- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tafsir Keliru Soal Investasi & Risiko Bisnis Migas
TS
meldanatalin
Tafsir Keliru Soal Investasi & Risiko Bisnis Migas
nih gan jangan sampe kita suka salah tafsir alias keliru dalam mengartikan hal yang kita belum tau jelas asalnya, karena bisa jadi merugikan banyak pihak dan juga negara gan, contohnya aja kaya kekeliruan yang dilakuin sama kejaksaan nih yang berakibat kerugian pada sektor migas, duh coba aja kalo mereka bisa lebih teliti dalam menangani kasus kan jadinya ga sampe merugikan gini gan.
SUMBER
Quote:
Kasus yang menimpa mantan Direktur IM2 Merpati, Hotasi Nababan, dan kasus yang menimpa pegawai PLN Belawan Medan adalah beberapa contoh kasus yang dipicu oleh kesalahan pemahaman soal keputusan bisnis, investasi dan risiko bisnis oleh penegak hukum. Di sektor migas, kasus serupa terjadi pada proyek pemulihan tanah oleh Chevron. Kasus ini telah menyeret karyawan dan kontraktornya ke sidang pengadilan, dan kini sudah masuk ke tahap kasasi.
Beberapa waktu lalu Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah mengeluarkan biaya cost recovery agar masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Direktur Eksekutif IPA, Dipnala Tamzir, mengatakan perusahaan migas sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengalokasikan sebagian hasil produksinya untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan. "Di sini ada kesalahan persepsi yang menjadi kekhawatiran perusahaan migas. Kami berpendapat, cost recovery seharusnya tidak masuk ke dalam APBN," kata Dipnala.
Menurut Dipnala, apabila cost recovery dimasukkan ke dalam pembiayaan APBN, maka ini berpotensi mengkriminalisasi pelaku industri migas di dalam negeri. Namun jika cost recovery ditempatkan sebagaimana seharusnya, tidak ada persepsi bahwa terjadi pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada KKKS melalui APBN.
Sesuai dengan mekanisme dalam Kontrak Kerja Sama, perusahaan migas/KKKS mengeluarkan seluruh dana yang diperlukan dalam operasi migas sebagai investasi. Artinya, tidak ada sepeser pun uang negara dipakai untuk keperluan operasi migas.
Dipnala mencontohkan kesalahan persepsi tersebut dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Dia menyebut kasus tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku migas nasional. "Kasus Chevron menimbulkan kekhawatiran di kalangan kami. Jangan heran kalau kita slow down dari aktivitas," ujarnya.
Seperti pada kasus Merpati dan IM2, penanganan kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi yang dilakukan aparatur negara nyatanya tidak hanya menuai tudingan pelanggaran HAM serius. Namun juga menjadi perdebatan sejumlah kalangan, baik itu akademisi maupun pihak berkompeten lainnya. Tengok saja pernyataan yang dilontarkan Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran. Dia menegaskan, sejatinya kasus bioremediasi yang menjerat PT CPI mutak bukanlah tindak pidana korupsi.
Lantaran itulah, dalam diskusi tentang “UU Migas dan Perlindungan Kontrak Kerjasama Dalam Memperkuat Kepastian Hukum di Indonesia” yang berlangsung pada awal 2014 di Jakarta, Romli pun mengisyaratkan adanya ancaman aksi kriminalisasi dalam penanganan kasus proyek bioremediasi PT CPI. “Jadi tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian negara termasuk korupsi,” ujar penyusun UU Tipikor tersebut.
Sekedar mengingatkan, para karyawan dan kontraktor CPI diseret ke pengadilan tipikor atas tuduhan merugikan keuangan negara dalam kegiatan bioremediasi. Menurut Romli, hal itu terjadi karena aparat penegak hukum tidak mau menengok pasal 14 Undang-Undang (UU) Tipikor, yang memberikan rambu-rambu guna membatasi lingkup perbuatan yang bisa dikategorikan korupsi.
Problem Investasi Migas
Romli pun mengingatkan, dugaan kerugian negara yang terjadi pada aktivitas Perseroan Terbatas (PT) tidak bisa buru-buru disebut korupsi. Sebab, menurutnya, korupsi timbul jika semua unsurnya terpenuhi. Yakni, ada penyalahgunaan wewenang selaku pejabat pemerintah, ada perbuatan melawan hukum, dan ada kerugian negara.
“Ketiganya harus terpenuhi secara kumulatif. Tidak bisa hanya ada kerugian negara, lalu sebuah korporasi atau PT disebut melakukan korupsi. Bisa saja penggelapan, pemalsuan dokumen, atau yang lainnya. UU Tipikor memang lex specialist, namun bukan untuk memotong lex generali-nya.Kalau bukan korupsi, jangan dipaksakan, cacat jadinya. Bakal lebih banyak mudharat (keburukan)-nya ketimbang maslahat (kebaikan)-nya,” tegas Romli.
Lebih jauh, Romli mengaku sudah meneliti kasus bioremediasi CPI yang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dan, menurutnya, inti persoalan sebenarnya terletak pada kontrak yang tidak diawasi, lalu dikaitkan dengan cost recovery, sehingga dianggap dapat merugikan keuangan negara. “Ini mutlak mal-administrasi, paling banter perdata (mengembalikan kerugian negara) dan bukan pidana korupsi.Mal-administrasi tidak sama dengan melawan hukum,” katanya.
Hal senada diungkapkan M Hakim Nasution. Pakar hukum migas ini menilai, sejak awal aparat penegak hukum sudah terlihat ingin menghukum para terdakwa bioremediasi. “Ini saya rasakan saat menjadi saksi ahli di persidangan bioremediasi. Dari lontaran pertanyaan-pertanyaan para hakim, terkesan vonis yang akan dijatuhkan sudah tergambar di sini,” ujarnya.
Menurut Hakim, sebenarnya sudah jelas bahwa bioremediasi ini adalah kegiatan yang bersifat perdata. Kalau toh ada pejabat negara dalam hal ini SKK Migas, dalam konteks kontrak kerjasama migas, lembaga ini menjalankan fungsi keperdataan.
“Saya terangkan kepada hakim bahwa pejabat negara itu bisa menjalankan fungsi publik atau fungsi perdata sesuai konteksnya.Namun hakim seolah mendorong saya untuk membenarkan bahwa bioremediasi ini masuk ranah hukum publik,” ungkapnya.
Semua keganjilan yang terungkap dari kasus bioremediasi PT CPI itu tak pelak memunculkan satu kekhawatiran di kalangan pelaku migas di dalam negeri. Pasalnya, menurut Romli, terlalu banyak persoalan yang mengganggu sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. “Perkembangan sektor ini terhambat dan terancam banyak pengusaha yang hengkang,” paparnya.
Hal seperti itu, lanjut Romli, tidak akan terjadi jika pemerintah punya visi dalam penegakan hukum. “Ini masalah kebijakan, visi, presiden harus turun tangan melindungi korporasi dari kriminalisasi. Kalau ini terjadi terus, korporasi akan pergi dari Indonesia karena hukum di sini tidak jelas dan tidak pasti,” paparnya.
Pendapat serupa juga datang dari Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif Reforminer Institute. “Kriminalisasi terhadap kontrak kerjasama pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) atau Production Sharing Contract (PSC) terbukti telah menghambat investasi,” katanya.
Terbukti, sampai 2014 tidak ada investasi besar sektor migas yang masuk ke Indonesia. Itu, menurut Pri, terjadi karena para investor takut dan ragu-ragu. “Mereka takut, setelah masuk dan menanamkan modal dalam jumlah besar, kontraknya diintervensi oleh pihak lain. Yang sudah telanjur masuk pun, untuk sementara memilih bertahan,” ujar Pri.
Masalahnya, bila kondisi itu terus berlanjut, tidak bisa diharapkan produksi minyak nasional bisa naik sampai di atas satu juta barel per hari, seperti yang ditargetkan pemerintah. “Jangankan naik, bertahan saja sulit. Yang jelas produksi minyak akan terus turun akibat kondisi ini. Kontraktor migas yang ada hanya mau merawat lapangan, tapi takut investasi,” ujarnya.
Kekhawatiran sejatinya telah kian mengerucut, bukan sekadar terkait buramnya iklim investasi migas di Indonesia. Melainkan juga, terkait ketulusan menyebarluaskan jargon "Indonesia adalah negara bermartabat yang senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima".
Beberapa waktu lalu Indonesia Petroleum Association (IPA) meminta pemerintah mengeluarkan biaya cost recovery agar masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Direktur Eksekutif IPA, Dipnala Tamzir, mengatakan perusahaan migas sebagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mengalokasikan sebagian hasil produksinya untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan. "Di sini ada kesalahan persepsi yang menjadi kekhawatiran perusahaan migas. Kami berpendapat, cost recovery seharusnya tidak masuk ke dalam APBN," kata Dipnala.
Menurut Dipnala, apabila cost recovery dimasukkan ke dalam pembiayaan APBN, maka ini berpotensi mengkriminalisasi pelaku industri migas di dalam negeri. Namun jika cost recovery ditempatkan sebagaimana seharusnya, tidak ada persepsi bahwa terjadi pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada KKKS melalui APBN.
Sesuai dengan mekanisme dalam Kontrak Kerja Sama, perusahaan migas/KKKS mengeluarkan seluruh dana yang diperlukan dalam operasi migas sebagai investasi. Artinya, tidak ada sepeser pun uang negara dipakai untuk keperluan operasi migas.
Dipnala mencontohkan kesalahan persepsi tersebut dalam kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia. Dia menyebut kasus tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku migas nasional. "Kasus Chevron menimbulkan kekhawatiran di kalangan kami. Jangan heran kalau kita slow down dari aktivitas," ujarnya.
Seperti pada kasus Merpati dan IM2, penanganan kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi yang dilakukan aparatur negara nyatanya tidak hanya menuai tudingan pelanggaran HAM serius. Namun juga menjadi perdebatan sejumlah kalangan, baik itu akademisi maupun pihak berkompeten lainnya. Tengok saja pernyataan yang dilontarkan Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran. Dia menegaskan, sejatinya kasus bioremediasi yang menjerat PT CPI mutak bukanlah tindak pidana korupsi.
Lantaran itulah, dalam diskusi tentang “UU Migas dan Perlindungan Kontrak Kerjasama Dalam Memperkuat Kepastian Hukum di Indonesia” yang berlangsung pada awal 2014 di Jakarta, Romli pun mengisyaratkan adanya ancaman aksi kriminalisasi dalam penanganan kasus proyek bioremediasi PT CPI. “Jadi tidak semua perbuatan yang menimbulkan kerugian negara termasuk korupsi,” ujar penyusun UU Tipikor tersebut.
Sekedar mengingatkan, para karyawan dan kontraktor CPI diseret ke pengadilan tipikor atas tuduhan merugikan keuangan negara dalam kegiatan bioremediasi. Menurut Romli, hal itu terjadi karena aparat penegak hukum tidak mau menengok pasal 14 Undang-Undang (UU) Tipikor, yang memberikan rambu-rambu guna membatasi lingkup perbuatan yang bisa dikategorikan korupsi.
Problem Investasi Migas
Romli pun mengingatkan, dugaan kerugian negara yang terjadi pada aktivitas Perseroan Terbatas (PT) tidak bisa buru-buru disebut korupsi. Sebab, menurutnya, korupsi timbul jika semua unsurnya terpenuhi. Yakni, ada penyalahgunaan wewenang selaku pejabat pemerintah, ada perbuatan melawan hukum, dan ada kerugian negara.
“Ketiganya harus terpenuhi secara kumulatif. Tidak bisa hanya ada kerugian negara, lalu sebuah korporasi atau PT disebut melakukan korupsi. Bisa saja penggelapan, pemalsuan dokumen, atau yang lainnya. UU Tipikor memang lex specialist, namun bukan untuk memotong lex generali-nya.Kalau bukan korupsi, jangan dipaksakan, cacat jadinya. Bakal lebih banyak mudharat (keburukan)-nya ketimbang maslahat (kebaikan)-nya,” tegas Romli.
Lebih jauh, Romli mengaku sudah meneliti kasus bioremediasi CPI yang diadili di Pengadilan Tipikor Jakarta. Dan, menurutnya, inti persoalan sebenarnya terletak pada kontrak yang tidak diawasi, lalu dikaitkan dengan cost recovery, sehingga dianggap dapat merugikan keuangan negara. “Ini mutlak mal-administrasi, paling banter perdata (mengembalikan kerugian negara) dan bukan pidana korupsi.Mal-administrasi tidak sama dengan melawan hukum,” katanya.
Hal senada diungkapkan M Hakim Nasution. Pakar hukum migas ini menilai, sejak awal aparat penegak hukum sudah terlihat ingin menghukum para terdakwa bioremediasi. “Ini saya rasakan saat menjadi saksi ahli di persidangan bioremediasi. Dari lontaran pertanyaan-pertanyaan para hakim, terkesan vonis yang akan dijatuhkan sudah tergambar di sini,” ujarnya.
Menurut Hakim, sebenarnya sudah jelas bahwa bioremediasi ini adalah kegiatan yang bersifat perdata. Kalau toh ada pejabat negara dalam hal ini SKK Migas, dalam konteks kontrak kerjasama migas, lembaga ini menjalankan fungsi keperdataan.
“Saya terangkan kepada hakim bahwa pejabat negara itu bisa menjalankan fungsi publik atau fungsi perdata sesuai konteksnya.Namun hakim seolah mendorong saya untuk membenarkan bahwa bioremediasi ini masuk ranah hukum publik,” ungkapnya.
Semua keganjilan yang terungkap dari kasus bioremediasi PT CPI itu tak pelak memunculkan satu kekhawatiran di kalangan pelaku migas di dalam negeri. Pasalnya, menurut Romli, terlalu banyak persoalan yang mengganggu sektor hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia. “Perkembangan sektor ini terhambat dan terancam banyak pengusaha yang hengkang,” paparnya.
Hal seperti itu, lanjut Romli, tidak akan terjadi jika pemerintah punya visi dalam penegakan hukum. “Ini masalah kebijakan, visi, presiden harus turun tangan melindungi korporasi dari kriminalisasi. Kalau ini terjadi terus, korporasi akan pergi dari Indonesia karena hukum di sini tidak jelas dan tidak pasti,” paparnya.
Pendapat serupa juga datang dari Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif Reforminer Institute. “Kriminalisasi terhadap kontrak kerjasama pengelolaan minyak dan gas bumi (migas) atau Production Sharing Contract (PSC) terbukti telah menghambat investasi,” katanya.
Terbukti, sampai 2014 tidak ada investasi besar sektor migas yang masuk ke Indonesia. Itu, menurut Pri, terjadi karena para investor takut dan ragu-ragu. “Mereka takut, setelah masuk dan menanamkan modal dalam jumlah besar, kontraknya diintervensi oleh pihak lain. Yang sudah telanjur masuk pun, untuk sementara memilih bertahan,” ujar Pri.
Masalahnya, bila kondisi itu terus berlanjut, tidak bisa diharapkan produksi minyak nasional bisa naik sampai di atas satu juta barel per hari, seperti yang ditargetkan pemerintah. “Jangankan naik, bertahan saja sulit. Yang jelas produksi minyak akan terus turun akibat kondisi ini. Kontraktor migas yang ada hanya mau merawat lapangan, tapi takut investasi,” ujarnya.
Kekhawatiran sejatinya telah kian mengerucut, bukan sekadar terkait buramnya iklim investasi migas di Indonesia. Melainkan juga, terkait ketulusan menyebarluaskan jargon "Indonesia adalah negara bermartabat yang senantiasa menjadikan hukum sebagai panglima".
SUMBER
eatingsugar memberi reputasi
1
1.7K
Kutip
2
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan