- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Terrifying Story: Cerpen "Lain"


TS
widka
Terrifying Story: Cerpen "Lain"
Quote:

Quote:
LAIN


Quote:
PENDAHULUAN
Thread ini berisi kumpulan cerita-cerita pendek yang bikin bulu kuduk agan meremang.
Quote:
LAIN
-Story by-
Budi Rachman
2014
“Srek.. srek.. srek.. srek.. srek”
Suara berisik itu membuat Iis terbangun dari tidurnya dan meneliti sumber suara. Sebelum melihat, ia kemudian tahu bahwa itu suara orang yang sedang menggosok gigi. “Gerakannya kasar. Siapa yang punya gesture demikian?” Barangkali pertanyaan itulah yang terlintas dalam benaknya barang sejenak. Tapi ketika menyadari bahwa tidak ada orang lain selain ia dan suaminya hidup di rumah ini, pertanyaan itu berakhir di imajinya saja.
“Ayah udah pulang,” pikirnya.
Ia melihat jam digitalyang berpendar kehijauan di meja sudut kamar, pukul sebelas malam. Lantas dengan cermat berjalan mendekati sumber suara. Hanya sekedar memastikan bahwa apa yang dipikirnya tidak keliru. Ketika sampai di kamar mandi, ia mendapati pintunya terbuka dan melihat wujud pria yang sedang menggosok gigi dengan gerakan yang terburu-buru. Pria itu memunggunginya, sehingga Iis tidak bisa mengidentifikasi rupa-rupa wujud itu dengan jelas.
“Bisa rontok gigimu nanti, sayang,” kata perempuan itu tanpa memastikan identitas pria di depannya. Ia tertawa kecil.
Tanpa menoleh, pria yang diajak bicara itu meludah ke wastafel dan berkumur, menandai kegiatannya telah selesai. Sekilas, pria itu terlihat buru-buru dan sedikit panik. Tidak seperti biasanya. Namun lagi-lagi semua detail yang terlihat aneh itu terabaikan oleh Iis yang masih dalam keyakinannya, bahwa pria itu adalah si ayah, suami tercinta.
Iis berjalan ke dapur untuk membuat teh hangat. Suatu dorongan naluriah yang dia lakukan setiap kali suaminya pulang kerja. Satu mug besar untuk mereka berdua. Namun ada sesuatu yang keliru tentang urutannya. Tentang sesuatu yang dilakukan secara runtutan yang mereka lakukan terus berulang-ulang. Seharusnya, sang suami meminum teh terlebih dahulu sebelum menyikat giginya, baru setelah itu ia beranjak tidur.
Iis berjalan kembali ke arah kamar mandi, seakan ingin bertanya untuk memastikan bahwa teh itu akan dia buat atau tidak. Tapi yang dia dapati suasana sepi. Suara berisik yang mengganggu tidurnya tadi sudah tidak ada lagi. Semua suara lenyap menguap bersama udara. Tidak ada tandatanda kehidupan selain dirinya. Kini, langkah kaki, deru nafasnya dan – bahkan suara jantungnya sendiri bisa ia dengar. Sesampainya di kamar mandi dia tidak melihat siapa-siapa di sana. Saat itulah dia merasakan sensasi ambigu, tentang eksistensi yang ia lihat sendiri: apakah mimpi atau setengah sadar bahwa yang dia lihat barusan adalah suaminya?
Telepon genggam berdering membuat perempuan itu terlonjak. Ia begitu kaget dengan sesuatu yang biasa.
“Siapa yang menelpon di tengah malam begini coba?” pikirannya mengumpat.
Kini Iis mengambil telepon genggamnya di kamar, persis di atas meja sudut. Saat melihat layar, saat itulah dia terlonjak untuk kedua kalinya.
“Ini adalah nomor telepon ayah,” gumamnya dalam hati. “Aneh. Kalau memang ayah sudah pulang ke rumah, untuk apa dia repot-repot menelpon?” Ini tidak lucu jika suaminya bermaksud mengerjainya. Lama ia menimbang, akhirnya diangkat juga teleponnya – mendepetkan Nokianya ke telinga kanan.
“Ah.. Aku kira kamu sudah tidur sayang,” kata seseorang dibalik telepon. Tidak salah lagi bahwa itu suara suaminya, “hampir aja mau tutup telponnya.”
Perempuan itu menoleh ke belakang, melihat ke arah kamar mandi. Ia merasa ada seseorang sedang mengawasinya, “tidak ada.” Tidak ada siapa-siapa di sana.
“Halo..” suaranya bergetar.
“Ya. Halo…”
“Halo,” Ia mengulangi sebagai upaya untuk memastikan itu suara suaminya.
“Ya. Halo.. Sayang kamu bisa dengar? Aku sampai rumah sekitar …emm lima belas menit lagi. Udah aku bilangkan, kalau minggu-minggu ini... aku…” – suaranya terpotong.
“Pulanglah cepat. Aku akan menunggumu di luar…”
“Halo, sayang… ada apa?”
“Ada seseorang di rumah. Aku pikir itu ayah.. Cepat ya.” Suaranya berbisik.
“Maksudnya?”
“Kita bicara nanti. Sekarang cepat pulang.. ”
“Ok..ok.”
Perempuan itu bergegas keluar dari rumahnya yang besar, sambil menunggu suaminya di halaman depan. Sekitar lima belas menit menunggu, mobil Ford warnya silver – milik suaminya – datang dan ia membukakan pintu gerbang.
“Oh.. syukurlah ayah udah datang,” lirihnya setengah ketakutan.
“Tentu.. tentu. Ada apa, sayang?”
“Aku melihat seseorang di dalam rumah. Aku pikir itu ayah.”
“Beneran apa hantu?”
“Beneran… Pria.. Tapi aku tidak yakin apa hantu atau bukan. Tapi aku melihatnya,” –ia kehilangan kendali atas kata-katanya – “jelas sekali aku melihatnya…”
“Jangan becanda, ah. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Mungkin kamu ngelindur,” pria itu tersenyum kecil.
“Aku melihatnya, dia di kamar mandi… dan dia lagi gosok gigi. Aku pikir itu ayah, jelas sekali aku melihatnya,” erang perempuan itu. Ia mengulangi sesuatu yang sudah jelas.
Sekarang ayah sudah tidak bisa cengar-cengir lagi setelah melihat istrinya yang ketakutan seperti melihat hantu. Kini dialah yang terkaget-kaget dengan apa yang barusan dia dengar. Pria itu menguasai diri dan mulai merenungkan kembali tentang pria yang dilihat istrinya. Kini dia masuk ke dalam rumah sambil membawa kunci setir mobil. Akankah ia menghajar tempurung kepala pria misterius itu? Membayangkannya membuat Iis bergidik.
Tidak perlu waktu lama untuk memastikan dirumahnya tidak ada siapa-siapa. Namun ketika Iis yakin dengan apa yang dia lihat, bagi pria itu: eksistensi orang yang dilihat istrinya dinilai sebagai halusinasi belaka.
Esok harinya, Iis terbangun lagi dari tempat tidurnya dan merasakan pelukan suaminya. Ia memastikan waktu, pukul sebelas malam, lalu meniti menuju kamar mandi di ujung kamar. Setelah selesai, ia mendengar telepon genggamnya berbunyi. Pesan singkat. Ia pun merubah langkah kakinya menuju ruang tengah. Alangkah terkejutnya perempuan itu ketika tahu siapa pemilik nomor telepon. Itu dia, si ayah. Pesan singkat itu tertulis: Sudah tidur belum? Ayah pulang sekitar lima belas menit lagi.
Perempuan itu menggelimpangkan badannya: pandangannya menjurus ke sosok pria yang sedang tertidur pulas. Sejenak dia ragu, lantas berjalan ke kamar – menyadari betapa canggung dan lambatnya ia. Kini semua terasa sunyi. Jantungnya dag-dig-dug. Ia berpeluh setelah ide tentang wujud orang yang sedang tidur itu muncul begitu saja. “Bagaimana jika bukan suaminya?”
Tapi yang ia dapati suaminya sedang tertidur.
Pria itu juga terkejut karena istrinya menarik selimutnya dengan kasar, terlebih lagi istrinya itu memandang penuh keheranan – menghela nafas lega – membuat ia bertanya-tanya, “ada apa sih?”
Perasaan cemas di hati perempuan itu berangsur-angsur sirna. Bayang-bayang wujud orang lain berakhir di dalam pikirannya saja. Sekali lagi Iis menghela nafas, “ng.. nggak…” wanita itu tergagap, “aku pikir macam-macam ternyata cuma kamu.”
“Pikir macam-macam apa?” Tanya suaminya keheranan.
“Kau tahu…” – suara perempuan itu terdengar lirih – “akhir-akhir ini… sepertinya… ada yang nggak beres di rumah kita.”
“Nggak beres gimana?”
“Seperti ada seseorang di rumah ini. Selain kita…” katanya ragu, “aku merasa demikian.”
“Tidak ada apa-apa, sayang. Ayah pastikan, di sini tidak ada orang selain kita berdua. Ayolah… jangan kamu pikir yang macam-macam, yang aneh-aneh soal hantu atau dedemit,” kata suaminya tanpa cemooh.
“Ya.. ya kamu benar. Gara-gara kemarin aku jadi kepikiran yang
aneh-aneh terus. Sekarang cuma gara-gara sms kamu yang baru masuk aja udah bikin aku panik.”
“Yang mana sih?” Tanya pria itu sambil menarik telepon seluler istrinya. Sebentar dia membaca, lalu tersenyum, “kamu tahu.. aku gak pernah sms kamu sambil tidur.”
Pagi-pagi sekali Ayah berangkat kerja. Tetapi sebelum berangkat, Iis berpesan untuk tidak lagi pulang larut malam, atau sebisa mungkin pulang lebih cepat. Sepertinya ia masih takut soal pria misterius yang dia lihat itu. Namun alih-alih menenangkan hati istrinya, ayah justru lebih tertarik menanyakan kue brownies yang ia beli tiga hari yang lalu.
“Akhir-akhir ini semua makanan di rumah lebih cepat habis ketimbang biasanya,” ia mengeluh.
“Kue brownies lebih meresahkan rupanya,” perempuan itu mengucap sinis kepada suaminya.
Pria itu tersenyum, lalu meninggalkan istrinya bersama kepulan asap mobil di udara.
Jam-jam telah berlalu. Sekitar pukul tujuh malam, suaminya menelpon dan menanyakan: “Masak apa hari ini?”
“Aku nggak masak. Tapi kalau ayah pulang cepat, akan aku belikan sesuatu,” seru perempuan itu.
“Ya sudah aku pulang cepat hari ini.”
“Ya.. aku tunggu,” katanya berseloroh, lalu pergi ke rumah makan yang tidak begitu jauh dari kediamannya.
Namun kenyataan berkata lain. Iis terlalu lama untuk menunggu. Setidaknya itu yang ia rasakan setelah satu jam lebih pria yang menjanjikan untuk pulang tidak kunjung datang. Tidak sesuai dengan perkiraannya, membuat ia merasakan ada kejanggalan. Apakah dia memutuskan untuk menelponnya kembali?
Tetapi persis tatkala ia hendak menghubungi suaminya, saat itu pula teleponnya berdering. Ini nomor kantor suaminya. Ia memencet tombol hijau dan tidak buru-buru untuk memulai percakapan.
“Halo… sayang,” sungut suaminya di balik telepon.
“Halo.”
Menghela nafas, “maaf ya. Lagi-lagi, aku pulang larut malam.” Ia berhenti sejenak, lantas menyadari sesuatu, “oh iya, sepertinya HP-ku ketinggalan di rumah. Apa kamu lih..” – suara itu tiba-tiba terpotong oleh erangan istrinya.
“Tuhanku…” katanya gemertak. “Kamu menelponku barusan dengan nomormu. Bagaimana bisa kamu bilang ketinggalan?”
“Nomer HP?” katanya tidak yakin, “kamu bercanda.”
“Kalau aku bercanda, apa ayah pikir ini lucu? Akan aku kirim buktinya kalau kamu mau. Sungguh ayah menelponku tadi sekitar satu atau dua jam yang lalu dan.. dan..” – suaranya terbata-bata – “bilang ke aku kalau ayah menyuruhku segera membeli makanan.. makanan apa saja karena … karena … karena katanya ayah pulang cepat.”
“Tenang… tenang sayang. Jam berapa dia menelpon? Coba ayah lacak keberadaannya.”
“Jam…” ia mengira-ngira, “jam tujuh. Sekitar jam tujuh… Ayah..ayah.. akankah ayah pulang lebih cepat? Karena sungguh, aku benar-benar takut sekarang.”
“Iya.. iya. Tunggulah, sampai ayah pulang.”
Perlu waktu sekitar duapuluh menit untuk mendapat kabar dari suaminya. Dan dia bicara seperti ini membuat bulu kuduk istrinya meremang:
Iis sendiri bingung, karena terlalu banyak pertanyaan yang ia tanggung dalam kondisi demikan. Untuk mengurangi kekawatirannya, ia mengikuti perintah tuannya itu, berjalan jinjit ke kamar depan dan mengunci pintunya. Selesai. Ia kemudian melapor, “aku sudah di kamar depan dan mengunci pintu. Apa yang aku lakukan sekarang?”
“Tidak ada…” jawab pria itu, “tunggu saja di sana.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Kau tahu… Ayah pikir HP ayah hilang atau ketinggalan di suatu tempat yang tidak ayah ketahui keberadaannya. Terlebih lagi, saat kamu bilang ada orang yang menelponmu dengan nomor ayah.”
“Ya terus?”
“Lalu operator berhasil melacak keberadaan di mana si penelpon misterius itu berada. Kamu tahu dia ada di mana?”
“Di mana?” gumam perempuan itu bingung.
“Ia berada di rumah kita. Ini artinya…” katanya terbata-bata oleh kenyataan yang tidak bisa ia sangkal.
“Artinya… artinya apa?,” katanya kesal. “Bisakah ayah cerita tanpa membuatku penasaran?”
“Ini artinya kamu benar. Selama ini ada orang di rumah kita, tanpa kita sendiri ketahui di mana ia berada.”
Perempuan itu tersentak seperti tersengat listrik: “Ya, Tuhan.”
“Dan dia ada… berwujud. Persis di depanmu saat ini.”
Tiba-tiba saja gagang pintu kamarnya itu bergerak, seperti orang yang mencoba untuk masuk. Tetapi tidak, karena menyadari pintunya terkunci dari dalam. Iis bergetar bagai daun. Ia tidak mampu bergerak saking dirundung ketakutan. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain menunggu suaminya.
Tidak beberapa lama, pintu itu digedor – seperti ada enegi buas yang mencoba untuk menghancurkannya. Iis duduk di pojok ruangan. Seluruh tubuhnya terasa lumpuh seketika. Suara yang menghentak-hentak ternyata mampu meruntuhkan keberaniannya. Untuk mengurangi ketakutannya, ia katupkan telinganya dengan kedua tangan. Manakala pintu itu terbuka, saat itulah dia melihat suaminya yang berdiri cemas.
Pria itu datang bersama polisi satu kompi yang mengepung kediaman rumahnya. Iis yang terkurung di dalam kamar selama satu jam akhirnya keluar. Ia dikawal oleh polisi dan juga suaminya. Ketika melihat sekitar membuat dia bertanya-tanya, “apa kira-kira yang membuatnya ramai.” Polisi dan tetangga – semua yang ada di sana dibuat penasaran dengan apa yang terjadi.
Tidak beberapa lama ia melihat sendiri ada seorang pria yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, digiring seperti kambing masuk ke dalam mobil polisi. Itu dia, pria yang selama ini hidup bersama mereka. Usia dan penampakannya juga hampir mirip dengan suaminya. “Apakah itu upaya untuk menyamarkan ia dan suaminya?” pikir Iis.
Saat ditemui, pria misterius itu bersembunyi di atas plafon rumahnya. Jadi selama ini ia tunawisma, menumpang hidup di rumah itu bagai parasit. Mengambil makanan, menumpang tidur, dan bahkan sesekali dia tidur bersama perempuan itu tanpa ia sendiri sadari.
Suara berisik itu membuat Iis terbangun dari tidurnya dan meneliti sumber suara. Sebelum melihat, ia kemudian tahu bahwa itu suara orang yang sedang menggosok gigi. “Gerakannya kasar. Siapa yang punya gesture demikian?” Barangkali pertanyaan itulah yang terlintas dalam benaknya barang sejenak. Tapi ketika menyadari bahwa tidak ada orang lain selain ia dan suaminya hidup di rumah ini, pertanyaan itu berakhir di imajinya saja.
“Ayah udah pulang,” pikirnya.
Ia melihat jam digitalyang berpendar kehijauan di meja sudut kamar, pukul sebelas malam. Lantas dengan cermat berjalan mendekati sumber suara. Hanya sekedar memastikan bahwa apa yang dipikirnya tidak keliru. Ketika sampai di kamar mandi, ia mendapati pintunya terbuka dan melihat wujud pria yang sedang menggosok gigi dengan gerakan yang terburu-buru. Pria itu memunggunginya, sehingga Iis tidak bisa mengidentifikasi rupa-rupa wujud itu dengan jelas.
“Bisa rontok gigimu nanti, sayang,” kata perempuan itu tanpa memastikan identitas pria di depannya. Ia tertawa kecil.
Tanpa menoleh, pria yang diajak bicara itu meludah ke wastafel dan berkumur, menandai kegiatannya telah selesai. Sekilas, pria itu terlihat buru-buru dan sedikit panik. Tidak seperti biasanya. Namun lagi-lagi semua detail yang terlihat aneh itu terabaikan oleh Iis yang masih dalam keyakinannya, bahwa pria itu adalah si ayah, suami tercinta.
Iis berjalan ke dapur untuk membuat teh hangat. Suatu dorongan naluriah yang dia lakukan setiap kali suaminya pulang kerja. Satu mug besar untuk mereka berdua. Namun ada sesuatu yang keliru tentang urutannya. Tentang sesuatu yang dilakukan secara runtutan yang mereka lakukan terus berulang-ulang. Seharusnya, sang suami meminum teh terlebih dahulu sebelum menyikat giginya, baru setelah itu ia beranjak tidur.
Iis berjalan kembali ke arah kamar mandi, seakan ingin bertanya untuk memastikan bahwa teh itu akan dia buat atau tidak. Tapi yang dia dapati suasana sepi. Suara berisik yang mengganggu tidurnya tadi sudah tidak ada lagi. Semua suara lenyap menguap bersama udara. Tidak ada tandatanda kehidupan selain dirinya. Kini, langkah kaki, deru nafasnya dan – bahkan suara jantungnya sendiri bisa ia dengar. Sesampainya di kamar mandi dia tidak melihat siapa-siapa di sana. Saat itulah dia merasakan sensasi ambigu, tentang eksistensi yang ia lihat sendiri: apakah mimpi atau setengah sadar bahwa yang dia lihat barusan adalah suaminya?
Telepon genggam berdering membuat perempuan itu terlonjak. Ia begitu kaget dengan sesuatu yang biasa.
“Siapa yang menelpon di tengah malam begini coba?” pikirannya mengumpat.
Kini Iis mengambil telepon genggamnya di kamar, persis di atas meja sudut. Saat melihat layar, saat itulah dia terlonjak untuk kedua kalinya.
“Ini adalah nomor telepon ayah,” gumamnya dalam hati. “Aneh. Kalau memang ayah sudah pulang ke rumah, untuk apa dia repot-repot menelpon?” Ini tidak lucu jika suaminya bermaksud mengerjainya. Lama ia menimbang, akhirnya diangkat juga teleponnya – mendepetkan Nokianya ke telinga kanan.
“Ah.. Aku kira kamu sudah tidur sayang,” kata seseorang dibalik telepon. Tidak salah lagi bahwa itu suara suaminya, “hampir aja mau tutup telponnya.”
Perempuan itu menoleh ke belakang, melihat ke arah kamar mandi. Ia merasa ada seseorang sedang mengawasinya, “tidak ada.” Tidak ada siapa-siapa di sana.
“Halo..” suaranya bergetar.
“Ya. Halo…”
“Halo,” Ia mengulangi sebagai upaya untuk memastikan itu suara suaminya.
“Ya. Halo.. Sayang kamu bisa dengar? Aku sampai rumah sekitar …emm lima belas menit lagi. Udah aku bilangkan, kalau minggu-minggu ini... aku…” – suaranya terpotong.
“Pulanglah cepat. Aku akan menunggumu di luar…”
“Halo, sayang… ada apa?”
“Ada seseorang di rumah. Aku pikir itu ayah.. Cepat ya.” Suaranya berbisik.
“Maksudnya?”
“Kita bicara nanti. Sekarang cepat pulang.. ”
“Ok..ok.”
Perempuan itu bergegas keluar dari rumahnya yang besar, sambil menunggu suaminya di halaman depan. Sekitar lima belas menit menunggu, mobil Ford warnya silver – milik suaminya – datang dan ia membukakan pintu gerbang.
“Oh.. syukurlah ayah udah datang,” lirihnya setengah ketakutan.
“Tentu.. tentu. Ada apa, sayang?”
“Aku melihat seseorang di dalam rumah. Aku pikir itu ayah.”
“Beneran apa hantu?”
“Beneran… Pria.. Tapi aku tidak yakin apa hantu atau bukan. Tapi aku melihatnya,” –ia kehilangan kendali atas kata-katanya – “jelas sekali aku melihatnya…”
“Jangan becanda, ah. Tidak ada siapa-siapa di rumah ini. Mungkin kamu ngelindur,” pria itu tersenyum kecil.
“Aku melihatnya, dia di kamar mandi… dan dia lagi gosok gigi. Aku pikir itu ayah, jelas sekali aku melihatnya,” erang perempuan itu. Ia mengulangi sesuatu yang sudah jelas.
Sekarang ayah sudah tidak bisa cengar-cengir lagi setelah melihat istrinya yang ketakutan seperti melihat hantu. Kini dialah yang terkaget-kaget dengan apa yang barusan dia dengar. Pria itu menguasai diri dan mulai merenungkan kembali tentang pria yang dilihat istrinya. Kini dia masuk ke dalam rumah sambil membawa kunci setir mobil. Akankah ia menghajar tempurung kepala pria misterius itu? Membayangkannya membuat Iis bergidik.
Tidak perlu waktu lama untuk memastikan dirumahnya tidak ada siapa-siapa. Namun ketika Iis yakin dengan apa yang dia lihat, bagi pria itu: eksistensi orang yang dilihat istrinya dinilai sebagai halusinasi belaka.
========
Esok harinya, Iis terbangun lagi dari tempat tidurnya dan merasakan pelukan suaminya. Ia memastikan waktu, pukul sebelas malam, lalu meniti menuju kamar mandi di ujung kamar. Setelah selesai, ia mendengar telepon genggamnya berbunyi. Pesan singkat. Ia pun merubah langkah kakinya menuju ruang tengah. Alangkah terkejutnya perempuan itu ketika tahu siapa pemilik nomor telepon. Itu dia, si ayah. Pesan singkat itu tertulis: Sudah tidur belum? Ayah pulang sekitar lima belas menit lagi.
Perempuan itu menggelimpangkan badannya: pandangannya menjurus ke sosok pria yang sedang tertidur pulas. Sejenak dia ragu, lantas berjalan ke kamar – menyadari betapa canggung dan lambatnya ia. Kini semua terasa sunyi. Jantungnya dag-dig-dug. Ia berpeluh setelah ide tentang wujud orang yang sedang tidur itu muncul begitu saja. “Bagaimana jika bukan suaminya?”
Tapi yang ia dapati suaminya sedang tertidur.
Pria itu juga terkejut karena istrinya menarik selimutnya dengan kasar, terlebih lagi istrinya itu memandang penuh keheranan – menghela nafas lega – membuat ia bertanya-tanya, “ada apa sih?”
Perasaan cemas di hati perempuan itu berangsur-angsur sirna. Bayang-bayang wujud orang lain berakhir di dalam pikirannya saja. Sekali lagi Iis menghela nafas, “ng.. nggak…” wanita itu tergagap, “aku pikir macam-macam ternyata cuma kamu.”
“Pikir macam-macam apa?” Tanya suaminya keheranan.
“Kau tahu…” – suara perempuan itu terdengar lirih – “akhir-akhir ini… sepertinya… ada yang nggak beres di rumah kita.”
“Nggak beres gimana?”
“Seperti ada seseorang di rumah ini. Selain kita…” katanya ragu, “aku merasa demikian.”
“Tidak ada apa-apa, sayang. Ayah pastikan, di sini tidak ada orang selain kita berdua. Ayolah… jangan kamu pikir yang macam-macam, yang aneh-aneh soal hantu atau dedemit,” kata suaminya tanpa cemooh.
“Ya.. ya kamu benar. Gara-gara kemarin aku jadi kepikiran yang
aneh-aneh terus. Sekarang cuma gara-gara sms kamu yang baru masuk aja udah bikin aku panik.”
“Yang mana sih?” Tanya pria itu sambil menarik telepon seluler istrinya. Sebentar dia membaca, lalu tersenyum, “kamu tahu.. aku gak pernah sms kamu sambil tidur.”
=======
Pagi-pagi sekali Ayah berangkat kerja. Tetapi sebelum berangkat, Iis berpesan untuk tidak lagi pulang larut malam, atau sebisa mungkin pulang lebih cepat. Sepertinya ia masih takut soal pria misterius yang dia lihat itu. Namun alih-alih menenangkan hati istrinya, ayah justru lebih tertarik menanyakan kue brownies yang ia beli tiga hari yang lalu.
“Akhir-akhir ini semua makanan di rumah lebih cepat habis ketimbang biasanya,” ia mengeluh.
“Kue brownies lebih meresahkan rupanya,” perempuan itu mengucap sinis kepada suaminya.
Pria itu tersenyum, lalu meninggalkan istrinya bersama kepulan asap mobil di udara.
Jam-jam telah berlalu. Sekitar pukul tujuh malam, suaminya menelpon dan menanyakan: “Masak apa hari ini?”
“Aku nggak masak. Tapi kalau ayah pulang cepat, akan aku belikan sesuatu,” seru perempuan itu.
“Ya sudah aku pulang cepat hari ini.”
“Ya.. aku tunggu,” katanya berseloroh, lalu pergi ke rumah makan yang tidak begitu jauh dari kediamannya.
Namun kenyataan berkata lain. Iis terlalu lama untuk menunggu. Setidaknya itu yang ia rasakan setelah satu jam lebih pria yang menjanjikan untuk pulang tidak kunjung datang. Tidak sesuai dengan perkiraannya, membuat ia merasakan ada kejanggalan. Apakah dia memutuskan untuk menelponnya kembali?
Tetapi persis tatkala ia hendak menghubungi suaminya, saat itu pula teleponnya berdering. Ini nomor kantor suaminya. Ia memencet tombol hijau dan tidak buru-buru untuk memulai percakapan.
“Halo… sayang,” sungut suaminya di balik telepon.
“Halo.”
Menghela nafas, “maaf ya. Lagi-lagi, aku pulang larut malam.” Ia berhenti sejenak, lantas menyadari sesuatu, “oh iya, sepertinya HP-ku ketinggalan di rumah. Apa kamu lih..” – suara itu tiba-tiba terpotong oleh erangan istrinya.
“Tuhanku…” katanya gemertak. “Kamu menelponku barusan dengan nomormu. Bagaimana bisa kamu bilang ketinggalan?”
“Nomer HP?” katanya tidak yakin, “kamu bercanda.”
“Kalau aku bercanda, apa ayah pikir ini lucu? Akan aku kirim buktinya kalau kamu mau. Sungguh ayah menelponku tadi sekitar satu atau dua jam yang lalu dan.. dan..” – suaranya terbata-bata – “bilang ke aku kalau ayah menyuruhku segera membeli makanan.. makanan apa saja karena … karena … karena katanya ayah pulang cepat.”
“Tenang… tenang sayang. Jam berapa dia menelpon? Coba ayah lacak keberadaannya.”
“Jam…” ia mengira-ngira, “jam tujuh. Sekitar jam tujuh… Ayah..ayah.. akankah ayah pulang lebih cepat? Karena sungguh, aku benar-benar takut sekarang.”
“Iya.. iya. Tunggulah, sampai ayah pulang.”
Perlu waktu sekitar duapuluh menit untuk mendapat kabar dari suaminya. Dan dia bicara seperti ini membuat bulu kuduk istrinya meremang:
“Sekarang kamu pergilah ke kamar depan dan kunci pintu. Inget yah.. jangan panik. Pergilah.. dengan tenang… dan kunci pintunya.”
Iis sendiri bingung, karena terlalu banyak pertanyaan yang ia tanggung dalam kondisi demikan. Untuk mengurangi kekawatirannya, ia mengikuti perintah tuannya itu, berjalan jinjit ke kamar depan dan mengunci pintunya. Selesai. Ia kemudian melapor, “aku sudah di kamar depan dan mengunci pintu. Apa yang aku lakukan sekarang?”
“Tidak ada…” jawab pria itu, “tunggu saja di sana.”
“Ada apa sebenarnya?”
“Kau tahu… Ayah pikir HP ayah hilang atau ketinggalan di suatu tempat yang tidak ayah ketahui keberadaannya. Terlebih lagi, saat kamu bilang ada orang yang menelponmu dengan nomor ayah.”
“Ya terus?”
“Lalu operator berhasil melacak keberadaan di mana si penelpon misterius itu berada. Kamu tahu dia ada di mana?”
“Di mana?” gumam perempuan itu bingung.
“Ia berada di rumah kita. Ini artinya…” katanya terbata-bata oleh kenyataan yang tidak bisa ia sangkal.
“Artinya… artinya apa?,” katanya kesal. “Bisakah ayah cerita tanpa membuatku penasaran?”
“Ini artinya kamu benar. Selama ini ada orang di rumah kita, tanpa kita sendiri ketahui di mana ia berada.”
Perempuan itu tersentak seperti tersengat listrik: “Ya, Tuhan.”
“Dan dia ada… berwujud. Persis di depanmu saat ini.”
Tiba-tiba saja gagang pintu kamarnya itu bergerak, seperti orang yang mencoba untuk masuk. Tetapi tidak, karena menyadari pintunya terkunci dari dalam. Iis bergetar bagai daun. Ia tidak mampu bergerak saking dirundung ketakutan. Tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang selain menunggu suaminya.
Tidak beberapa lama, pintu itu digedor – seperti ada enegi buas yang mencoba untuk menghancurkannya. Iis duduk di pojok ruangan. Seluruh tubuhnya terasa lumpuh seketika. Suara yang menghentak-hentak ternyata mampu meruntuhkan keberaniannya. Untuk mengurangi ketakutannya, ia katupkan telinganya dengan kedua tangan. Manakala pintu itu terbuka, saat itulah dia melihat suaminya yang berdiri cemas.
Pria itu datang bersama polisi satu kompi yang mengepung kediaman rumahnya. Iis yang terkurung di dalam kamar selama satu jam akhirnya keluar. Ia dikawal oleh polisi dan juga suaminya. Ketika melihat sekitar membuat dia bertanya-tanya, “apa kira-kira yang membuatnya ramai.” Polisi dan tetangga – semua yang ada di sana dibuat penasaran dengan apa yang terjadi.
Tidak beberapa lama ia melihat sendiri ada seorang pria yang tidak pernah ia kenal sebelumnya, digiring seperti kambing masuk ke dalam mobil polisi. Itu dia, pria yang selama ini hidup bersama mereka. Usia dan penampakannya juga hampir mirip dengan suaminya. “Apakah itu upaya untuk menyamarkan ia dan suaminya?” pikir Iis.
Saat ditemui, pria misterius itu bersembunyi di atas plafon rumahnya. Jadi selama ini ia tunawisma, menumpang hidup di rumah itu bagai parasit. Mengambil makanan, menumpang tidur, dan bahkan sesekali dia tidur bersama perempuan itu tanpa ia sendiri sadari.
--END--
INDEX
Quote:
Diubah oleh widka 20-10-2014 17:15


anasabila memberi reputasi
1
20.9K
Kutip
59
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan