shantikemAvatar border
TS
shantikem
Alhamdulillah, Kedaulatan Rakyat spt Kehendak Sila ke 4 Pancasila, akhirnya Menang!
Pilkada Kembali ke DPRD, PKS: Ini Kemenangan Rakyat
Jumat, 26/09/2014 05:37 WIB

Jakarta - Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid mengklaim pengesahan RUU Pilkada dengan mekanisme pemilihan lewat DPRD merupakan kemenangan rakyat. Pilkada lewat DPRD justru akan memperkecil peluang penyimpangan pelaksaan pemilihan.

"Kami yakin ini kemenangan demokasi untuk rakyat. Tragedi seperti kemarin (25/9) Gubernur Riau (Annas Maamun) ditangkap tangan KPK lagi-lagi hasil Pilkada langsung," kata Hidayat di Gedung DPR, Jumat (26/9/2014).

Karena itu diyakini Pilkada melalui DPRD akan melahirkan pemimpin-pemimpin daerah yang punya integritas lebih baik dibanding hasil pemilihan langsung. "Kami ingin pemimpin bermartabat, melalui koreksi Pilkada ini salah satunya melalui DPRD," sambungnya.

Masyarakat menurut Hidayat tak perlu khawatir dengan sistem Pilkada via DPRD. Sebab DPR telah menyiapkan UU yang dilengkapi pasal-pasal aturan mengenai pelaksanaan Pilkada.

"Kami buat pasal koreksi, misal dipastikan seluruh mekanisme dijauhkan dari money politics. Jika terjadi maka kandidat didiskualifkasi, anggota DPRD dipecat, dipidanakan," jelasnya.

Melalui lobi politik panjang dan drama kericuhan anggota dewan, Paripurna mengesahkan RUU Pilkada opsi pemilihan lewat DPRD dengan jumlah suara hasil voting sebanyak 226 anggota.

Sementara di kubu berseberangan, jumlah suara anggota dewan pro Pilkada langsung kalah telak meski mendapat dukungan tambahan dari 11 anggota Fraksi Golkar dan 6 anggota Demokrat.
http://news.detik.com/read/2014/09/2...?991104topnews

NU: Pilkada langsung rusak "jiwa" Indonesia
Rabu, 10 September 2014 22:08 WIB

Surabaya (ANTARA News) - Para ulama di kalangan Nahdlatul Ulama (NU) menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan anggota legislatif secara langsung itu merusak "jiwa" Indonesia, karena itu masyarakat harus kembali pada pilkada tidak langsung.

Pilkada dan pemilihan anggota legislatif langsung itu mungkin bermanfaat (kebaikan) tapi manfaatnya lebih sedikit daripada mudharat (kerusakan), kata Rais Syuriah PWNU Jatim KH Miftachul Akhyar kepada Antara di Surabaya, Rabu.

Menanggapi RUU Pilkada yang menimbulkan polemik terkait pilkada langsung dan tidak langsung, ulama asal Kedungtarukan, Surabaya itu menyatakan PBNU telah membahas hal itu dalam Munas Alim Ulama NU di Cirebon pada 15-17 September 2012.

"Jadi, NU sudah lama membahas soal itu. Para ulama NU sepakat untuk kembali kepada pemilihan tidak langsung, karena para ulama harus mencegah terjadinya kerusakan yang lebih besar," kata pengasuh Pesantren Miftachussunnah, Kedungtarukan, Surabaya itu.

Menurut dia, kerusakan besar yang tampak di depan mata ada tiga hal dengan adanya pemilihan secara langsung yakni perpecahan masyarakat, politik biaya tinggi yang menghalalkan segala cara, dan permainan opini yang tidak mendidik masyarakat awam politik.

"Perpecahan itu sangat merusak, karena terjadi antara santri dengan kiai, antar-santri, antar-kiai, antar-saudara, antar-suku, antar-tokoh. Sekarang saja ada koalisi X dengan tim Y yang akan bertikai habis-habisan dari pusat (DPR) hingga daerah (DPRD kabupaten/kota), apa kurang merusak?" katanya.

Hal yang tidak kalah merusak adalah pemilihan secara langsung mendorong politik biaya tinggi, sehingga calon pemimpin akan menghalalkan segara cara dengan korupsi atau dikenal dengan KKN. "Buktinya, kepala daerah atau legislator sudah banyak yang masuk penjara," katanya.

Selain pemimpin, politik biaya tinggi juga merusak rakyat, karena pemilihan secara langsung tidak lagi ditentukan dengan pertimbangan rasional, melainkan "riswah" (politik uang atau money politics). "Bukan rahasia lagi, calon bupati X yang memberi Rp10.000 akan kalah dari calon Y dengan Rp15.000," katanya.

Bahkan, permainan opini lewat media massa yang tidak imbang akan mengarahkan pemilih yang awam seperti mayoritas masyarakat Indonesia menjadi tidak rasional. "Pancasila sudah jelas mengakomodasi pemilihan secara perwakilan, tapi opini yang muncul justru menuduh sila keempat itu tidak demokratis," katanya.

Walhasil, katanya, berbagai kerusakan itu betul-betul merusak "jiwa" Indonesia, karena kerusakan terjadi pada semua sektor, karena perpecahan merusak masyarakat, politik demokratis berbiaya tinggi merusak tatanan negara yang bersih, dan opini merusak ideologi Pancasila.

"Kalau pemilihan tidak langsung dianggap merusak DPR/DPRD, saya kira hal itu hanya ada pada zaman Orde Baru, sedangkan pada era demokratis akan sulit terjadi, karena sudah ada KPK, PPATK, LSM, dan lembaga-lembaga pengawas lainnya," katanya.

Ditanya sulitnya pilpres dilakukan secara tidak langsung, karena sudah diatur dalam amandemen UUD 1945, ia mengatakan perbaikan itu memang tidak bisa dilakukan secara ideal, tapi bukan berarti perbaikan harus ditinggalkan.

"Karena itu, perbaikan harus dilakukan pada tingkatan yang paling mungkin dulu. Nabi Muhammad SAW sendiri menyebutkan perpecahan atau kerusakan itu identik dengan kekufuran, meskipun bukan kekufuran dalam konteks iman," katanya.
http://www.antaranews.com/berita/452...jiwa-indonesia

Sila Keempat Pancasila Tegaskan Pilkada Lewat DPRD
Wednesday, 17 September 2014, 16:00 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, PAMEKASAN -- Sila keempat yang tercantum dalam Pancasila yang selama ini menjadi dasar falsafah bangsa ini mengamanahkan permusyawaratan dan perwakilan, kata anggota DPRD dari Partai Amanat Nasional Pamekasan, Hosnan Achmadi.

"Kalau dikaji dari sisi susunan kalimatnya, sebenarnya permusyawaratan dalam bentuk perwakilan adalah titik tekan dari sistem demokrasi yang diingin pada sila keempat itu," kata Hosnan Achmadi di Pamekasan, Rabu.
Dengan demikian, katanya, sebenarnya yang lebih pas dalam memilih pola pemilu, apabila mengacu kepada ketentuan tektual sila keempat adalah dalam bentuk perwakilan, yakni dipilih oleh wakil rakyat.

Meskipun, sambung Hosnan, kata perwakilan sebagaimana yang tertulis pada sila keempat itu sebenarnya masih bersifat umum tidak mengarah pada pilkada bupati dan wakil bupati sebagaimana yang menjadi gagasan sebagian politikus di negeri ini.
"Selain itu, musyawarah, sebagaimana tertuang dalam sila keempat Pancasila itu hanya bisa dilakukan oleh lembaga, yakni parlemen, bukan semua masyarakat," katanya.

Mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Malang ini lebih lanjut menjelaskan, pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi yang dilakukan langsung oleh rakyat adalah dengan suara terbanyak, dan kurang memungkinkan dengan cara musyawarah, yang sebenarnya menjadi titik tekan amanah demokrasi di negeri ini.

Berbeda, katanya, ketika penentuan pemimpin, baik calon bupati, wakil bupati ataupun gubernur dan wakil gubernur melalui wakil rakyat di DPRD.
"Kalau melalui lembaga legislatif, maka masih memungkinkan untuk dilakukan musyawarah mencapai mufakat," katanya menjelaskan.
http://www.republika.co.id/berita/na...ada-lewat-dprd


Sila Keempat
Jum'at, 19 September 2014 | 01:43 WIB

Pancasila sudah banyak dihafal. Kalaupun masih ada yang salah mengucapkan, itu terjadi pada sila keempat yang berbunyi: "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan."

Sila ini juga membingungkan dalam membaca kata-kata "permusyawaratan/perwakilan" itu. Apakah dengan "permusyawaratan atau perwakilan" atau "permusyawaratan garis miring perwakilan"? Apalagi Orde Baru memperkenalkan singkatan bergaya militer sehingga "garis miring" dibaca "garing". Bayangkan kalau kata itu dibaca: "permusyawaratan garing perwakilan". Aneh tapi benar.

Lalu apa arti tanda "/" itu? Ketika saya mengikuti Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) tingkat nasional pada 1994, saya tak mendapat penjelasan yang tegas dari mentor. Ada pendapat garis miring itu berarti "atau" dan ada yang berpendapat "dan/atau". Wah, yang terakhir ini lagi-lagi ada garing (eh, garis miring) yang biasa dalam bahasa hukum. Jadi, apakah kebijaksanaan yang diambil harus dalam bentuk musyawarah dan perwakilan, atau musyawarah saja dan perwakilan saja sama-sama benar?

Sila keempat ini sekarang kembali disebut-sebut dalam kaitan dengan RUU Pilkada. Koalisi Merah Putih (KMP), yang mengusung pilkada lewat DPRD, menggunakan sila keempat ini sebagai dasar argumentasi. Karena itu, RUU Pilkada disebutnya cermin demokrasi Pancasila.

KMP mau kembali ke Orde Baru. Pada era itu, presiden pun tidak dipilih oleh rakyat. Apakah Soeharto dipilih oleh MPR? Tidak. Soeharto tak mau ada pemilihan. Setelah MPR sah disebut "perwakilan", Soeharto ditunjuk dengan "musyawarah". Dia lalu menunjuk sendiri wakil presiden dan MPR memutuskannya dengan kata sakti: "tercapai musyawarah-mufakat bulat". Tak boleh ada lonjong sedikit pun.

Pernah ada pimpinan partai yang (pura-pura) membelot, yakni Dr. J. Naro. Ketua Umum PPP ini mencalonkan diri (hanya) sebagai wakil presiden. Banyak orang mengira ini akan jadi "sejarah baru", ada pemilihan wakil presiden. Tapi Soeharto kesal dan menjelang MPR melakukan "musyawarah", nama J. Naro tak disebut lagi sebagai calon wakil presiden. Naro cukup puas dengan membuat kartu nama: "mantan calon wakil presiden".

Demikianlah Soeharto memaknai sila keempat Pancasila, persis suara KMP sekarang, meskipun pemilu presiden tak disebut karena masih dalam koridor pilkada. Kira-kira apa yang ada dalam benak Bung Karno ketika melahirkan Pancasila? Bung Karno dalam pidatonya menyebutkan Pancasila digali dari bumi Indonesia.

Dalam kearifan budaya lokal Nusantara, pemimpin memang mengutamakan musyawarah-mufakat lewat perwakilan. Pada masyarakat adat Bali, misalnya, warga berkelompok dalam perwakilan. Perwakilan terendah bernama tempekan, di atas itu banjar, di atasnya lagi desa. Ketua adat, yang disebut bendesa, dalam merumuskan kebijakan cukup bermusyawarah dengan ketua-ketua perwakilan. Dengan demikian, warga tak harus terlibat dalam banyak rapat.

Namun dalam memilih pemimpin dari tingkat terendah sampai tertinggi, rakyat memilih secara langsung. Cara memilih pemimpin seperti ini juga lazim bagi masyarakat adat di luar Bali. Nah, kalau Bung Karno menggali Pancasila dari kearifan budaya lokal ini, mungkin sila keempat dimaksudkan bukan untuk memilih pemimpin. Disebut "mungkin" karena Bung Karno tak bisa lagi diwawancarai, kita hanya bisa belajar dari perjalanan sejarah bangsa.
http://www.tempo.co/read/kolom/2014/...4/Sila-Keempat

------------------------------------

Dampak buruk yang paling dirasakan dari model Pilihan Langsung ala Amrik ini, bahwa setelah 10 tahun berjalan, politik uang menjadi alat utama pemenangan pilihan rakyat, bukan lagi ditentukan oleh hati nurani rakyat. Seorang cukong dengan dana yang cukup besar, bisa memenangkan jagonya yang maju pilkada, sehingga cukup banyak cukong-cukong di negeri ini punya "piaraan" kepala daerah dengan segala kewajiban 'pay back' dari kepala daerah ybs kepada si cukong, kalau dia dimenangkan dalam pilkada akibat curahan duit si cukong. Petualangan si cukong itu mulai menjadi masalah, ketika diketahui pula bahwa para cukong yang suka menjadi 'sponsor utama' dalam setiap momen pilkada itu, tenyata mulai mendapat supply "pembiayaan" dari "investor asing" di luar negeri sana. Tentu kedaulatan bangsa ini bisa tergadaikan akibatnya.

Jadi, kembali ke sistem demokrasi ala Sila ke 4 Pancasila seperti yang telah diajarkan ara "Foundhng Father" NKRI selama ini, adalah jalan keluar terbaik bagi bangsa kita ke depannya. Termasuk kelak pemilihan Pilpres langsung itu, ada baiknya MPR bersidang untuk mengamandemen UUD 1945 bab Presiden, dimana pemilihan Presiden dan Wapres dikembalikan fungsinya pada hak daripada MPR, bukan dikebiri seperti seperti saat ini. MPR-lah selaku Majelis Permusyaratan Rakyat yang Tertinggi, yang berhak memilih Presiden dan Wakilnya. Bukan model seperti sekarang ini, sistem"one man, one vote", dimana suara seorang pembokat disamakan nilainya dengan suara seorang professor misalnya!



emoticon-Cape d... (S)
Diubah oleh shantikem 25-09-2014 23:55
0
10.9K
195
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan