XINJIANG, RRT—Pada pagi hari sekitar pukul 06.00, 26 Juni lalu, media resmi Partai Komunis Tiongkok (PKT) menyebutkan bahwa kantor polisi dan instansi pemerintah di Distrik Shanshan, Turfan, Xinjiang (daerah otonomi di ujung barat laut Tiongkok) telah diserang, sehingga menyebabkan 27 orang korban tewas.

Dua hari kemudian, pada 28 Juni, terjadi Peristiwa Wada, yang dikategorikan oleh PKT sebagai “Kerusuhan massa bersenjata”. Saat itu, dilaporkan terdapat 100 orang lebih di Distrik Moyu-Wada, berupaya menyerang kantor keamanan distrik. Dalam tempo singkat yang hanya 3 hari saja, di wilayah Xinjiang telah terjadi konflik kekerasan 2 kali berturut-turut. Presiden RRT, Xi Jinping, dalam Rapat Komite Tetap Politbiro Pusat, pada 28 Juni lalu, meminta agar konflik-konflik itu segera diselesaikan.

Sebelumnya, pada 24 April 2103 lalu, di Kashgar, Xinjiang, telah terjadi bentrokan kekerasan yang menyebabkan 21 orang tewas, di antaranya termasuk pihak polisi dan personil pegawai negeri. Hal ini merupakan perwujudan konflik sosial yang terus-menerus berakumulasi yang berakibat pada meletusnya krisis, sekaligus hasil mutlak dari kebijakan “Pemeliharaan Stabilitas” yang dilaksanakan secara represif oleh pemerintahan PKT. Namun, konflik berdarah yang terjadi di Xinjiang pada tahun ini, memiliki perbedaan besar dengan peristiwa kekerasan yang terjadi sebelumnya di Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Pada 26 Juni 2009, terjadi perkelahian bersenjata antara pekerja etnik Uighur (etnik minoritas Muslim yang berasal dari Xinjiang) dan etnik Han (etnik mayoritas Tiongkok) di Sun Toy Factorydi Shaoguan, Provinsi Guangdong, Tiongkok Selatan. Peristiwa itu menimbulkan korban luka 120 orang, dan 2 orang pekerja etnik Uighur dilaporkan tewas. Peristiwa ini berbuntut kerusuhan akibat demonstrasi orang Uighur berskala besar yang meletus di Kota Urumqi, Xinjiang pada 5 Juli 2009, dimana 197 orang dilaporkan tewas, dan 1.721 orang mengalami luka-luka. Dalam bentrokan tersebut, sasaran utama orang Uighur adalah orang etnik Han yang berdomisili di Xinjiang. Penyebabnya, karena di tengah transmigrasi besar-besaran dari etnik Han, orang Uighur merasakan diskriminasi dan perlakuan tidak selayaknya dalam banyak aspek, sehingga kerap terjadi hal-hal sebagai berikut: Agama orang Uighur (yang sebagian besar memeluk agama Islam) tidak memperoleh respek dari pihak PKT yang notabene atheis, kebudayaan orang Uighur dihancurkan, tidak dapat dengan bebas mempelajari bahasa daerah Uighur sendiri, peluang kerja diserobot oleh etnik Han, penduduk lokal tidak diperbolehkan memelihara jenggot, tidak boleh mengenakan jilbab, tidak boleh bersembahyang di masjid, di saat bulan suci Ramadhan ada yang dipaksa makan, dan lain sebagainya.

Pihak rezim komunis menetapkan hal ini sebagai: “Kekuatan separatisme dan aktivitas agama ilegal.” Akibat logika semacam ini, akhirnya justru membuat kedua kelompok besar etnik Han dan etnik Uighur yang hidup bersama di Xinjiang terbagi menjadi 2 kelompok massa yang saling berkonfrontasi. Ditilik dari poin ini, penyebab utama bentrokan adalah konflik antar etnis.

Sedangkan dalam konflik berdarah yang terjadi di Xinjiang memasuki tahun 2013 ini, sasaran utama serangan orang Uighur adalah instansi pemerintah PKT dan kantor polisi, orang yang tewas dan terluka juga berasal dari personil pegawai negeri, terutama dari pihak kepolisian. Apakah penyebab terjadinya situasi seperti ini? Akan berjalan ke manakah (quo vadis) situasi Xinjiang yang kian berbahaya ini?

Sejarah Wilayah Xinjiang

Selama 2.000 tahun ini, Xinjiang telah mengalami kondisi pasang-surut silih berganti, pernah mengalami kekacauan perang, juga pernah mengalami periode kejayaan yang sangat panjang. Melalui perang dan damai yang silih berganti dalam jangka panjang lantaran berbeda suku bangsa, berbeda rezim, berbeda kebudayaan, dan berbeda agama, terus berlangsung hingga hari ini. Di zaman kuno, mereka disebut Huihe, di zaman modern ini disebut Uighur, dari zaman Huihe yang beragama Buddha, hingga zaman agama Islam yang diwakili oleh Uighur. Tatkala abad ke-10, seluruh Xinjiang sudah sepenuhnya ter-uighurisasi, meskipun kemudian dicaplok oleh pasukan Mongol, juga tidak dapat mengubah wajah Uighur dan agama Islam dari masyarakat Xinjiang.

Pemerintahan dinasti etnik Han dalam sejarah, termasuk zaman dinasti Yuan, Ming, dan Qing, pemerintahan pusat Tiongkok selalu menguasi daerah Xinjiang dalam lingkup berbeda dan dengan situasi yang rumit, tetapi kebanyakan bersifat simbolis dalam politik atau penguasaan sektoral, yang lebih utama ialah, karakter inklusif yang dimiliki kebudayaan tradisional Tionghoa, tidak sampai menimbulkan inisiatif pengrusakan terhadap kebudayaan suku bangsa dan agama lain. Maka itu, kebanyakan kelompok suku di Xinjiang bisa mempertahankan semacam hubungan damai dan harmonis dengan pemerintahan pusat Tiongkok di masa kerajaan dulu.

Namun, rezim komunis telah mengubah segalanya. Yang diusung ke Xinjiang adalah kekerasan, perampasan sumber daya, serta penghancuran budaya dan agama yang dianut oleh suku bangsa di Xinjiang. Puluhan tahun ini, slogan “Pemeliharaan Stabilitas” yang diusung PKT telah mengakibatkan situasi di Xinjiang menjadi kian sulit dikendalikan seperti yang terjadi saat ini.

Itulah mengapa, permasalahan Xinjiang yang dihadapi PKT bukan lagi melulu permasalahan agama, konflik kesukuan, dan separatisme, justru pemerintahan rezim komunis inilah yang lebih menjadi permasalahan utama. Warga Uighur yang berjumlah hampir separuh di wilayah Xinjiang sudah menyadari, adalah justru pemerintahan rezim PKT yang telah menimbulkan segala permasalahan di Xinjiang. Selama pemerintahan PKT masih eksis, maka permasalahan sosial di Xinjiang termasuk agama, kesukuan, ekonomi, dan sebagainya, tidak akan memperoleh penyelesaian mendasar. Itulah sebab utama sasaran serangan orang Uighur sekarang ini telah beralih ke pejabat dan aparat rezim komunis Tiongkok!

sumber



saveuighur.org