Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Dark.CloudAvatar border
TS
Dark.Cloud
[rileks] Prabowo, PDIP dan PKS (Sebuah Karikatur Politik Kiri)
cerpen dan pandangan dari orang kiri... emoticon-Big Grin

Prabowo, PDIP dan PKS (Sebuah Karikatur Politik Kiri)


(Bagian 1)

Alkisah tiga orang sahabat lama tengah berkumpul di ruang tamu. Sebutlah namanya Mardoki, Rambil dan Piqra. Sambil menyeruput kopi dan menghisap kretek, ketiganya terlihat bersiap memasuki sebuah perdebatan. Piqra berpakaian rapi, dengan setelan kemeja kotak-kotak dan celana katun. Selepas mematikan rokok, perlahan tangannya mulai membuka isi tas besar yang ia bawa. Satu-persatu buku berbahasa asing dikeluarkan, lalu ditumpuk di atas meja. Air muka Piqra seketika berubah jumawa. Piqra memang seorang terpelajar, tercatat sebagai siswa doktoral di salah satu universitas mancanegara nun jauh disana. Tentu saja Piqra merasa di atas angin menghadapi kedua sahabat lamanya itu. Dimaklumi saja, Mardoki yang berwajah keras dengan jambang lebat dan sorot mata tajam itu, meski sekilas tampangnya mirip gerilyawan di Amerika Latin, toh dia cuma tamatan SMA dan sekarang hanya menggantungkan hidup dari beternak kambing. Sedang Rambil, walau tampilannya berkacamata dan juga terpelajar, ia tak pernah sampai berkuliah di luar negeri. Kini dia sekedar menjadi staff pengajar di sebuah universitas kurang terkenal.

Sepertinya sore itu akan terjadi perdebatan yang tak berimbang. Mari kita simak.

“Bro, kita harus menghadang kebangkitan Fasisme! Harus!”, sentak Piqra dengan penuh kepercayaan diri, membuka perdebatan.

“Fasisme?”, sahut Rambil. Sementara Mardoki masih menutup mulut, sambil membetulkan letak duduk.

“Jenderal itu. Ya, jenderal itu. Prabowo. Dia Fasis! No Pasaran!”, Piqra mengacung-acungkan tangan, mungkin dirinya merasa sudah serupa Dolores Ibraruri saat berpidato menyemangati massa demi menghadapi Franco di Catalunya.

“Dia Fasis?”, Rambil kembali mengulang tanya diikuti senyuman tipis. Kali ini wajah Mardoki yang kaku namun tampan itu juga ikut berkejut.

“Jelaslah. Dia Fasis! Dia memiliki kemiripan dengan Mussolini dan Hitler. Dia bekas tentara, kemiripan pertama. Dia ekspansif, ciri kedua. Kemiripan ketiga, dia rasis. Lalu yang keempat, dia mempromosikan Police State. Kelima, dia mendorong kultus individu. Kalian tidak membaca tulisanku yang kukirim dari luar negeri itu kah?”, penjelasan akademik ala Piqra baru saja disajikan.

Rambil kali ini terdiam, tampaknya dia masih menahan diri. Begitu halnya dengan Mardoki, dia masih terlihat santai.

“Dan satu hal lagi. Berani sekali kalian melupakan darah kawan-kawan kita! Thukul, Bimpet, Suyat,…..”

Belum kelar Piqra menuntaskan kalimatnya, kali ini Mardoki buru-buru beranjak dari duduk. Tangannya yang panjang tiba-tiba menggebarak meja dengan sangat keras. Rambil terkejut, Piqra tampak menciut.

“Hati-hati kalau bicara, Bung! Kami tak lupa dengan mereka. Tak akan pernah lupa!”, mulut Mardoki menyentak.

“Sama halnya dengan kami tak akan lupa dengan kawan-kawan yang ditangkapi di era PDIP berkuasa. Mereka digebuki dan dikirim ke penjara. Penangkapan aktivis terbesar setelah era Soeharto terjadi di masa itu”, Rambil membuka penjelasan.

“Kami juga tidak lupa dengan Theys. Pejuang hak-hak rakyat Papua yang dicabut nyawanya. Kami juga tak pikun kepada Munir yang tewas di udara. Kau tentu juga membaca laporan Human Rights Watch. Bahasa inggris mu pasti sangat bagus untuk paham bahwa pada tahun 2003 Megawati memutuskan operasi militer ke Aceh. Hasilnya 2000 jiwa dibantai. Sobat, bukannya itu cara-cara fasis?”, Rambil sambil menepuk pundak Piqra menuntaskan tanggapannya.

“Fasisme, ya Fasisme. Itu yang kau sebut tadi. Prabowo memang fasis. Namun ucapan-ucapanmu tadi, seolah-olah fasisme hanya berasal dari barak dan dia harus purnawirawan jenderal. Andreas Brievik menembaki orang di Swedia. English Defend League membakar masjid di London. Ada Greet Wilders dengan PVV-nya di Belanda. Le Pean dengan National Front di Perancis. Tentu kau sungguh hafal melebihi diriku untuk menyebutkan yang lainnya. Mereka juga fasis, mereka bukan purnawiran”, Mardoki yang tak lagi gusar, mulai berbicara dengan pelan.

“Dia ekspansif demi merebut ruang vital, ciri kedua katamu tadi. Apakah selama kekuasan PDIP itu tidak berlangsung, Bung? Dia rasis, kemiripan ketiga, katamu juga. Perlakuan atas suku bangsa Aceh dan suku bangsa Papua tidakkah beraroma rasis? Lalu yang keempat, dia mempromosikan Police State. Kau pasti tidak lupa dengan Undang-Undang Anti Terorisme, kan? Dan katamu yang kelima, mendorong kultus individu. Di PDIP Megawati diperlakukan bagai orang suci, Bung!”, lanjut Mardoki Si Peternak kambing itu dengan lugas.

“Sebagai Marxis kita harus jujur dan adil sejak dalam pikiran. Tanpa menghilangkan sedikitpun rasa hormat, aku harus katakan. Bahwa nyawa kawan-kawan kita itu tidak boleh dilebih-lebihkan melampaui jiwa Munir dan Theys, betapapun keduanya bukan Marxis. Apalagi dengan nyawa ribuan rakyat Aceh yang melayang itu. Kawan-kawan kita gugur demi rakyat. Dan aku yakin mereka tidak minta diagung-agungkan melampaui pernghormatan kita kepada nyawa rakyat yang lainnya. Begitulah Marxisme yang kupahami. Dan kenapa aku menjadi Marxis, sebab Marxisme itu jujur”, kali ini Mardoki menunjukkan kebajikan seorang pengembala.

“Tapi kita harus mengintervensi Pemilu. Aku tak mau jadi kekiri-kirian seperti Mardoki ini. Yang dia tau hanya bedil, perang, perang dan perang. Hanya itu yang menggairahkannya”, Piqra tiba-tiba mengalihkan tema pembicaraan.

“Kau menggambarkan diriku selayaknya sosok gila perang, Bung. Aku mengagumi Che Guevara dan bukan Jengis Khan!”, usai berucap, Mardoki terkekeh keras.

“Aku ini ingin perdamaian, Bung. Hidup damai bersama anak dan isteri. Alangkah indahnya. Namun, hanya perdamaian yang berdiri di atas keadilan dan kesetaraan sajalah yang sanggup benar-benar mendamaikan. Aku tidak akan bohong, aku sama sekali bukan penganut Ahimsa. Ada dua jenis kekerasan di dunia ini: kekerasan untuk menindas dan kekerasan untuk membebaskan. Model kemanusiaan palsu ala klas menengah yang termehek-mehek itu, -yang menghujat seluruh jenis kekerasan tanpa syarat, tanpa beda, tanpa kualifikasi-, bagi golongan mereka ini, rakyat Palestina harusnya tak menggangkat senjata demi menghadapi brutalitas Israel dan meraih kemerdekaan”, Mardoki meninggalkan ruang tamu sejenak. Ijin ke kamar mandi.

“Sekarang ada Joko Wi, Mbil. Sekarang ada Joko Wi, Mbil!”, air muka Piqra sungguh sumringrah. Kelihatannya ia hendak membujuk Rambil.

“Mumpung Si Ortodok itu sedang ke kamar mandi, kita harus membicarakan tentang intervensi Pemilu, Mbil. Kalau Si Ortodok itu tak akan suka jalan Pemilu ini.”, Piqra benar-benar membujuk.

“Joko Wi? Bukannya sudah kau baca pula tentang kasus populisme palsu di negeri-negeri lain. Sebutlah Lula di Brasil. Selalu ada batas bagi populisme yang dibangun di atas pondasi kapitalisme, Piq. Saat krisis global menyergap, populisme yang model itu akan lunglai dan terkapar. Transformasi menuju sosialisme berbeda secara diametral dengan pseudo populisme, Piq.”

“Aaaaah, kau sama saja rupanya dengan Si Ortodok Mardoki itu! Sama-sama tak memahami jalan parlementer sebagai taktik!”, Piqra sepertinya sedang mencoba mengintimidasi Rambil.

“Jangan salah! Karna belum ada partai progresif yang ikut bertarung di ajang elektoral sebagaimana yang kita dambakan. Sebagai taktik, aku mendukung PKS! Sekalilagi, sebagai taktik.”, Rambil tak ragu menyatakan sikapnya.

Mendegar penjelasan Rambil, Piqra seketika terbahak-bahak. Nyaring sekali tawanya, tubuhnya pun berguling-guling di lantai bak orang gila.

“PKS? PKS? PKS? Wakakaka….Wakakakakakkaka……wakakakakakka….”, Piqra kembali berguling-guling di lantai, kali ini menyerupai hewan kaki seribu yang sedang kepanasan. Mardoki yang baru saja tiba dari kamar mandi terheran-heran dengan tingkah Piqra ini.

“Ada apa dengan dia?”

“Jangan kau tanyakan ada apa dengan ku. Tanyakan saja ada apa dengan Rambil! Gilak dia sudah! Orang Kiri mendukung PKS! Cuiiihhhh!”, Piqra meludah ke lantai.

“Katamu kau hendak menghadang Fasisme. Hendak menghentikan oligarkhi lama. Kekuatan politik lama yang itu-itu saja. Kekuatan politik yang sudah terbukti memiskinkan rakyat dan haus darah”, Rambil tenang menimpali.

“Iyah! Itu tujuanku. Lalu apa hubungannya dengan PKS yang maling sapi, presidennya dikurung 16 tahun dan fungsionarisnya hobi kimpoi itu? Cuiiihhhh!”, sekalilagi Piqra meludah.Sekarang ludahnya lebih kencang.

(Bagian 2)

Rambil tersenyum, sementara Mardoki terlihat kembali memasang raut muka serius. Perdebatan pun dilanjutkan. Suasananya makin memanas, terutama semenjak Rambil membawa-bawa PKS dalam perdebatan ini.

“Aku tak menampik presiden PKS terjerat korupsi. Petingginya banyak pula yang poligami. Tapi apakah benar PKS yang paling korup? Apakah iya PKS pernah melakukan tindakan penyerangan fisik secara brutal kepada sektor rakyat manapun? Lalu soal isu perempuan, apakah partai-partai lain seluruh kadernya -terutama kader laki-lakinya-, sungguh-sungguh mengembangkan sikap anti patriakhi? Tidak main perempuan, tidak mensubordinasi perempuan dalam lapangan kehidupan apapun? Apakah PKS-lah yang terjahat dari 12 partai yang ada?”

Piqra terdiam sejenak, wajahnya tampak tidak senang mendengar rentetan peluru pertanyaan Rambil yang seolah ditembakkan dari mocong AK-47.

“Katamu ini soal taktik, Piq. Ini soal taktik karena vakumnya gerakan progresif dalam panggung elektoral. Bukannya dalam kasus ini kita harus mengeleminir unsur-unsur yang paling reaksi, yang paling berbahaya, yang paling jahat. Dan unsur-unsur itu tidak tunggal. Bukan hanya Prabowo”, Rambil terus nyerocos dan Piqra makin tidak senang.

“Menurutku tentang PKS……”, Mardoki yang habis buang air besar mencoba ikut nimbrung.

“Udahlah, kau itu ortodok, pasti hanya akan menghujat jalan parlementer. Tau mu itu cuma Perang Rakyat!”, begitu geramnya Piqra mendapati Mardoki mulai ikut bicara kembali.

“Hahahahaha…..”, Mardoki kini yang giliran terkekeh. Namun dia tetap ingin berbicara.

“PKS lewat kader-kader mudanya di kampus-kampus terlibat aktif dalam penggulingan Soeharto. Terlepas apakah mereka datang di babak-babak akhir atau mengambil kepeloporan, kufikir kita semua sudah tau jawabannya. Lagipula kita tidak bisa menghakimi mereka dengan apa yang disebut dengan “Vanguardisme”. Ini tentu saja berbeda dengan PDIP, walau kader-kadernya digorok dalam Peristiwa Kudatuli, Megawati tak pernah sekalipun menyerukan penggulingan Soeharto secara terbuka. Dia bahkan mencoba menjaga jarak saat dimintai kesaksian dalam persidangan Orba atas anak-anak PRD yang dituduh sebagai dalang Kudatuli kala itu”, Rambil mulai berceramah.

Piqra makin tidak senang dengan penjelasan Rambil. Namun jangan lupa, Piqra adalah seorang intelektual yang cerdik, dia pun tak mudah menyerah. Seketika dia melihat peluang yang mengangga. Bukannya di mata Piqra, Mardoki merupakan seorang ortodok, yang kaku membatu dan menghormati Joseph Stalin? Menarik rasanya bila mereka berdua diadu.

“Gimana nih, Kamerad? Kok pikiran-pikiran Rambil makin jauh dari doktrin-doktrin fundamental kita ya?”, Piqra menaikkan pundakknya, menggeleng-gelengkan kepala. Semuanya jelas ditujukan kepada Mardoki.

“Ini penilaian awalku. Unsur-unsur yang mendominasi dalam tubuh PKS adalah borjuasi kecil. Sebagian mungkin adalah lapisan borjuasi kecil seksi atas. Dalam pengertian umum, mereka datang dari berbagai jenis profesi klas menengah yang berbasis di perkotaan. Ada dokter, ada pedagang sedang, ada pegawai menengah, ada pengajar dan sebagainya. Dahulu mereka menyebut dirinya partai dakwah. Mereka partai kader yang terorganisasi dengan rapi dan memiliki jenjang yang jelas. Bukan seperti yang lainnya, orang punya uang, bisa langsung nangkring dapat jabatan. Atau dalam dua setangah tahun dari walikota tiba-tiba jadi Capres. Keliatan sekali aji mumpungnya, tampak banget krisis kader yang bisa dipercaya massa”, Mardiko mulai buka bicara.

Piqra tampak senang dengan pembukaan ini. Meski Mardiko tetap mengkritik yang lainnya, toh dia sudah menyebut kosakata “borjuis kecil”. Pasti sebentar lagi akan disikatnya pula PKS ini. Kata-kata yang tajam menusuk –seperti dalam tulisan-tulisan Mardoki-, diduga Piqra sebentar lagi akan dihujamkan ke gendang telinga Rambil.

“Mampus lu, Mbil!”, gumam Piqra dalam hati.

“Dalam konteks sekarang, musuh pokok kita adalah borjuasi besar komprador dan tuan tanah besar, kaki tangan Imperialis yang jahanam itu. Borjuasi kecil memang klas yang bimbang. Namun secara objektif mereka sesungguhnya juga berkepentingan atas transformasi sosial yang mendasar. Di titik itulah kita melihat PKS. Mereka memang bukan Marxis dan tak pernah mengaku-ngaku kiri. Beda dengan teman-temanmu itu, Piq!”

Bukannya dukungan yang didapat, sekali lagi serangan balik siap-siap menghajar Piqra.

“Soal praktek poligami mereka, tentu saja kita tidak bisa membenarkannya. Problem kebudayaan patriakhi adalah problem eksisnya feodalisme di negeri ini. Sehingga tindakan subordinasi terhadap perempuan bukanlah monopoli PKS semata. Seluruh klas penguasa melakukannya, bahkan racun itu juga menyebar dalam kehidupan sehari-hari klas tertindas. Bukan tidak pernah pula kita dengar, mereka yang mengaku kiri justru ikut melecehkan perempuan. Sehingga feodalisme hanya akan lenyap melalui penghapusan total atas basis sosialnya. Melalui Revolusi Agraria kaum tani, dengan jalan perang, bukan dengan jalan menghujat PKS!”

“Mereka memang tak lagi sepenuhnya bersih. Di daerah-daerah mungkin juga bisa ditemukan mereka menggunakan politik uang. Tapi mereka tidak seburuk yang lainnya. Kita juga tak bisa menutup mata, mereka dalam derajat tertentu juga suka menolong rakyat. Membuat posko kesehatan atau posko bantuan bencana secara berkala. Mereka memang tampak seperti mengembangkan metode borjuis kecil yang karikatif dan charitas. Tapi kita tak bisa menghakimi mereka. Toh mereka memang bukan Marxis. Lagi pula, bukannya dulu Gerwani juga memulai kerja massa dengan bentuk-bentuk kegiatan seperti mengadakan pendidikan bagi kalangan buta huruf, membentuk koperasi, kursus menjahit dan berbagai keterampilan lainnya.”, lanjut Mardoki.

“Piqra ini tampaknya mengidap Islamophobia. Mungkin dia termakan propaganda Washington. Bisa jadi karena dia kelamaan berkuliah di Amerika. Al-Qaeda dan Jabhat Al-Nusra memang hobi menggorok leher orang dan memukuli perempuan. Lalu dengan gembira jahanam-jahanam ini mempertontonkannya di Youtube. Tapi apakah benar gang-gang fasisme agama ala Timur Tengah semacam mereka itu sama dengan PKS? Marxisme itu tidak mengajarkan islamophia. Semua kelas tertindas, apapun agamanya adalah sekutu. Begitupun sebaliknya, semua klas penindas apapun kitab suci dan sesembahannya adalah musuh. Jika tidak begitu, tak akan ada Teologi Pembebasan di Amerika Latin, tak akan ada PFLP di bumi Palestina.”

Piqra terlihat mulai mengemas buku-bukunya yang bertumpuk di atas meja. Mukanya terlihat kusut, minatnya sudah menyusut.

“Kiri tak pernah mengharamkan taktik parlementer sejauh itu berguna bagi perjuangan massa. Tapi perlu ditegaskan jalan parlementer bukanlah jalan pokok bagi transformasi sosial. Jalan damai menuju sosialisme adalah khayalan yang berbahaya. Dan sebaik-baiknya intervensi pemilu borjuis adalah dengan alatnya sendiri! Organisasinya sendiri! Maka kita harus bekerja, gak bisa nebeng melulu. Apalagi menyerahkan diri menjadi jongos kepada begundal-begundal itu sambil bercuap-cuap tentang taktik parlementer. Tanpa organisasi sendiri yang memadai, intervensi Pemilu bisa jadi hanya melahirkan petualanganisme dan atau gigoloisme politik”, Mardoki terus nyerocos, Rambil tersenyum, Piqra makin tak berminat.

“Bagaimana, Piq? Katanya mau membentuk front anti fasis? Mau menghambat oligarkhi lama? Menggalang front anti fasis kok justru bersekutu dengan organ kuasi fasis lainnya! ”, kali ini Rambil jelas-jelas menggoda.

“Bil, aku belum bisa bersetuju dengan mu. Kita tidak bisa menutup mata, bahwa Turki menyediakan wilayah perbatasannya selama perang agresi AS di Timteng. Mereka pun tetap dalam kebijakan yang sama dalam menangani persoalan Kurdi. Mereka membantai bangsa Kurdi. Mereka juga tidak memiliki perbedaan apa-apa dalam skema ekonomi yang dijalankannya. Dan kita tau siapa yang berkuasa di Turki itu. Sikap kita harus tetap kritis. Kita lihat apa platform ekonomi, politik dan kebudayaan PKS, serta bagaimana posisi mereka dalam Pilpres mendatang. Kebebasan mengkritik adalah prinsip. Jika tidak, kita akan jadi jongos yang lainnya.”

“Aku tau itu, Bung”, Rambil tersenyum.

“Terlebih penting lagi, perlu kuulang-ulang sekedar untuk mengingatkan sebagai seorang sahabat. Bukan maksud menggurui. Tanpa organisasi sendiri yang memadai, sekalilagi: organisasi sendiri yang memadai, maka intervensi Pemilu bisa jadi hanya akan melahirkan petualanganisme dan atau gigoloisme politik.”

Rambil dan Mardoki saling berpandangan. Sementara Piqra sudah menghilang dari ruang tamu, angkat kaki sejak tadi. Katanya ada rapat tim sukses Joko Wi yang harus dihadiri. Katanya dia hendak menggalang front anti fasis. Katanya dia pejuang demokrasi. Katanya dia membenci gigoloisme politik.

*) Penulis adalah pemuda desa biasa. Bersahabat dengan Lenggah Mardiko dan menggemari sate kambing.

http://tikusmerah.com/?p=1186#more-1186 emoticon-Big Grin

0
3.4K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan