BELAJAR DARI SEJARAH ORDE BARU DAN KISAH DIBALIK PERISTIWA MEI 1998
TS
mr.kaito
BELAJAR DARI SEJARAH ORDE BARU DAN KISAH DIBALIK PERISTIWA MEI 1998
BELAJAR DARI SEJARAH ORDE BARU DAN KISAH DIBALIK PERISTIWA MEI 1998
MERANGKAI KEPINGAN PUZZLE YANG TERSERAK
Banyak persoalan di Masa Orde Baru belum selesai secara tuntas. Bahkan kini, 16 tahun pasca tumbangnya Orde Baru, berbagai masalah masih saja diliputi jelaga misteri. Salah satunya tentang kasus penculikan para aktifis di tahun 1998. Maklumlah, tiga belas korban penculikan di masa akhir kekuasaan Orde Baru itu hingga kini belum kembali. Nah, menjelang Pemilu Presiden 2014 ini, kasus penculikan kembali marak dibicarakan. Bahkan, kasus penculikan aktifis ini dijadikan amunisi bagi satu dua pihak pendukung presiden tertentu untuk menjatuhkan pihak yang lain. Beberapa kesaksian korban penculikan kembali diunggah, berbagai talkshow digelar, dan kisah-kisah sedih itu kembali dimunculkan.
Di panggung politik, empat belas tahun memang bukan waktu yang lama. Masih ada pihak-pihak yang mengalami peristiwa itu, dan menyimpan emosi-emosi tersendiri dalam hati dan otaknya, sehingga mungkin masih belum bisa berdamai dengan sejarah atau bahkan berdamai dengan ego mereka sendiri. Mereka inilah yang tampaknya kemudian mencoba mempengaruhi anak-anak muda --yang belum sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya terjadi ketika peristiwa itu terjadi--, atau generasi tua --yang hanya memiliki sekeping informasi yang tak lengkap-- dengan sepenggal informasi bermuatan emosi.
Karena alasan itulah, saya ingin menshare tulisan lama ini. Saya berharap, paling tidak dengan tulisan ini, kawan-kawan bisa memandang kasus penculikan itu dengan frame yang agak lebih lebar, sehingga menjadi lebih arif dalam membaca sejarah, dan menganalis dampak-dampaknya. Memang, masih ada beberapa background information yang belum terungkap dalam tulisan ini. Tapi paling tidak dalam tulisan saya yang pernah dimuat sebagai tulisan utama dalam rubrik Forum Utama di Majalah Forum edisi 9tahun ke VII / 1998 ini, beberapa informasi krusial telah dikonfirmasikan kepada narasumber paling kompeten dalam kasus ini.
Sekali lagi saya katakan bahwa saya tidak memihak kepada siapapun dalam gesekan-gesekan menjelang Pemilu 2014 ini. Saya juga tidak punya urusan dengan tim sukses manapun. Saya hanya ingin negeri ini menjadi lebih baik, lebih beradab, dan lebih bermartabat. Karena itu, saya tidak menambahi tulisan ini dengan informasi baru, persepsi baru dan pemahaman saya saat ini. Misalnya, saya tidak menambahkan sekeping puzzle informasi penting tentang adanya satu faksi lagi dalam konflik antar elit militer menjelang runtuhnya Orde Baru, yang baru saya dapatkan dari seorang Letnan Jenderal yang baru saya temui tadi malam. Ingin memaparkan sekeping fakta dan sebaris informasi yang saya fahami inilah yang menjadi niat saya dalam menshare tulisan lama ini.
Silakan...
NB :
- Tulisan2 yg TS hadirkan disini adalah kumpulan tulisan para wartawan senior (diantaranya Hanibal Wijayanta, Johan Budi SP, dll) yg secara langsung merekam dan menjadi saksi rangkaian kasus di mei 1998.
- Tulisan2 yg dihadirkan disini adalah tulisan2 asli pak Hanibal Wijayanta dkk belasan tahun lalu yg sama sekali tidak diberi penambahan sedikitpun oleh TS.
- TS hanya menambahkan beberapa info diluar tulisan2 yang dimaksud yang bertujuan agar kemurnian tulisan tetap terjaga.
Mari Kita Mulai... Bismillah...
Spoiler for 1. Belajar dari Sejarah Orde Baru:
Berikut adalah rangkuman berbagai tulisan yang pernah saya buat sejak di Forum dan Tempo. Semoga bisa menjadi bahan bacaan dan diskusi yang menarik, setelah 12 tahun tumbangnya Orde Baru...
<B>Belajar dari Sejarah Orde Baru</B>
<I>Soeharto membangun pilar-pilar kekuasaan Orde Bary yang akhirnya mengkhianati dirinya saat langit kekuasaannya runtuh.
“Dari sejarah kita belajar bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah.” Perkataan filsuf Inggris George Bernhard Shaw ini mungkin cukup pedas. Tapi bagi Bangsa Indonesia yang sangat pelupa dan bahkan mengidap amnesia sejarah yang akut ini, petuah itu tampaknya perlu direnungkan. Apalagi di masa pancaroba pasca reformasi yang semakin absurd ini.
Hari ini, dua belas tahun yang lalu, kekuasaan Orde Baru runtuh setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari kursi kepresidenan, pada 21 Mei 1998. Padahal, jika menilik langkah-langkah, strategi, trik, rekayasa dan tipu muslihat sang Jenderal Besar dalam membangun kekuasaannya selama 32 tahun, keruntuhan itu nyaris tak dapat dipercaya.
Awal tahun 1960-an, Soeharto adalah seorang jenderal buangan. Ia dicopot dari posisi Panglima Divisi Diponegoro pada 17 Oktober 1959 oleh KSAD (Letnan) Jenderal AH Nasoetion karena menyelundupkan bahan kebutuhan pokok. Namun, atas lobby Deputi KSAD (Mayor) Jenderal Gatot Subroto dan (Brigadir) Jenderal Ahmad Yani, yang mendapat informasi dari ketua tim penyidik kasus ini, Kolonel Moehono, Soeharto tak jadi dipecat.
Menurut kisah bekas sekretaris pribadi Nasoetion, Bakrie AG Tianlean, kedua sesepuh Divisi Diponegoro itu meminta Nasoetion tidak menghukum Soeharto. “Ini kan teman kita, malu kita. Toh tidak hanya dia. Di Sumatera Jamin Ginting bikin, di Palembang Alamsyah juga bikin,” kata Gatot. Karena lobby itu, Nasoetion mengubah hukuman Soeharto menjadi hanya sekadar disekolahkan di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat). “Inilah tanda tangan saya pertama untuk melindungi Soeharto,” kata Nasoetion seperti ditirukan Bakrie.
Meski sudah berpangkat Brigjen, Soeharto harus menerima nasib disekolahkan di SSKAD. Padahal, biasanya siswa SSKAD ini rata-rata baru berpangkat Kolonel, Letnan Kolonel atau bahkan Mayor. Tapi di sinilah Soeharto bertemu Mayjen Suwarto, jenderal intelektual yang kemudian menjadi mentornya. Soewarto adalah salah satu peletak dasar Orde Baru, yang menggelar Seminar Angkatan Darat II tahun 1966, saat menjadi Komandan Seskoad.
Rampung sekolah di SSKAD, Soeharto lalu diangkat menjadi Deputi I KSAD. Ia lalu didapuk pula menjadi Panglima Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad). Meski menjadi cikal bakal Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), pada awalnya Tjaduad hanyalah sebuah lembaga baru yang tidak bergengsi. Namun, posisi inilah yang kemudian membawakan keberuntungan baginya.
Sejak memimpin Kostrad, Soeharto terus membangun kekuatannya. Ia kemudian memanggil para bekas anak buah andalannya dari Divisi Diponegoro seperti Ali Moertopo, Soedjono Hoemardani, Yoga Soegama, Ismail, Wahono dan lain-lain untuk bergabung di Kostrad. Sejak itu Soeharto punya pasukan lagi dan Kostrad pun menjelma menjadi kekuatan baru.
Bintang Soeharto bersinar ketika Presiden Soekarno menyerukan Trikora untuk merebut Irian Barat. Soeharto lalu diangkat menjadi Panglima Mandala. Berpuluh batalyon dari berbagai matra TNI kemudian berada di bawah kendalinya. Padahal menurut penuturan almarhum Mayjen Moehono, gelar operasi Trikora sebenarnya hanyalah formalitas saja. Sebab, dari hasil perundingan Moehono dengan Robert Kenedy, Amerika Serikat telah mendukung kembalinya Irian Barat ke pangkuan RI dan mendesak Belanda untuk segera pergi.
Zaman berubah ketika PKI menggelar percobaan kudeta. Meski Soeharto adalah perwira paling senior di TNI AD setelah KSAD Letjen Ahmad Yani, entah mengapa nama Soeharto justru tidak masuk dalam daftar jenderal yang diculik gerombolan G 30 S/PKI. Karena itu, beberapa pengamat tetap mencurigai keterlibatan Soeharto dalam percobaan kudeta itu. “Ia melakukan kudeta merangkak,” kata Indonesianis dari Belanda, Prof. W F Wertheim, dar Belanda.
Menurut pengakuan bekas Komandan Brigade Infanteri I/Jaya Sakti, Kolonel Latief, ia sempat melaporkan rencana operasi penjemputan jenderal-jenderal Angkatan Darat kepada Soeharto. Bekas anak buah Soeharto ketika masih berdinas di Jawa Tengah itu melaporkan perkembangan situasi politik di rumah Soeharto di jalan Agus Salim. “Saat itu dia hanya diam saja,” kata mendiang Latief saat ditemui setelah ia bebas dari tahanan di LP Cipinang.
Karena ingin mencari dukungan Soeharto, pada malam 30 September 1965, Latief mencoba menemui Soeharto di RSPAD Gatot Subroto. Ketika itu, Soeharto sedang menunggui Tommy, anak bungsunya, yang tersiram sup panas. Tapi, ketika ditemui di rumah Tutut beberapa bulan setelah lengser, Soeharto menjelaskan bahwa Latief tak pernah menemuinya. “Dia hanya mondar-mandir di luar. Dia hanya mengecek saya,” ujarnya.
Pertanyaan soal keterlibatan Soeharto memang sangat kental. Sebab, beberapa tokoh kudeta pernah menjadi anak buahnya seperti Untung dan Latief. Soeharto bahkan telah bertemu dengan Syam, sebagai sesame anggota kelompok diskusi “Villa Merah” Pathok, Yogyakarta di awal kemerdekaan Indonesia dulu. Saat kami tanyakan hubungannya dengan Untung, Latief dan Syam, Soeharto mengatakan, “Sejak dulu saya mengenal mereka sebagai anggota PKI.”
Menurut sejarawan LIPI Asvi Warman Adam, tahap terpenting dalam peralihan kekuasaan Soekarno ke Soeharto terjadi adalah antara 1 Oktober 1965 hingga 11 Maret 1966. Pada 1 Oktober, untuk pertama kalinya Soeharto membangkang terhadap Sukarno dengan menolak dipanggil ke Halim Perdanakusumah. “Dia mulai menunjukkan bahwa dia sudah mempunyai kekuatan,” ujarnya.
Kemudian, sehari setelah menerima Supersemar, atas nama Presiden Soekarno, Soeharto membubarkan PKI. Orang-orang PKI wajip lapor ke Penguasa Perang Wilayah Daerah selambat-lambatnya akhir Maret 1966. Tiga hari setelah itu, 15 anggota Kabinet Dwikora ditangkap. Pimpinan DPR-GR juga memecat 63 anggota dari PKI. Semula Soekarno mempertanyakan semua langkah itu. Tapi, Soeharto yang telah diangkat menjadi Menteri Hankam jalan terus.
Tahun 1966 diselenggarakan Seminar Angkatan Darat II di Seskoad. Disitulah digodok doktrin politik, militer dan ekonomi landasan Soeharto dalam menata kekuasaan. “Di situ dirumuskan peran TNI yang holistik dan menjadi setting besar karena bersinergi dengan Mafia Berkeley seperti Widjojo Nitisastro dan sebagainya,” kata pengamat militer Kusnanto Anggoro.
Sebenarnya masih ada tokoh yang lebih senior dari Soeharto di TNI AD, yaitu Abdul Haris Nasoetion. Nasoetion adalah salah satu target utama G-30-S/PKI, namun lolos. Tapi sejak “ditendang ke atas” oleh Soekarno sebagai Menteri Panglima Angkatan Perang, praktis ia tak punya akar dan pasukan. Nasoetion juga dianggap ragu-ragu dalam mengambil sikap.
Selain itu ada pula kesepakatan para pendukung Orde Baru. “Kita dukung Soeharto saja, Nasoetion itu orang pinter, susah kita atur. Soeharto kan bekas sersan KNIL, otaknya di dengkul, kita mudah mengaturnya,” kata mantan Menteri Penerangan Mashuri SH sebagaimana dikutip mantan Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia Adnan Buyung Nasution beberapa waktu lalu.
Tapi sang sersan KNIL ternyata tak seperti yang dibayangkan. Langkah-langkah Soeharto sulit dibendung dan semakin membuktikan bahwa dia ahli strategi dan jago rekayasa. Ia diangkat sebagai pejabat presiden setelah pidato Soekarno ditolak MPRS. Sejak itu pula mesin politiknya bergerak. “Secara berangsur-angsur Nasoetion disingkirkan,” kata Asvi.
Soeharto ditetapkan sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967 setelah pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno, Nawaksara, maupun Pelengkap Nawaksara, ditolak MPRS. Kemudian, Soeharto diangkat menjadi presiden dalam Sidang Umum MPRS (Tap MPRS No XLIV/MPRS/1968) pada 27 Maret 1968. Selain sebagai presiden, ia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Pertahanan/Keamanan. Mulai saat ini dikenal istilah Orde Baru.
Untuk urusan ekonomi, Soeharto merekrut sejumlah ekonom dari Universitas Indonesia sebagai Tim Penasihat Ekonomi Presiden (TPEP). Tim diketuai Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, dan beranggota ekonom seperti Emil Salim, Sadli, Ali Wardhana, Radius Prawiro, JB Sumarlin dan sebagainya. Rata-rata mereka lulusan University California of Berkeley, sehingga mereka kemudian dikenal dengan sebutan Mafia Berkeley. Lewat Kepres No 195/1968, tim yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden ini dibentuk pada Senin, 17 Juni 1968. Mereka kemudian diangkat menjadi menteri-menteri ekonomi Soeharto.
Soeharto juga mengadopsi pemikiran di luar TNI AD maupun mafia Berkeley. Dalam bidang politik, ambisi Soeharto bersinergi dengan pemikiran seorang Romo Jesuit Pater Iosephus Gerardus Beek. “Awal mula Golkar adalah ide seorang romo Jesuit: Beek. Dia menginginkan negara korporatif. Sebuah negara tanpa partai-partai, tetapi kelompok-kelompok, antara lain kelompok nelayan, petani, buruh pabrik, dan pengusaha hotel. Itulah ide semula,” kata Romo Dick Hartoko kepada Majalah Tempo pasca breidel.
Semula Pater Beek berhubungan dengan Soeharto lewat Ali Moertopo dan Sudjono Hoemardani. Dia pulalah yang kemudian mendorong Ali dan Soedjono mendirikan CSIS (Centre for Strategic and International Studies) sebagai sebuah lembaga studi strategis terkemuka yang menampung para anak didik Pater Beek. “Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani sangat berperan,” kata Asvi.Dari tangan mereka lahir blueprint Akselerasi Pembangunan 25 tahun.
Senin, 3 Maret 1969, terbitlah Keputusan Presiden Nomor 19/1969 tentang Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Selaku Panglima Kopkamtib, Soeharto memegang pimpinan dan pengendilan operasi. Keputusan Presiden yang mencabut Kepres No 179/KOTI/1965 tentang KOTI ini mengukuhkan Soeharto sebagai penguasa tunggal di bidang keamanan.
Di bidang politik, pada 7 Februari 1970, Soeharto melansir rencana penyederhanaan parpol. Cita-cita itu terwujud tiga tahun kemudian, setelah Pemilu 1971. 5 Januari 1973, NU, Parmusi, Perti, dan PSII, bergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan. Sedangkan PNI, IPKI, Murba, Partai Katolik, dan Parkindo bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia. Namun partai-partai dilarang turun ke desa dengan alasan perlunya stabilitas. Maka muncullah teori massa mengambang.
Dengan ideologi kekaryaaan Soeharto memoles Sekber Golkar bentukan Nasoetion di era 50-an sebagai kekuatan baru dalam Pemilu 1971. Tangan Pater Beek dan para kadernyalah yang mewarnai Sekber Golkar saat itu. Untuk menandingi partai–partai lain, kawalan dan intimidasi militer akhirnya memenangkan Golkar. Soeharto pun mulai melakukan penaklukan lebih jauh: Pancasila ditetapkan sebagai asas tunggal.
Birokrasi pun ditata lewat tangan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Dialah yang “membuldozer” dan merombak tatanan politik dalam negeri dan birokrasi yang semula dikuasai pemikiran rezim Soekarno. Soeharto juga mengkonsolidasi militer. Angkatan lain dilemahkan, sementara Angkatan Darat diperkuat dan dijadikanya sebagai alat kekuasaan yang ampuh dan selalu mengikuti perintahnya. Dengan kepiawaiannya berolah strategi, ia mampu membuat semua perwira tinggi merasa dekat dengannya, sehingga mudah dikendalikan.
Sejak Orde Baru konsep dwifungsi ABRI berubah. Dari konsep Jalan Tengah Nasoetion yang tut wuri handayani menjadi ing ngarso sung tulodo. TNI menjadi pengontrol kehidupan politik bermasyarakat dan bernegara. Ibarat permainan sepak bola, TNI menjelma menjadi kapten sekaligus playmaker, penyerang, gelandang, back, kiper, bahkan anak gawang sekalipun.
Kritik terhadap sepak terjang Soeharto bukannya tak ada. Para mahasiswa dan cendekiawan terus mengritiknya. Begitu pula kalangan militer seperti KSAD Jenderal Widodo bersama Fosko Angkatan Daratnya. Tokoh senior seperti Ali Sadikin, HR Dharsono, Hoegeng, dan lain-lain pun bereaksi dan bergabung dengan elemen kritis masyarakat dalam Petisi 50. Intinya mereka menyeru Soeharto agar kembali ke UUD '45. Tapi semua mampu dilemahkan dan dipreteli dengan represi.
Soeharto akhirnya menjadi pusat kekuatan sosial politik yang tak tertanding. Dia menjadi Presiden/Mandataris MPR, sekaligus Panglima Tertinggi TNI, dan Dewan Pembina Golkar. Menurut pakar politik Universitas Indonesia Arbi Sanit, sejak 1978 kekuasan berpusat pada negara. “Sedangkan era, 80-an kekuasaan itu berpusat kepada satu orang: Soeharto," ujarnya.
Jasa Soeharto –namun sekaligus kekeliruan terbesarnya-- adalah perhatiannya di bidang ekonomi. Bila di era Demokrasi Terpimpin, politik menjadi panglima, jaman Orde Baru di bawah Soeharto adalah era "Ekonomi sebagai Panglima". Pemerintahan Soeharto memang membawa Indonesia ke sistem perencanaan pembangunan ekonomi terstruktur lewat Repelita dan RAPBN. Tapi teori <I>trickle down effect</I> yang diadopsinya dari para ekonom Berkeley melahirkan pengusaha bermodal katebeletje dan kesenjangan. Tetesan kue ekonomi yang diharapkan ternyata tak juga jatuh ke rakyat.
Maka berlakulah adagium Ibnu Khaldun. Dalam bukunya, Mukaddimah, sosiolog abad pertengahan dari Adalusia itu menggambarkan ciri sebuah kekuasaan yang mulai menua, di mana kekuasaan itu lambat laun mulai lamban dan terbelenggu kemewahan, sehingga melupakan tugas-tugas dan fungsi utamanya. Hal itu pula yang terjadi di tubuh kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto.
Ketika represi meningkat, kebencian yang menumpuk hanya tinggal menunggu waktu untuk meledak. Maklumlah, di era Soeharto, berbagai peristiwa SARA diredam dengan cara yang tidak mendidik, sementara kerusuhan masif semacam Peristiwa Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng, 27 Juli, dan lain-lain diselesaikan dengan pendekatan militeristik. Leher botol politik yang tersumbat pun memunculkan perlawanan diam dengan maraknya golput.
Kelemahan Soeharto lainnya adalah ketika ia tak mampu lagi mengelola konflik para pembantunya sampai ke akar. Jarak dirinya dengan opsir-opsir muda mulai jauh. “Ibarat kakek bermain dengan cucu dan cicitnya,” kata pengamat militer Salim Said. Akhirnya Soeharto menunjuk para ajudannya menjadi kader pimpinan tentara. Jalur ajudan kemudian menjadi jalan tol menuju kekuasaan. Tentu hal ini menimbulkan kecemburuan orang yang ditempa kerasnya medan pertempuran.
Keluarga Soeharto juga mempengaruhi kondisi pemerintahannya di akhir 80-an. Konon ketika itu Soeharto sudah bersiap mundur, namun orang-orang di sekitarnya memintanya bertahan. Maka apel Kebulatan Tekad yang direkayasa Alamsyah Ratuperwiranegara pun digelar. Ia juga tak mampu menghalangi sepak terjang anak-anaknya yang mulai belajar berbisnis dengan berbagai proteksi dan kemudahan.
Maka, ketika hantaman krisis moneter melanda, kekuatan yang dibangun Soeharto satu persatu runtuh. Ekonomi morat-marit, Golkar pecah, dan militer pun tidak kompak. Pengaruh luar negeri lewat desakan IMF juga menjadi salah satu faktor penting dalam isu reformasi sejak 1997. “Faktor internasional cukup dominan,” kata Kusnanto. Bahkan menurut Fadli Zon, IMF menjadi motor terdepan bersama CIA dalam upaya menjatuhkan Soeharto.
Isu reformasi akhirnya membuat Golkar berantakan. Kosgoro dan Soksi terang-terangan memintanya mundur, sementara MKGR malu-malu. Golkar pro Siti Hardijanti “Tutut” Rukmana, jelas ingin mempertahankan Soeharto. Tapi apa daya semuanya sudah berubah. Mau tak mau mereka mau reformasi juga tapi jelas yang terkendali tapi ternyata semua sudah terlambat.
Maka menjelang keruntuhan Soeharto, justru pilar-pilar yang dibangunnya sendiri yang mengkhianati satu per satu. Ketua DPP Golkar Harmoko – Ketua Umum Partai dan kekuatan politik yang dibinanya-- meminta Soeharto lengser keprabon, ABRI di bawah kepemimpinan Panglimanya, Jenderal Wiranto –bekas ajudannya sendiri-- menyetujui pernyataan PB NU yang meminta Soeharto mundur. Dan terakhir, 14 menteri dalam kabinetnya mengundurkan diri ketika Soeharto mencoba menyusun kekuatan terakhirnya. Para menteri itu dipimpin Marsekal Madya Purn Ginandjar Kartasasmita, orang yang dididik dan dipercayainya di kabinet dalam beberapa periode .
Masihkah kita tidak belajar dari sejarah?
Hanibal W Y Wijayanta
0
7.4K
Kutip
20
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru