- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
MARACANAZO (BAGIAN 1) : SEBUAH TRAGEDI DI TANAH BRAZIL
TS
vikvampier
MARACANAZO (BAGIAN 1) : SEBUAH TRAGEDI DI TANAH BRAZIL
Spoiler for Maracana:
Spoiler for MARACANAZO (BAGIAN 1) : SEBUAH TRAGEDI DI TANAH BRAZIL:
Minggu pagi 16 Juli 1950, suasana persiapan pesta terlihat di hampir seluruh penjuru Brasil. Sedari pagi, bangsa yang menyejajarkan sepakbola dengan agama itu, terutama di sekitaran Maracana, sudah menyiapkan segala sesuatunya. Kembang api, karnaval, makanan dan minuman khas pesta mulai disiapkan. Beberapa makanan dan minuman ada yang habis duluan. Guna mengisi perut untuk berangkat ke stadion.
Sementara di stadion, panitia tak mau kalah sigap. Mulai pukul 07:00 pagi waktu setempat, semua sudah bersiap-siap. Rela lembur dan bekerja lebih pagi demi pertandingan penting bagi seluruh rakyat Brasil pukul 15:00 sorenya; partai pamungkas sekaligus penentuan juara Piala Dunia 1950 antara Brasil melawan Uruguay.
Pada bagian dalam stadion, semua yang menjadi panitia sibuk dengan tugas-tugasnya. Di sebuah ruangan, tiga-empat orang sibuk memeriksa kembali dengan jeli 22 medali. Diperiksanya berulang-ulang setiap medali Piala Dunia 1950 yang sudah terlebih dahulu diukir dengan nama skuat Brasil. Padahal, kala itu FIFA belum memiliki tradisi memberikan medali pada pemenang Piala Dunia.
Di tribun VIP, petugas kebersihan mulai membersihkan bangku-bangku untuk para pejabat. Sementara di pinggir lapangan, para panitia sibuk dengan gladi resiknya. Bukan untuk seremonial sebelum pertandingan, karena memang sudah menjadi rutinitas selama sebulan ini, tapi untuk persiapan "pesta" setelah pertandingan.
Podium mana untuk pembagian medali dan angkat trofi, siapa saja yang harus berdiri di sana, kapan Julies Rimet (Presiden FIFA) memberikan pidatonya, di mana spot terbaik bagi fotografer mengambil gambarnya dan persiapan sejenisnya, semua disusun, diatur dan disiapkan dengan rapih.
Pihak kemanan yang terdiri dari 5.000 polisi dan didukung beberapa satuan militer juga bersiap. Meski pengamanannya dibagi dengan yang di luar stadion, namun konsentrasi lebih difokuskan ke tribun. Mereka tak mau insiden 2 orang meninggal dan sekitar 260 orang cedera karena jatuh di stadion Kamis minggu sebelumnya, saat Brasil mengalahkan Spanyol 6-1, terulang.
Sedangkan untuk di luar stadion, pihak keamanan juga memeriksa tas demi tas yang dibawa pendukung Brasil. Tak boleh ada kembang api dan petasan lagi di dalam stadion, meski pada akhirnya beberapa lolos juga.
Kembali ke luar area stadion, sekitar jam 9:00 pagi, jalan-jalan di Rio de Janeiro kian padat. Lalu lalang trem yang penuh sesak mengangkut calon penonton membuat pemandangan di jalan terlihat sibuk. Karnaval spontan ini lebih sibuk dan padat dari karnaval-karnaval yang pernah ada sebelumnya.
Ratusan ribu orang, yang sebagian besar mengenakan setelan putih-putih, menyelaraskan dirinya dengan warna jersey Brasil kala itu, berjalan menuju Maracana. Chant "Brasil Juara" nyaring terdengar dari mulut mereka.
Dua jam berselang, atau sekitar empat jam sebelum peluit panjang dibunyikan, stadion sudah dipenuhi hampir 200 ribu orang --dari hasil penjualan tiket tercatat 173.830, catatan lainnya sekitar 210.000. Pendukung-pendukung Brasil itu mengklaim dirinya beruntung karena bisa masuk ke stadion, meski sebenarnya melebihi kapasitas yang ada.
Sementara di stadion, panitia tak mau kalah sigap. Mulai pukul 07:00 pagi waktu setempat, semua sudah bersiap-siap. Rela lembur dan bekerja lebih pagi demi pertandingan penting bagi seluruh rakyat Brasil pukul 15:00 sorenya; partai pamungkas sekaligus penentuan juara Piala Dunia 1950 antara Brasil melawan Uruguay.
Pada bagian dalam stadion, semua yang menjadi panitia sibuk dengan tugas-tugasnya. Di sebuah ruangan, tiga-empat orang sibuk memeriksa kembali dengan jeli 22 medali. Diperiksanya berulang-ulang setiap medali Piala Dunia 1950 yang sudah terlebih dahulu diukir dengan nama skuat Brasil. Padahal, kala itu FIFA belum memiliki tradisi memberikan medali pada pemenang Piala Dunia.
Di tribun VIP, petugas kebersihan mulai membersihkan bangku-bangku untuk para pejabat. Sementara di pinggir lapangan, para panitia sibuk dengan gladi resiknya. Bukan untuk seremonial sebelum pertandingan, karena memang sudah menjadi rutinitas selama sebulan ini, tapi untuk persiapan "pesta" setelah pertandingan.
Podium mana untuk pembagian medali dan angkat trofi, siapa saja yang harus berdiri di sana, kapan Julies Rimet (Presiden FIFA) memberikan pidatonya, di mana spot terbaik bagi fotografer mengambil gambarnya dan persiapan sejenisnya, semua disusun, diatur dan disiapkan dengan rapih.
Pihak kemanan yang terdiri dari 5.000 polisi dan didukung beberapa satuan militer juga bersiap. Meski pengamanannya dibagi dengan yang di luar stadion, namun konsentrasi lebih difokuskan ke tribun. Mereka tak mau insiden 2 orang meninggal dan sekitar 260 orang cedera karena jatuh di stadion Kamis minggu sebelumnya, saat Brasil mengalahkan Spanyol 6-1, terulang.
Sedangkan untuk di luar stadion, pihak keamanan juga memeriksa tas demi tas yang dibawa pendukung Brasil. Tak boleh ada kembang api dan petasan lagi di dalam stadion, meski pada akhirnya beberapa lolos juga.
Kembali ke luar area stadion, sekitar jam 9:00 pagi, jalan-jalan di Rio de Janeiro kian padat. Lalu lalang trem yang penuh sesak mengangkut calon penonton membuat pemandangan di jalan terlihat sibuk. Karnaval spontan ini lebih sibuk dan padat dari karnaval-karnaval yang pernah ada sebelumnya.
Ratusan ribu orang, yang sebagian besar mengenakan setelan putih-putih, menyelaraskan dirinya dengan warna jersey Brasil kala itu, berjalan menuju Maracana. Chant "Brasil Juara" nyaring terdengar dari mulut mereka.
Dua jam berselang, atau sekitar empat jam sebelum peluit panjang dibunyikan, stadion sudah dipenuhi hampir 200 ribu orang --dari hasil penjualan tiket tercatat 173.830, catatan lainnya sekitar 210.000. Pendukung-pendukung Brasil itu mengklaim dirinya beruntung karena bisa masuk ke stadion, meski sebenarnya melebihi kapasitas yang ada.
Spoiler for MARACANAZO (BAGIAN 1) : SEBUAH TRAGEDI DI TANAH BRAZIL:
Mereka merasa beruntung menjadi bagian dari pemecahan rekor jumlah penonton terbesar dalam sejarah sepakbola. Beruntung, karena sebentar lagi menjadi saksi sejarah sepakbola Brasil yang mengangkat trofi Piala Dunia untuk kali pertama.
Penuh sesak tak dirasa. Berjemur di bawah mentari berjam-jam menunggu kick-off juga tetap terasa sejuk karena berlindung di bawah nyanyian juara. Semua itu dilakukan demi menyambut gelar juara dunia.
Ya, mereka menganggap tinggal menyambut, tidak untuk merebut. Meskipun faktanya pertandingan belum dimulai.
Di atas kertas Brasil memang sudah dibilang juara. Brasil hanya butuh hasil seri dari Uruguay di pertandingan terakhir dari final round ini. Faktor tuan rumah dan sukses mencetak 21 gol dari lima pertandingan sebelumnya cukup kuat untuk membuat mereka percaya diri.
Gemuruh gempita Maracana kian meninggi beberapa menit sebelum kick-off. Terutama saat selecao (pemain pilihan) disemangati oleh walikota Rio saat itu, Angelo Mendes de Moraes, usai balon seremonial dengan poster bertuliskan "Viva O Brasil" dilepas ke udara.
"Kalian, para pemain yang dalam beberapa jam ke depan akan dipuji sebagai juara oleh jutaan pendukungmu, kalian tak akan punya pesaing lagi di belahan bumi ini. Kalian lah juara dunia," kata Moraes melalui loudspeaker seperti yang dituliskan Alex Bellos dalam buku 'Futebol'.
Persiapan juara dan gegap gempita di stadion itu memang sedikit membuat skuat Uruguay nerveous. Nyali mereka menciut. Adanya kabar kalau mereka akan didukung 280-an suporter sedikit membuat mereka tersenyum. Tapi suara suporter Uruguay yang hanya segelintir membuat senyum mereka terasa getir.
Pertandingan, yang menurut pendukung Brasil hanyalah formalitas karena hasilnya sudah dapat ditebak, ini pun dimulai. Seorang wasit asal Inggris, George Reader memimpin laga ini dengan ditemani dua asistennya, yakni rekan senegaranya Arthur Ellis sebagai asisten 1, dan asisten 2 George Mitchell dari Skotlandia.
Babak pertama pertandingan ini pun berjalan sesuai yang diprediksikan. Brasil mengurung pertahanan Uruguay. Gemuruh di Maracana seringkali meninggi kala tim asuhan Flavio Rodrigues da Costa itu mendapatkan peluang. Tapi paruh pertama tetap berakhir tanpa gol.
Penuh sesak tak dirasa. Berjemur di bawah mentari berjam-jam menunggu kick-off juga tetap terasa sejuk karena berlindung di bawah nyanyian juara. Semua itu dilakukan demi menyambut gelar juara dunia.
Ya, mereka menganggap tinggal menyambut, tidak untuk merebut. Meskipun faktanya pertandingan belum dimulai.
Di atas kertas Brasil memang sudah dibilang juara. Brasil hanya butuh hasil seri dari Uruguay di pertandingan terakhir dari final round ini. Faktor tuan rumah dan sukses mencetak 21 gol dari lima pertandingan sebelumnya cukup kuat untuk membuat mereka percaya diri.
Gemuruh gempita Maracana kian meninggi beberapa menit sebelum kick-off. Terutama saat selecao (pemain pilihan) disemangati oleh walikota Rio saat itu, Angelo Mendes de Moraes, usai balon seremonial dengan poster bertuliskan "Viva O Brasil" dilepas ke udara.
"Kalian, para pemain yang dalam beberapa jam ke depan akan dipuji sebagai juara oleh jutaan pendukungmu, kalian tak akan punya pesaing lagi di belahan bumi ini. Kalian lah juara dunia," kata Moraes melalui loudspeaker seperti yang dituliskan Alex Bellos dalam buku 'Futebol'.
Persiapan juara dan gegap gempita di stadion itu memang sedikit membuat skuat Uruguay nerveous. Nyali mereka menciut. Adanya kabar kalau mereka akan didukung 280-an suporter sedikit membuat mereka tersenyum. Tapi suara suporter Uruguay yang hanya segelintir membuat senyum mereka terasa getir.
Pertandingan, yang menurut pendukung Brasil hanyalah formalitas karena hasilnya sudah dapat ditebak, ini pun dimulai. Seorang wasit asal Inggris, George Reader memimpin laga ini dengan ditemani dua asistennya, yakni rekan senegaranya Arthur Ellis sebagai asisten 1, dan asisten 2 George Mitchell dari Skotlandia.
Babak pertama pertandingan ini pun berjalan sesuai yang diprediksikan. Brasil mengurung pertahanan Uruguay. Gemuruh di Maracana seringkali meninggi kala tim asuhan Flavio Rodrigues da Costa itu mendapatkan peluang. Tapi paruh pertama tetap berakhir tanpa gol.
Spoiler for BRAZIL 1950:
Spoiler for MARACANAZO (BAGIAN 1) : SEBUAH TRAGEDI DI TANAH BRAZIL:
Gegap gempita stadion yang awalnya bernama Estadio Mario Filho itu pun mencapai puncaknya saat babak kedua baru berjalan dua menit. Brasil semakin dekat dengan tangga juara kala Friaca menaklukkan kiper Uruguay, Roque Maspoli. Friaca yang lepas dari jebakan offside berhadapan one on one dengan penjaga gawang dan dengan mudah membawa Brasil memimpin 1-0.
Matahari masih ada, tapi kembang api dan petasan terlihat menyala di tribun. Mereka bernyanyi dan pesta dini. Merayakan gol tersebut sekaligus mengejek barisan keamanan yang lengah memeriksa mereka.
Tapi siapa sangka, gol tadi malah melecut semangat Uruguay. Mereka berbalik menguasai jalannya laga dan membuat pertahanan Brasil kocar-kacir. Tepat di menit ke-66, Juan Alberto Schiaffino, yang lepas dari sisi kanan mampu menyamakan kedudukan dengan menaklukkan kiper Brasil, Moacir Barbosa. Skor Brasil 1-1 Uruguay.
Momen gol Schiffiano tadi ini belum mampu membungkam Brasil, sebab selecao hanya membutuhkan hasil seri untuk juara. Tapi, Uruguay punya pegangan usai gol tersebut, yaitu kelemahan di sisi kiri pertahanan Brasil.
Memasuki menit ke-79, giliran Alcides Edgardo Ghiggia yang lepas di sisi kanan. Pertahanan Brasil memang buruk di sisi ini. Ghiggia kembali mengulangi apa yang dilakukan Schiaffino, mengarahkan bola ke sisi kiri Barbosa.
"Gooool untuk Uruguay!... Gol untuk Uruguay?" teriak Luiz Mendes, penyiar radio Globo Brasil dalam siaran langsungnya kala itu. Dua kalimat sama tapi dengan intonasi berbeda. Yang pertama berseru, sementara yang kedua sedikit bertanya dan tak percaya karena Uruguay mampu berbalik memimpin 2-1.
Pertandingan tersisa 10 menit, wajah-wajah pendukung Brasil di Maracana berubah menjadi was-was. Kepalan jari tangan dan tinju ke udara mereka mulai terbuka. Jemari berubah fungsi dalam sekejap. Menutupi raut muka cemas, menopang dagu, dibiarkan digigit-gigit pelan seraya tersenyum getir.
Peluit panjang kemudian ditiup George Reader dan kedua tim sama-sama menangis. Tapi tangis bahagia menjadi milik Uruguay, sementara Brasil tangis duka. Senja juara yang dinantikan berubah menjadi senja pilu. Senja yang kelam menuju gelap, sama persis dengan suasana hati pendukung Brasil di Maracana.
(Bersambung)
Matahari masih ada, tapi kembang api dan petasan terlihat menyala di tribun. Mereka bernyanyi dan pesta dini. Merayakan gol tersebut sekaligus mengejek barisan keamanan yang lengah memeriksa mereka.
Tapi siapa sangka, gol tadi malah melecut semangat Uruguay. Mereka berbalik menguasai jalannya laga dan membuat pertahanan Brasil kocar-kacir. Tepat di menit ke-66, Juan Alberto Schiaffino, yang lepas dari sisi kanan mampu menyamakan kedudukan dengan menaklukkan kiper Brasil, Moacir Barbosa. Skor Brasil 1-1 Uruguay.
Momen gol Schiffiano tadi ini belum mampu membungkam Brasil, sebab selecao hanya membutuhkan hasil seri untuk juara. Tapi, Uruguay punya pegangan usai gol tersebut, yaitu kelemahan di sisi kiri pertahanan Brasil.
Memasuki menit ke-79, giliran Alcides Edgardo Ghiggia yang lepas di sisi kanan. Pertahanan Brasil memang buruk di sisi ini. Ghiggia kembali mengulangi apa yang dilakukan Schiaffino, mengarahkan bola ke sisi kiri Barbosa.
"Gooool untuk Uruguay!... Gol untuk Uruguay?" teriak Luiz Mendes, penyiar radio Globo Brasil dalam siaran langsungnya kala itu. Dua kalimat sama tapi dengan intonasi berbeda. Yang pertama berseru, sementara yang kedua sedikit bertanya dan tak percaya karena Uruguay mampu berbalik memimpin 2-1.
Pertandingan tersisa 10 menit, wajah-wajah pendukung Brasil di Maracana berubah menjadi was-was. Kepalan jari tangan dan tinju ke udara mereka mulai terbuka. Jemari berubah fungsi dalam sekejap. Menutupi raut muka cemas, menopang dagu, dibiarkan digigit-gigit pelan seraya tersenyum getir.
Peluit panjang kemudian ditiup George Reader dan kedua tim sama-sama menangis. Tapi tangis bahagia menjadi milik Uruguay, sementara Brasil tangis duka. Senja juara yang dinantikan berubah menjadi senja pilu. Senja yang kelam menuju gelap, sama persis dengan suasana hati pendukung Brasil di Maracana.
(Bersambung)
Spoiler for Maracana:
Sumber : Detiksport.com
Akun twitter penulis: @fjrhman dari Pandit Football Indonesia
Sambungannya dapat dilihat disini MARACANAZO (BAGIAN 2) : KETIKA SELECAO BERDUKA SEUMUR HIDUP
Diubah oleh vikvampier 28-02-2014 08:02
0
2.2K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan