bimaputraabadiAvatar border
TS
bimaputraabadi
Para Jenderal “Berdarah” Bergabung Di Kubu Jokowi


Menjelang pemilihan Capres dan Cawapres 9 Juli mendatang kita melihat berbagai kubu saling mendukung pasangan tertentu. Baik kubu Prabowo-Hatta atau kubu Jokowi-Jusuf Kalla. Namun di tulisan ini saya ingin menyoroti para jenderal “Berdarah” yang kini telah menasbihkan diri untuk mendukung penuh Jokowi-JK. Para mantan jenderal ini tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita, mereka adalah Wiranto, (Panglima Tni 98-99), A.M. Hendropriyono (Komandan Kondiklat TNI AD, Mantan Kepala BIN 2001-2004), Sutiyoso ( Wakil Komandan Jenderal Kopasus,1992).

Mereka semua memiliki catatan kasus kelam yang sampai kini belum diusut tuntas. Apa saja kasus tersebut? Mari kita bahas satu per satu.

WIRANTO

Wiranto diduga terlibat dalam kejahatan perang di Timor Timur (saat ini bernama Republik Demokratik Timor Leste) tahun 1999.Bersama lima perwira militer lainnya yang diduga terlibat, Wiranto didakwa oleh pengadilan (PBB) ikut terlibat dalam tindak kekerasan pada tahun 1999 yang menyebabkan 1500 warga Timor Timur tewas selama berlangsungnya referendum, jajak pendapat kemerdekaan. Tapi, peradilan Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia menolak untuk menyelidiki perwira dan aparat kepolisian yang dituduh terlibat pelanggaran HAM dalam pembebasan Timor Timur.

Penolakan untuk memejahijaukan itu dianggap melecehkan bukti yang telah ada dan membuat marah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (Deplu AS), oleh karena itu Wiranto dan lima perwira lainnya tersebut masuk dalam daftar tersangka penjahat perang dan dilarang masuk ke Amerika Serikat.
Jaksa Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menyarankan Timor Leste mengeluarkan surat penangkapan internasional bagi bekas Panglima TNI Jenderal tersebut. Nicholas Koumjian, seorang jaksa PBB dari Pengadilan Khusus Kriminal Serius di Dili mengatakan, Wiranto semestinya bertanggung jawab atas insiden berdarah tahun 1999 itu. Dia juga mengatakan bahwa Wiranto telah gagal melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin kekuatan militer dan polisi di Timor Timur untuk mencegah terjadinya kejahatan melawan kemanusiaan dan gagal menghukum pelaku kejahatan itu.

Sumber : Wikipedia.com, majalahselangkah.com


A.M Hendropriyono

Kemarin mantan Kepala Badan Intelijen Negara(BIN) AM Hendropriyono mendapatkan anugerah MURI (Museum Rekor Indonesia). Dia diputuskan sebagai mahaguru intelijen pertama di Indonesia dan di dunia. Hendropriyono, mantan Kepala BIN periode 2001-2004 itu dikukuhkan sebagai guru besar bidang intelijen di Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN).
Lalu Bagaimana sepak terjang Hendropriyono ini? Karir militer lelaki kelahiran Yogyakarta 17 Mei 1945, ini memang moncer. Karir awalnya sebagai komandan pleton dengan pangkat Letnan Dua Infantri di Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassandha) yang kini bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD, hingga menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam pada 1988.

Sementara pengalaman intelijennya dimulai saat dia menjabat direktur pengamanan VIP dan obyek vital dan direktur operasi dalam negeri Badan Intelijen Strategis (Bais) ABRI pada periode 199I-1993, hingga akhirnya dia menjabat sebagai kepala Badan Intelijen Negara (BIN) pada periode 2001-2004.

Setelah berkarir di militer, Hendropriyono pernah menjabat sebagai sekretaris Pengendalian Operasional Pembangunan Republik Indonesia periode 1996-1998, Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) dalam Kabinet Pembangunan VII, Menteri Transmigrasi dan PPH dalam Kabinet Reformasi yang kemudian merangkap Menteri Tenaga Kerja.

Namun rekam jejak Hendropriyono tidak selalu bersih. Misalnya dalam catatan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Lembaga itu memiliki catatan-catatan hitam terkait kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saat Hendropriyono menjabat baik saat di militer maupun saat menjabat kepala BIN.

Koordinator KontraS Haris Azhar, menyebut beberapa catatan penting kasus-kasus pelanggaran HAM itu. Misalnya peristiwa Talangsari pada 7 Februari 1989 yang menelan korban jiwa tidak sedikit.
Hendropriyono yang waktu itu menjabat sebagai Danrem 043/Garuda Hitam, bersama pasukannya menyerang kelompok Warsidi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur. "Korban pembantaian 209 orang. Peristiwa itu tidak selesai sampai sekarang," ujar Haris.

Selain itu, Haris juga mengungkap kasus lain yakni kematian aktivis HAM Munir pada 7 September 2004. Munir tewas di dalam pesawat saat perjalanan ke Amsterdam, Belanda. "Saat dia menjabat sebagai kepala BIN, ada kasus Munir meninggal. Dia dibunuh lewat operasi agen-agen intelijen. Kasus itu juga tidak selesai sampai kini," kata Haris.

Dengan catatan-catatan ini, Haris mengimbuhkan, KontraS protes gelar yang diberikan kepada Hendro. "Masak dunia akademik mengakomodir orang yang bermasalah dengan kemanusiaan. Kami juga mempertanyakan," kata Haris.

Haris melanjutkan, soal kasus-kasus HAM yang dituduhkan kepada dirinya, Hendropriyono juga menolak konsep HAM. Dia memiliki Waham, dalam penanganan terorisme konsep HAM itu tidak penting. "Saya melihat ini cukup signifikan, mengganggu proses demokratisasi. Betul itu ada terorisme, tapi dia jawab dengan cara, HAM itu tidak penting. Menurut saya itu kontraproduktif untuk perkembangan demokrasi di Indonesia."

"Harusnya guru besar itu bukan hanya sekadar mengetahui keilmuan di bidang tersebut, tapi juga landasan etik. Saya tidak pernah menemukan tulisan-tulisan akademis yang dia tulis yang mendukung pemberian gelar Guru Besar itu," ujar Haris Azhar menegaskan.

Sumber : Merdeka.com , kontras.org

Sutiyoso

Siapa sesungguhnya dalang peristiwa 27 Juli bisa dilacak dari artikel yang ditulis oleh Rosihan Anwar (Alm) di Kompas, 27 Juli 2002, enam tahun setelah peristiwa berdarah. Rosihan adalah saksi mata, yang menjadi tetangga kantor DPP PDI. Rumahnya di Jalan Surabaya, hanya 200 meter dari tempat kejadian. Rosihan yang wartawan senior itu melakukan reportase dan merekonstruksinya aktor-aktor yang terlbat dalam penyerangan. Dari artikel Rosihan bertajuk "Petite Histoire", dapat disimpulkan aktor-aktor yang terlibat adalah:
▪ Pasukan Gegana Polri yang berseragam serba hitam bersenjata tongkat berkumpul tak jauh dari kantor PDI.

▪ Pasukan ABRI di luar kantor PDI dipimpin Pangdam Jaya Sutiyoso diperintahkan oleh Kapuspen ABRI, Amir Syarifuddin. Amir berada di gardu Satpam rumah milik Mien Sugandhi, di Jalan Diponegoro 54, sebelah kiri PDI. Rosihan mendengar komunikasi seluler keduanya, "Yos, masuklah ke dalam. Ini hari sudah siang. Kita terlambat nanti" ujar Kepala Puspen ABRI," kata Amir Syarifuddin di telpon yang tersambung dengan Mayjend Sutiyoso

▪ ABRI pula yang berusaha mengatur opini di media massa kalau dalang kerusuhan 27 Juli adalah Partai Rakyat Demokratik (PRD). Rosihan mengaku dua hari sebelum penyerbuan bertemu dengan Amir Syarifuddin. Pertemuan diatur Ilham Bintang, wartawan Harian Angkatan Bersenjata- yang kini memimin Tabloid Cek & Ricek. Amir hasil penilaian ABRI tentang Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang dipimpin Budiman Soedjatmiko, kini anggota DPR dari PDIP. Kajian perwira ABRI dan dosen universitas itu menyimpulkan, ideologi PRD mirip PKI yang dinyatakan terlarang. "Setelah saya baca beberapa bagian, saya simpulkan tujuan publikasi hendak mendiskreditkan PRD. Kaitkan PDI dengan PRD, bilang ideologi PRD mirip ideologi PKI, lalu ada pembenaran untuk menggebuk PDI," tulis Rosihan. Dalam perjalanan selepas makan di Ayam Goreng Suharti, Jl Wahid Hasyim, menuju rumah Rosihan, Brigjen Amir Syarifuddin sibuk terus menelpon termasuk menghubungi wartawan Majalah Forum, Karni Ilyas. Ketika lewat di depan markas PDI, Amir mengatakan kepada saya, sebenarnya tempat itu sudah mau diserbu beberapa hari lalu, tetapi ditunda untuk sementara.

Siapa dalang peristiwa yang berujung pada kerusuhan di Jakarta itu juga bisa dilacak dari laporan Komnas HAM. Komnas HAM mencatat bahwa terdapat pertemuan tanggal 24 Juli 1996 di Kodam Jaya,Hadir pada rapat itu adalah Brigjen Zacky Anwar Makarim, Kolonel Haryanto, Kolonel Joko Santoso dan Alex Widya Siregar. Dalam rapat itu, diputuskan penyerbuan atau pengambilalihan Kantor DPP PDI oleh Kodam Jaya Pimpinan Sutiyoso

Dokumen tersebut juga menyebutkan aksi penyerbuan adalah garapan Markas Besar ABRI c.q. Badan Intelijen ABRI bersama Alex Widya S. Diduga, Kasdam Jaya menggerakkan pasukan pemukul Kodam Jaya, yaitu Brigade Infanteri 1/Jaya Sakti/Pengamanan Ibu Kota pimpinan Kolonel Inf. Tri Tamtomo untuk melakukan penyerbuan. Komnas HAM melihat rekaman video peristiwa itu menampilkan pasukan Batalion Infanteri 201/Jaya Yudha menyerbu dengan menyamar seolah-olah massa PDI pro-Kongres Medan. Fakta serupa terungkap dalam dokumen Paparan Polri tentang Hasil Penyidikan Kasus 27 Juli 1996, di Komisi I dan II DPR RI, 26 Juni 2000.

Atas peristiwa yang masih gelap ini, Dewi Djakse, Ketua Serikandi Demokrasi, organ sayap perempuan PDIP menyatakan kasus 27 Juli adalah buah rezim yang ingin menghancurkan kaum nasionalis. "Kelompok nasionalis hancur. Sekarang kaum nasionalis jangan mau diadu domba," kata Dewi.

Tidak heran di kalangan PDIP, peringatan peristiwa 27 Juli selalu jadi momentum untuk konsolidasi. "Sejak 1996 saya cuma absen sekali pas peringatan penyerbuan yang kesepuluh karena sedang kunjungan kerja," kata Ribka Tjiptaning. Sayang saat semua harapan meminta penuntasan kasus 27 Juli tak pernah berhenti, justru Megawati Soekarnoputri yang pernah menjadi Presiden RI justru tak berbuat apa-apa. Kasus tetap menggantung 16 tahun lamanya.

Lima nyawa, ratusan orang terluka, dan puluhan orang hilang tetap menjadi cerita pilu tak pernah berakhir. Juga kisah perburuan aktivis PRD yang dianggap terlibat dalam organisasi terlarang: puluhan dipenjara sebagai tahanan politik, sebagian lain menjadi pelarian. Dan kasus penculikan aktivis yang terjadi sepanjang 1997-1998 adalah babak berikutnya dari kasus 27 Juli. Melawan lupa memang tidak mudah!

Sumber : tempo.com , indosiar.com

Bergabungnya banyak jendral “berdarah” ke PDIP kubu Jokowi ini dimaknai menjadi 'ancaman kuat' akan tingginya resiko semakin sulitnya penyelesaian Akan kasus pelanggaran HAM berat tersebut. Apakah kasus ini akan dilupakan begitu saja sehingga anak cucu kita nanti hidup dengan negeri yang memiliki sejarah kelam yang tak kunjung usai?

Jika Jokowi terpilih apakah kasus ini akan semakin sulit untuk diusut hingga tuntas karena pelaku merupakan pendukungnya? Kasus HAM timur-timur, Kasus misteri kematian Munir hingga kasus Kudatuli 1996? Akankah semua menghilang dan dilupakan begitu saja? Saat ini adalah momentum untuk memilih presiden yang tegas dan dapat mengusut tuntas kasus-kasus tersebut tanpa rasa takut dari intervensi apapun. Semoga.
0
15.4K
93
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan