darknetworkAvatar border
TS
darknetwork
INDONESIA X-FILES (Cerita dan Fakta dari Tubuh Korban)
Sejak Tahun 1980-an hingga masa kiwari, Abdul Mun'im Idries dikenal sebagai ahli forensik terkemuka indonesia yang terlibat dalam banyak peristiwa berujung kematian. Entah kematian karena kecelakaan, karena pembunuhan, atau bunuh diri. Banyak kasus besar yang menyita perhatian masyarakat, tapi tak sedikit pula yang merupakan buah rekayasa




Dalam perjalanan pulang di malam hari, 12 Mei 1998, seusai praktik dokter, telepon saya berdering “Bantu kami dok. Ada korban penembakan.” Saya kenal suara itu, Bapak Idham Aziz, Kepala Satuan reserse polres Metro Jakarta Barat.
“Di mana pak?”
“Korban ada di RS Sumber Waras, dokter meluncur saja ke pos polis di Terminal Grogol.”

Sesampai di pos yang dijadikan pos komando, saya tidak bisa langsung menuju ke RS. Bapak kapolres Jakarta Barat Timur Pradopo menelpon. Juga kapolda metro jaya Bapak Hamami Nata. Katanya mereka sedang berkoordinasi. Berkoordinasi dengan siapa saya tidak tahu.

“Pak, daripada menunggu, lebih baik saya berangkat sekarang ke RS. Toh tidak jauh, jalanan sepi.” Dengan membonceng petugas berpakaian sipil dan dikawal dua petugas lain saya diantar ke RS itu. TIdak melalui jalan utama yang lurus, saya dibawa melalui jalan berkelok-kelok.
“Kita sih tidak tahu siapa kawan siapa lawan. Ini semua demi keselamatan dokter.”petugas membonceng menjawab keheranan saya.
“Wah, apakah segawat itu situasinya?” saya bertanya dalam hati. Belakangan saya baru tahu bahwa insiden yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti tersebut terdapat banyak satuan atau unit dari aparat keamanan yang “terlibat”.

Saya harus menjelaskan kepada teman-teman dan keluarga korban yang menolak autopsi.”Memang yang sudah meninggal tidak bisa dihidupkan kembali. Tapi almarhum memiliki hak untuk memperoleh keadilan , dan ini tugas kita yang masih hidup.”

“Bisa jadi pada kasus ini ada pelanggatan hak asasi manusia, dan apabila di belakang hari akan diproses secara hukum, bukti awal dalam hal ini visum et repertum para korban sudah ada, sehingga kuburan mereka tidak perlu digali.”
Akhirnya saya hanya boleh melakukan pemeriksaan tanpa bedah mayat, itupun disaksikan pihak keluarga. Saya setuju karena pemeriksaan pasti akan difoto dan divideo, sehingga kasus itu tidak mungkin dipetieskan. LAgi pula memang belum ada surat permintaan visum et repertum. SAya akan menuangkannya dalam bentuk “Surat keterangan dokter” atau “hasil pemeriksaan forensik”.

Keempat mahasiswa Trisakti yang tewas tersebut masing-masing mendapat luka tembak pada bagian tubuh yang mematikan, bukan untuk melumpuhkan. Ada yang di daerah dahi tembus ke daerah belakang kepala, ada yang didaerah leher, daerah punggung, dan ada yang didaerah dada.
Dari salah seorang korban saya menemukan mantel proyektil berwarna kuning tembaga di daerah leher tepat di batang tenggorok. Pada korban lain proyektil masih bersarang di kulit dada kiri dan baru bisa saya keluarkan saat dilakukan penggalian kembali (ekshumasi) di TPU Tanah Ksuir beberapa hari kemudian. Pada kedua korban lain, proyektil menembus tubuh mereka.

Semua selesai pada pukul 04.00 pagi, tapi saya tidak bisa langsung pulang. Kepala Polda Metro Jaya menunggu saya di kantornya. Di sana sudah ada pak Sudit Silalahi dari Kodam Jaya, tapi saya hanya berbicara berdua dengan pak Hamami Nata di ruangannya.

“Pak, ini proyektil yang saya dapatkan pada leher salah satu korban.”
Pak Hamami Nata tampak termangu-mangu. Matanya menerawang, sesekali memperhatikan mantel proyektil yang saya tunjukkan.
Saya sudah perintahkan kepada semua anak buah agar tidak menggunakan peluru tajam. Mereka yang menghadapi pengunjuk rasa hanya dibekali peluru karet, atau peluru hampa. Darimana datangnya peluru ini?” Kalimat itu diucapkannya berkali-kali.


Penyebab kematian yang penting, bukan mekanismenya



Kasus Pembunuhan aktivis buruh PT Catur Putra SUrya SIdoarjo, Marsinah, pada 1993 membawa saya menjadi saksi ahli yang meringankan terdakwa Judi Susanto, bos PT CPS yang dianggap “dalang” kematian Marsinah di Pengadilan Negeri SUrabaya, 1994. Kasus itu memunculkan banyak dugaan, antara lain adanya upaya aparat militer untuk membungkam gerakan buruh.

Bersama pengacara terdakwa Trimoelja D. Soerjadi, saya menemukan banyak kejanggalan antara keterangan saksi dengan temuan dokter yang membuat VR. Ada 2 visum, yakni dari RSUD nganjuk dan RSUD Dr Soetomo Surabaya. Visum dari RSUD Nganjuk sangant sederhana, hanya 1 halaman. Meski telah dilakuakn pemeriksaan bedah mayat, tidak dijumpai laporan perihal keadaan kepala, leher, dan dada korban. Tulang panggul bagian depan hancur (tapi dalam VR keduia disebutkan; tulang kemaluan dan tulang usus patah). Pada VR pertama terdapat kesimpulan : korban meninggal dunia akibat pendarahan dalam rongga perut. Pada VR kedua disebutkan ada luka terbuka pada labia minora. Padahal menurut penulis, kejelasan yang seharusnya diutarakan pembuat VR adalah penyebab kematian (tusukan, tembakan, atau cekikan) bukan mekanisme kematian (pendarahan, mati lemas). Karena mekanisme kematian adalah “pendarahan” itu tidak bisa memberi petunjuk perihal alat atau benda yang menyebabkan Marsinah tewas.

Ketika Trimoelja meminta pendapat tentang kekerasa yang bagaimana yang dapat menimbulkan kerusakan sedemikian hebat, padahal pangkal dari kerusakan itu hanya dimulai dari labia minora kiri, saya sebagai saksi ahli berpendapat:akibat luka tembak.
Kematian Maersinah seperti selalu ada yang kurang. Walaupun para pelaku sudah dijatuhi hukuman penjara, tetap saja ada tersisa pertanyaan besar:ada apa dibalik kematian aktivis buruh tersebut.


Kasus Nasrudin : menguak cerita yang disamarkan



Pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen, 15 maret 2009, menambah panjang peristiwa misteri yang melibatkan pejabat tinggi negara. Lima eksekutor sudah dijatuhi hukuman, juga empat orang yang dianggap otak pelaku. Salah satunya Antasri Azhar (ketika itu menjabat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi) yang dianggap sebagai dalang peristiwa itu karena urusan caddy gold bernama Rani Juliani

Visum et repertum bernomor 1030/SK.II/03/2-2009 tanggal 30 maret yang saya tandatangi menerangkan “Pada mayat laki-laki bermur sekitar 40 tahun ini didapatkan dua buah luka tembak masuk pada sisi kepala sebelah kiri, kerusakan jaringan otak serta pendarahan dalam rongga tengkorak serta da butir anak peluru yang sudah tidak utuh.”

Saya jelaskan, “Sebab matinya orang ini akibat tembakan senjata api yang masuk dari sisi sebelah kiri, berdasarkan sifat lukanya merupakan luka tembak jarak jauh, peluru pertama masuk dari arah belakang sisi kepala sebelah kiri dan peluru kedua masuk dari arah depan sisi kepala sebelah kiri, diameter kedua anak peluru tersebut 9 milimeter dengan ulir ke kanan, hal tersebut sesuai dengan peluru yang ditembakkan dari senjata api kaliber 0,38 tipe S & W.”

Kesimpulan VR memang bersifat teknis, tidak cukup mudah bagi orang awam ntuk memahami. Mengenai jarak tembak yang saya katakan jauh, misalnya dalam pengertian balistik,jarak diatas 60 cm terbilang jauh. “Nah, Nasrudin ditembak dari jarak sejauh itu,” kata saya di kantor komisi yudisial.

Peristiwa pembunuhan Nasrudin mengingatkan saya pada peristiwa pembunuhan peragawati kondang asal Bandung Ditje Budiasih, September 1986. Terdapat lima luka tembakan senjata api di tubuhnya. Ada spekulasi mengenai konspirasi yang melatari pembunuhan ini, termasuk nama menanti presiden (waktu itu) Soeharto disebut-sebut, tapi yang dijatuhi hukuman seumur hidup adalah Muhammad Siradjudin alias Pak De. Pria warga Susukan. Ciracas, Jakarta Timur, yang berprofesi sebagai dukun itu juga dituduh menjadi pelaku pembunuhan terhadap Endang Sukitri, seorang pemilik toko bangunan di Depok Jawa Barat. Pak De mengajukan keberatan dengan mengajukan alibi dan sejumlah saksi meringankan, tapi pengadilan banding tetap menjatuhkan hukuman yang sama. DI tingkat kasasi pun demikian. Keputusan tidak berubah. Kasus diselesaikan dengan membiarkan dalang tak tertangkap


Apa urusan Pollycarpus menghabisi Munir ?





Munir Said Thalib, pengabdi HAM kelahiran Malang , Jawa Timur, 8 Desember 1965, itu ditemukan meninggal dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia GA-974 dari Jakarta ke Amsterdam 7 September 2004. Cerita itu masih menjadi sebuah lakon yang sebenarnya belum tuntas, tapi “dipaksakan” tuntas Pilot garuda Pollycarpus Budihari Priyatno sudah menjalani vonis 20 tahun (setelah pengajuan kembali ditolak) karena terbukti menjadi eksekutor. Tapi siapakah aktor utamanya?

Munir didapati meninggal di atas langit Rumania, hanya 2 jam sebelum boeing 747 Garuda Indonesia itu mendarat di Schiphol , Amsterdam. Dokter dan tim Lembaga Forensik Belanda (NFI) Amsterdam yang mengautopsi jenazahnya menemukan timbunan arsenik dalam darahnya. kandungan itu mencapai 3,1 miligram perliter. Pdahal ambang toleransi tubuh manusia hanya 1,7 mg/l. DI lambungnya masih tersisa 465 mg lagi yang belum tercerna. Setelah masuk ke dalam tubuh, racun sebanyak itu hanya perlu waktu beberapa jam untuk membunuh Munir.

Kepada seorang polisi saya katakan, penggunaan arsenik untuk membunuh itu pintar.Racun mematikan itu biasanya dipakai untuk bunuh diri, dan penggunaan untuk pembunuhan tak sampai 10%. Arsenik termasuk ideal untuk pembunuhan karena tidak ada rasa, tidak berbau, tidak berwarna.
Polisi mengajak saya ke Belanda, tapi atas pertimbangan profesional saya menolak. Penyebab kematian sudah diketahui, yakni arsenik. Yang belum diketahuiadalah cara kematian (manner of death). Menurut analisis saya kalau racun itu masuk dari pencemaran akibat makanan sea food (makanan sejenis ini banyak yang mengandung arsenik) yang dibagikan di pesawat, hal itu tidak mungkin, karena hanya Munir yang tewas. Analisi kedua, bunuh diri juga tidak mungkin, karena Munir sendiri pergi untuk melanjutkan pendidikan. Tinggal analisis ketiga : pembunuhan. Tapi cara pembunuhannya belum jelas.
Polisi mengajak saya lagi ke Belanda, tapi tetap saya tolak. Katanya , “ Lumayan Dok 10 hari, kita juga dapat uang saku.” Mereka mengajak dokter forensik lain.

Berdasarkan laporan dari tim forensik yang berangkat ke Belanda didapat kesimpulan bahwa masuknya arsenik melalui minuman jus. Hal itu sangat tidak mungkin, sebab arsenik mudah larut dalam air panas (hangat), bukan air dingin. Kemudian berdasarkan skenario tim tadi, sifat kerja arsenik (on set action) 90 menit. Analisis saya dalam 30 menit sebenarnya sudah keluar gejala keracunan.

Munir dipersilahkan pindah oleh Pollycarpus , pilot yang kali itu mendapat penugasan khusus sebagai teknisi, dari kursinya 40G di kelas ekonomi ke kelas bisnis 3K. ketika pesawat transit 45 menit di Singapura dan penumpang turun, dari pintu keluar kelas bisnis cukup dekat ke kafe Coffe Bean. Menurut saya, disanalah arsenik diberikan.

Sebelum GA-974 mengangkasa menuju Amsterdam , Munir meminta pada pramugrari obat maag. Menurut saya itulah saat racun bereaksi di tubuhnya. beberapa kali ia ke toilet. Sekitar dua jam sebelum mendarat pukul 05.10 GMT atau 12.10 WIB, ia tidur dalam posisi miring menghadap ke kursi. Mulutnya mengeluarkan air liur dan tidak berbusa, telapak tangannya membiru, ia sudah meninggal.

Seorang perwira polisi memanggil saya ke sebuah pertemuan untuk mencari TKP. Barulah saya mau membantu. Saya punya hitungan skenario 30 menit racun berkerja. TKP-nya adalah Coffe Bean, saya yakin. Tinggal mencari saksi mata. Ada beberapa pelajar yang melihat munir mampir di Coffe Bean bersama pollycarpus.

Saya pernah dipanggil Kelpala Bareskrim Polri )saat itu) Pak Bambang Hendarso Danuri (BHD). Kata dia , “Dokter, ini untuk Merah Putih.” Saya tanya’” Lho, Kenapa pak?”. Lalu BHD menjelaskan, “ kalau kita tidak bisa memasukkan seseorang ke dalam tahanan sebagai pelaku, dana dari luar negeri tidak cair. Karena dia (Munir) tokoh HAM. Kemudian obligasi (surat-surat berharga) kita tidak laku, dok.”

Saya tetap menggunakan skenario 30 menit dan memastikan TKP adalah Coffe Bean. Ketika membahas perencanaan dan cara pelaksanaan, merujuklah pada keterlibatan Garuda yang telah mengeluarkan surat tugas kepada Pollycarpus. Anehnya , surat itu untuk teknisi, sementara Pollycarpus seorang pilot. Berdasarkan penjelasan Indra Setiawan, Dirut Garuda waktu itu, Pollycarpus ditugasi menyelidiki insiden Boeing 747 jurusan SIngapura-Amsterdam beberapa waktu sebelumnya.Pesawat itu mengalami masalah, karena roda pendaratnya amcet dan terpaksa membuang bahan bakar dalam jumlah besar sehingga garuda rugi.
Jika benar itu tugas resmi perusahaan, ada 3 pertanyaan penting. Pertama, mengapa seorang pilot Airbus 330 yang dikirim dan bukan Boeing 747? Kedua, kalau urusannya roda yang macet, kenapa bukan mekanik yang dikirim? Ketiga , untuk mengecek roda pesawat, juga bahan bakar yang terbuang, perlu waktu tak hanya sekejap, malam hari pula, sebab Pollycarpus kembali ke Jakarta keesokan harinya dengan Garuda paling pagi dari Singapura.

Pada akhirnya, kematian Munir tetap menjadi tanda tanya. Ada urusan apa Pollycarpus menghabisi pejuang HAM itu? Kalau memang dia menjalankan tugas, siapa yang memerintahkan?



ane tambahin dikit, masih ada soal wartawan bernas udin dll.

sebenernya ini cukilan dari buku yang terbit tahun 2013 dengan judul yang sama. Buat info saja Abdul Mun'im Idris yang jadi nara sumber ini, sudah meninggal pada hari Jumat (27/9/2013) di RSCM

Diubah oleh darknetwork 07-11-2013 03:20
dumpsys
tien212700
proficiat
proficiat dan 2 lainnya memberi reputasi
3
45.7K
74
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan