penting kita bicara prinsip dulu, karena kita berpegang teguh pada ajaran agama sesuai dengan keyakinan kita. Itu dijamin konstitusi. Pasal 29 ayat 2, jangan lupa, kita ini berpegang pada ajaran agama sesuai dengan keyakinan kita, dilindungilah dengan konstitusi.

Jadi kalau disebut SARA, berarti konstitusinya SARA dong? Alasan konstitusional menolak Ahok?

Ada dalam UUD 1945 pasal 18b, dimana ada adat istiadat dan tradisi yang masih berlaku dalam masyarakat, dan itu dilindungi UU. Nah adat istiadat masyarakat Betawi itu identik dengan Islam. Jangan lupa, dimana ritual keagamaan Islam, ibadah dalam Islam, itu sudah berurat berakar menjadi tradisi masyarakat betawi. Ini kan dilindungi UU juga. Jadi kalau masyarakat betawi yang otentik adalah Islam kemudian tidak mau dipimpin oleh diluar Islam, itu dilindungi UU.

Jadi jangan dulu menuduh kami SARA seolah-olah pihak lain berbicara konstitusi. Justru kami berbicara landasan iidil dan kontitusionil NKRI. Jadi dengan tegas, kami sampaikan bahwa Pancasila sebagai landasan iidil dan UU 45 sebagai landasan konstitusi 45, itu memberikan payung hukum yang jelas dan memberikan jaminan bagi setiap umat beragama untuk menjalankan ibadah, syariat dan ajarannya. Apalagi agama Islam, yang menjadi mayoritas agama di republik ini. Jadi sangat konstitusional kalau FPI menolak Ahok sebagai gubernur DKI karena faktor agama. Sangat konstitusional.

Jadi secara konstitusional, landasan hukum pelantikan Gubernur itu jadi tidak sah, begitu maksudnya?

Kita juga punya dasar-dasar konstitusi yang sangat kuat untuk menuntut pelengseran Ahok. Pertama, kalau kita kembali pada UU tentang Pemda, disana ada pasal-pasal tentang etika seorang pejabat. Etika gubernur, wakil, bupati dan wakilnya. Ini ada dalam UU. Nah sekarang bukan hanya FPI, tapi sudah menjadi keresahan banyak orang di Jakarta bahwa Ahok ini tidak beretika. Kalimatnya yang kasar, tidak etis, gayanya yang seperti preman dan sebagainya.

Berarti ini kan melanggar UU. Kalau melanggar UU, tentu harus ada sanksi dong. Jadi kalau kemudian FPI menolak Ahok sebagai Gubernur DKI, itu karena faktor etika, dan itu juga termasuk konstitusi. Kita boleh lihat UU No. 32 Tahun 2004, UU No. 24 Tahun 2014 atau kita lihat UU lainnya yang menyangkut etika seorang pejabat.

Bahkan dalam UU Pemda, disebutkan juga bahwa seorang pejabat gubernur atau wakil gubernur harus menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma agama dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Dan juga disitu disebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur harus mampu menjaga stabilitas politik yang menyangkut keamanan dan kenyamanan.

Nah, Ahok dengan tingkah lakunya, bukan hanya pernyataan dengan gayanya yang preman, tapi beberapa produk peraturan yang dikeluarkan itu, secara rill dilapangan telah menimbulkan kerusuhan. Seperti intruksi gubernur yang dikeluarkan Ahok pada saat menjadi Plt, yaitu intruksi No. 67 Tahun 2014, itu menyebabkan kerusuhan di Tanah Abang. Ada korban, berarti dia tidak memenuhi perundang-undangan tadi.

Ini fakta bukan fitnah. Yang kita tanyakan, kenapa pemerintah pusat termasuk DPRD menutup mata dari ini. Kenapa Mendagri dan presiden menutup mata dari ini. Nggak mendidik dong, kalau ada pejabat, yang secara kasat mata sudah melanggar konstitusi, melanggar tata tertib, melanggar perundang-undangan dan etika, dibiarkan. Bahkan diangkat menjadi gubernur.

Ini menjadi preseden buruk ke depan. Ini yang mau dilawan oleh FPI. Jadi buat apa itu UU dibuat, kalau nggak dilaksanakan. Kemudian juga Ahok sudah terang-terangan menghina lembaga negara, yaitu DPRD. Bukan hanya DPRD DKI yang dihina tapi seluruh DPRD. Dan itu diekspose oleh televisi, dikatakannya dengan sombong, "Ah DPRD semua, bisanya main golf dan saya nggak mau jadi budak DPRD". Tingkah apa begitu?

Loh kok DPRD tidak tersinggung, sudah dihinakan. Itu kalau yang menghina begitu, umpamanya rakyat kecil, itu udah dijeblosin itu, dipenjara. Nah mentang-mentang seorang Ahok yang menghina, itu dibiarkan? Ini kan pemandangan tidak sedap. Dimana konstitusi dan aturan perundang-undangan kita dilanggar secara kasat mata secara demonstratif dan konfrontatif itu, dibiarkan. Ada pembiaran, ini yang mau dilawan oleh FPI. UU kan bukan buat FPI saja, UU kan buat semua. Kalau FPI melanggar, kan sudah mempertanggungjawabkan, siapa laskar FPI yang berbuat salah, tangkap adili dan penjara. Kita nggak pernah kebal hukum. Sekarang kita juga meminta diperlakukan sama.

Apa itu menjadi dasar FPI melakukan pergerakan untuk menolak pelantikan Gubernur DKI Jakarta?

FPI kemudian ikut dalam Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ). Mereka menawarkan usulan rekonsiliasi antara KMP dan KIH. Usulannya sangat realistis, logis, masuk diakal dan win-win solution. Dan berdiri atas dasar Perppu No. 1 Tahun 2014. Kita kalau mau jujur, bicara Perppu itu dalam Pasal 173 yang bicara intinya. Adalah jika gubernur berhenti atau diberhentikan, maka wakil gubernur tidak serta merta menjadi gubernur.

Ini anak kecil pun faham, itu nggak perlu penjelasan dari MA, nggak perlu penjelasan MK, anak lulus SD pun faham maksudnya. Jadi maksud kita jangan masalahkan ini, artinya pemerintah jangan lebay. Redaksi yang sudah jelas lalu diributkan ke MK atau MA. Ini sudah jelas.

Dengan demikian, kalau kita pegang pakai ini, Jokowi berhenti dari gubernur maka Ahok tidak serta merta bisa menjadi gubernur. Walaupun juga tidak serta merta kita tolak. Harus ada proses. Bagaimana prosesnya, lihat pasal 174, disana jika gubernur yang berhenti atau diberhentikan, dan sisa jabatannya masih lebih dari 18 bulan, maka gubernur dipilih oleh DPRD.

Nah sekarang, kita bicara Jokowi, masa jabatannya masih ada berapa lama, lebih 18 bulan. Beliau punya masa jabatan 5 tahun, baru jalan 2 tahun, sisa 3 tahun. 3 tahun itu lebih 18 bulan, jadi pasal 174 menjelaskan syaratnya. Yaitu kalau kurang 18 bulan maka wagub menjadi gubernur. Ini karena lebih, maka gubernur dipilih dari DPRD.

Kenapa DPRD nggak menyelenggarakan itu? Mustinya gelar pemilihan dong. Jadi ada dua pasal tuh yang dilanggar dan pasal itu pun jelas terang benderang, nggak perlu fatwa manapun. Nah sekarang masih ada pasal 168, yang menyebutkan, jika provinsi berpenduduk lebih dari 10 juta, maka dia berhak punya 3 wakil gubernur.

Dengan demikian kedepan, Ahok tidak menjadi satu-satunya wakil gubernur. Harus ada 3 wakil gubernur yang mewakili gubernur, kita tuntut ini diterapkan dong. Kan Jakarta lebih maju, lebih 10 juta penduduknya. Jadi buat apa presiden buat Perppu kalau Perppu itu tidak dilaksanakan. Lah kan, selama ini PDIP yang menyambut Perppu begitu.

Kita jujur saja, begitu RUU Pilkada KIH ini yang dilokomotifin sama PDIP kalah sama KMP, kan mereka gegap gempita gembira begitu presiden keluarkan Perppu. Nah kenapa ketika Perppu keluar, justru mereka yang langgar. Ini nih pendidikan yang nggak baik buat masyarakat. Kita bicara legitimasi nih, kita bicara perundang-undangan. Jadi kita dari FPI minta terapkan dong UU, soal nanti yang dipilih Ahok atau bukan, itu kan mekanisme.

Wakilnya harus ada 3 nggak boleh satu lagi. Nggak bisa Ahok serta merta menjadi gubernur gitu aja. Nah sekarang alasan Mendagri dalam pasal 203 di Perppu, disini Mendagri tidak boleh korupsi UU. Di pasal 203, disebutkan jika gubernur yang berhenti dan diberhentikan, dulu diangkat melalui UU 32 Tahun 2004, maka wakil gubernur otomatis jadi wakil gubernur.

Itu yang mereka pakai. Jadi mereka bilang, ini kan disebutkan kalau gubernur berhenti, otomatis wakil jadi gubernur, betul. Tapi ada syarat? Di pasal 203 disebut syaratnya, kalau diangkat dengan UU No. 32 Tahun 2004. Sementara Jokowi diangkat dengan UU No. 29 Tahun 2007, karena pemerintahan ibukota negara. Pasal di dalam UU No. 32 Tahun 2004 itu buat pemerintahan daerah selain Jakarta.

Dulu berlaku buat Jakarta, sebelum 2007. Tapi ditahun 2007 Jakarta sudah punya UU sendiri. Karena Jakarta Ibukota negara, makanya berbeda sendiri. Di UU No. 32 Tahun 2004, itu bila seorang kandidat dalam putaran pertama dapat 30% suara, nggak perlu masuk putaran kedua, dia langsung menang.

Tapi dalam UU No. 29 Tahun 2007, harus 50% plus 1. Makanya Jokowi pas di Jakarta itu putaran pertama sudah 30% lebih tapi nggak bisa disebut menang, harus putaran kedua, itu bukti. Andaikata Jakarta pakai UU No. 32 tahun 2004 mustinya putarannya cuma sekali, selesai. Tapi kenapa nggak menang, karena pakai UU No. 29 Tahun 2007, dibuka lagi dong.

Buka di KPU-nya, dibuka pelantikan Jokowi dan Ahok. No. 29 Tahun 2007 berarti pasal 203 tidak berlaku untuk kasus Ahok dan Jokowi. Kenapa KIH ngotot pakai pasal itu untuk melantik Ahok menjadi gubernur. Ini kan pembodohan, bukan mereka bodoh, mereka mau membodohi rakyat.

Sebetulnya mereka ngerti, cuma mereka kutak katik biar mencari pembenaran. Ini yang kita mau lawan. Nah saya sesalkan banyak media cetak dan elektronik tidak pernah menjelaskan isi kandungan Pasal 203. Media cuma angkat bila gubernur berhenti, wakil menjadi gubernur, media cuma angkat begitu saja. Kalau begitu bunyinya, maka pasal 203 dengan 173-174 nggak sejalan. Iya dong, yang 173 bilang nggak otomatis, yang ini bilang otomatis, bertentangan dong. Padahal Pasal 173 mutlak tanpa syarat.

Bukankah Perppu belum disahkan DPR?

Oh enggak, salah. Perppu itu langsung berlaku begitu dibuat sebelum dibatalkan oleh DPR. DPR kan sudah setuju dengan UU Pilkada, UU itu kan belum bisa diberlakukan, sementara UU pIlkada yang lama sudah dibatalkan. UU Lama batal, UU lama yang baru belum disahkan, berarti ada stagnan dan kekosongan perundang-undangan, itu peran Perppu.

Perppu mengisi kekosongan itu. Jadi selama DPR belum bahas, dia berlaku langsung. Makanya PDIP menyambut dengan gembira, dia merasa ini kemenangan buat dia. Tapi pada akhirnya, jadi bumerang buat dia. Ini yang jadi persoalan.

Sampai kapan Perppu berlaku, sampai DPR membahasnya. Kalau DPR menolak, berarti batal Perppu, dan berlaku UU yang disepakati. Tapi kalau setuju, maka Perppu jadi UU. Jadi saat ini yang berlaku Perppu bukan UU No. 32 Tahun 2004, itu sudah batal, nggak ada urusan sama dia.
Apakah FPI mendorong terjadi impeachment untuk Ahok di DPRD? Lewat mekanisme apa?

Jauh sebelum pelantikan itu, FPI sudah mendatangi Kemendagri, yang sebelumnya Pak Gamawan Fauzi. Kita juga sudah datang ke DPRD, bahkan ngomongin itu . Jadi saat itu, kita sampaikan pelanggaran-pelanggaran per pasal-pasal. Yang intinya, kita minta hak interpelasi. Secara umum, dari KMP menyambut baik, dari KIH masih pikir-pikir ketika itu. Tapi mereka tidak bisa memungkiri, ini memang fakta. Kemudian kita konsultasi ke Kemendagri, artinya FPI mengikuti jalur konstitusi.

Kalau FPI (ingin) inkonstitusional, turunin 10.000 laskar, bakar balai kota, selesai. Ini FPI datang ke DPRD menyampaikan pendapat dan ke Kemendagri melakukan konsultasi. Dan kita tahu mekanismenya. Jadi memang mekanisme interpelasi itu dilaporkan dulu ke DPRD dengan bukti-bukti.

Nah kalau sudah, maka DPRD berhak mengajukan hak interpelasi, cukup 16 orang, kalau tanda tangan setuju interpelasi, selesai. KMP lebih dari 16. Waktu itu KMP berjanji bahwa dia akan menggunakan hak interpelasinya. Tapi dia perlu kajian yang mendalam pada penguatan bukti-bukti.

Kita berikan waktu. Dari situ, kalau 16 ini sudah melakukan hak interpelasi, tergantung hasilnya, kalau tidak memuaskan, kita bisa gunakan hak angket yang akan menuju kepada impeach. Dan itu dibenarkan oleh kementerian dalam negeri. Dimana di Kemendagri, kalau sudah ada keputusan dari DPRD, maka DPRD akan menyurati Kemendagri dan ke MA. Itu waktunya hanya 14 hari setelah diajukan ke MA. Harus ada jawaban MA, kalau itu dikabulkan, ya sudah, finish. Ini yang sedang FPI tempuh. Terus FPI tempuh.

Jika bisa lewat konstitusi, mengapa kemudian terjadi tindakan anarkis FPI ketika demo?

Entah bagaimana terjadi keributan Tanggal 3 Oktober lalu. Itulah yang diekspose media tentang kekerasan FPI, lalu berujung pada pembubaran FPI. Sebetulnya, itu hanya pengalihan isu dari lengserkan Ahok menjadi pembubaran FPI.

FPI sendiri tidak punya agenda rusuh, karena itu FPI minta kepada DPRD untuk membentuk Pansus. Kita lihat polisi atau FPI yang salah?

Jangan kira polisi itu malaikat yang nggak pernah punya salah. Dan kita pikir polisi itu nabi yang maksum, enggak. Kalau itu memang kesalahan dari pihak polisi, mereka yang memprovokasi, umumkan dong ke publik.

Bagaimana cerita versi FPI sendiri?

Artinya ada keganjilan saat peristiwa tersebut. Ana tidak ada dilapangan, tapi ana dapat laporan dari FPI Jakarta bahwa akan ada demo di depan Balaikota. Dan mereka mengirimkan surat pemberitahuannya ke kepolisian, no problem kan.

Nah sekarang kita pelajari indikasi saja? Nah dalam pelaporan ke Polda Metro, itu aksi depan balai kota, bukan di DPRD. Ini musti dicatat, nggak ada itu di depan DPRD, suratnya ada. Yang kedua dari fakta lapangan, mereka dari pawai FPI di Petamburan sampai ke DPRD pakai Patwal.

Begitu mereka kawal, kok pas di depan DPRD, mereka (patwal polisi) berhenti. Sekarang ana mau tanya, kalau depan berhenti, apa mereka (laskar FPI) bisa jalan, nggak bisa. Begitu distop, ada petugas turun, silakan orasi disini. Diarahkan.

Tapi ada oknum polisi bilang, sama saja disini untuk orasi. Nah, disinilah anak-anak kita yang kurang berpengalaman, karena nggak bisa membantah, akhirnya mereka ikut aksi. Polisi melanggar protap karena menyuruh berhenti ditempat yang bukan sepersetujuan. Maka jangan anggap polisi langsung benar.

Selain itu, keganjilannya, polisi buka pintu gerbang DPRD, ada apa? Ana 16 tahun pengalaman demo dilapangan, selama demo, sebelum kita datang, pintu gerbang sudah ditutup, minimal ada satu baris polisi. Tapi sekarang polisi buka dan duduk-duduk ditaman. Ini perangkap tikus, kalau ana ada dilapangan, ana tarik.

Anak-anak nggak paham itu dan terjebak. Siapa juga yang nyambit duluan? Untuk membuktikannya, secara kebetulan, CCTV mati, polisi ngakuin itu, ada apa? Sementara CCTV di dalam gedung hidup semua, sehingga kita kita tidak punya bukti siapa yang nyambit duluan. Nah kalau sudah begitu, nggak bisa dong main nyalahin FPI aja. Sebagaimana FPI nggak bisa main nyalahin polisi. Sama-sama kita cari bukti siapa yang nyambit duluan.



Lantas kira-kira pihak mana yang menjadi dalang jebakan tersebut?

Jadi keterlibatan Ahok pun musti diperiksa, pansus harus memeriksa keterlibatan Ahok. Karena Ahok bicara di TV, itu kalau pendemo-pendemo datang semprot aja sama bensin. Kan dia ngomong begitu. Kalau datang, tembak mati saja ditempat.

Artinya, kita minta periksa, karena ada pernyataan permusuhan yang disampaikan oleh seorang pejabat yang meminta polisi untuk bertindak semacam itu. Boleh dong kita minta Ahok diperiksa, jangan-jangan Ahok yang setting semua.

Walaupun kita tidak menuduh, tapi ada indikasi, ada apa Ahok dengan Kapolda, ada apa? Nah kita minta juga minta DPRD periksa. Tapi karena DPRD-nya pro Ahok jadi nggak jalan nih Pansus. Pansus mandek karena dijegal oleh Ketua DPRD Prasetyo, itu dari PDIP. Jangan-jangan Ketua DPRD terlibat juga, ini kan settingan politik.



Settingan politik untuk apa?

Ya artinya untuk memuluskan Ahok dilantik. Kalau nanti beritanya bubarkan FPI, orang nggak perhatian Ahok jadi gubernur. Ini politik. Makanya setelah itu, FPI kita kumpulkan dan briefing, supaya tahu mana perangkap tikus dan jebakan. Makanya demo kemarin aman semua.





0
10.5K
66
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan