Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

coecoe.cucuAvatar border
TS
coecoe.cucu
[WAJIB DIBACA !!! ] Kepedihan Suami yang ingin menceraikan isterinya
Spoiler for JUDUL::

Suatu malam sesampai di rumah dan dilayani makan malam oleh isteriku, aku pegang tangannya dan kukatakan, ada sesuatu yang ingin ku bicarakan. Isteri ku duduk dan makan tanpa bicara. Terlihat oleh ku lagi, ada kepedihan di mata isteriku.

Mendadak aku kehilangan cara membuka suara. Tapi aku harus menceritakan apa yang ada dalam pikiran ku. Aku ingin cerai. Dengan tenang kusampaikan hal tersebut. Terlihat isteriku seperti tidak terguncang oleh hal ini, dia hanya bertanya dengan lembut, kenapa?

Aku berkelit dari pertanyaan nya. Ini membuat isteriku marah. Dia melempar sumpit dan berteriak pada ku, kamu bukan lelaki! ... Malam itu kami saling membisu. Isteriku menangis. Aku tahu dia ingin tahu apa yang terjadi dengan pernikahan kami. Tapi aku tahu aku tidak mempunyai jawaban yang dapat memuaskannya; hati ku telah beralih ke Jane. Rasa cinta pada isteriku telah sirna. Hanya rasa kasihan yang tersisa.

Dengan beban rasa bersalah yang berat, aku merancang perjanjian perceraian. Di situ ku tetapkan; bahwa isteriku berhak atas rumah, mobil dan 30% saham perusahaan ku. Isteriku hanya melihat surat itu sekilas, lalu merobeknya berkeping-keping. Wanita yang telah bersama ku selama sepuluh tahun, kini menjadi orang lain. Aku menyesal atas segala waktu, tenaga dan pengorbanan dia yang tersia-sia. Namun aku tidak bisa menarik balik ucapan ku, karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya isteriku menangis sejadi-jadinya di hadapan ku, memang seperti itulah yang telah kuduga. Sebenarnya bagiku, tangisan dia meringankan ku. Pemikiran soal perceraian yang telah menggantung di benak ku berminggu-minggu kini terasa semakin mantap dan tegas.

Keesokan harinya aku pulang sangat larut. Kulihat isteriku sedang menulis sesuatu di meja. Ku lewati makan malam terhidang, dengan sangat singkat aku langsung pulas karena kelelahan seharian penuh acara bersama Jane. Ketika aku bangun, ku lihat isteriku masih sibuk menulis. Tanpa peduli aku berbalik dan pulas lagi.

Pagi hari isteriku memberikan syarat-syarat perceraian: bahwa dia tidak menginginkan apapun dari ku, dia hanya perlu tenggat waktu satu bulan ke perceraian. Dia meminta, bahwa dalam satu bulan itu, kita berdua harus berusaha menjalankan kehidupan senormal mungkin. Alasan dia sederhana: anak kami akan menghadapi ujian akhir sebulan lagi, dan isteriku tidak mau perceraian ini mengganggu mental anak kita.

Mudah saja bagi ku untuk menyepakati hal itu. Namun ada lagi syarat lainnya, isteriku mengingatkan aku tentang bagaimana aku pernah menggendong nya ke kamar pengantin di hari pernikahan kami. Maka isteriku meminta, bahwa setiap hari setiap pagi selama sebulan ke depan, aku harus menggendong dia dari kamar tidur ke pintu depan. Ku kira isteriku jadi gila. Namun agar hari-hari akhir pernikahan ini dapat dilalui dengan lancar, aku penuhi permintaan aneh itu.

Aku bercerita pada Jane mengenai persyaratan yang diminta isteriku. Jane terbahak-bahak dan menganggap permintaan itu absurd. Jane berkata dengan sengit, apapun akal-akalan isteriku, tetap saja akhirnya perceraian.

Sejak niat cerai ku nyatakan gamblang, tidak pernah terjadi persentuhan antara aku dan isteriku. Maka di hari pertama aku memenuhi janji menggendong dia, kami berdua serba canggung. Anak ku langsung bertepuk tangan, wah papah menjaga mamah. Kata - kata anak ku ini menyiratkan seberkas kepedihan di hati ku. Dari kamar tidur ke kamar tengah, lalu ke pintu depan, kira - kira sepuluh meter aku menggendong nya. Isteriku memejamkan mata dan berkata, jangan cerita soal perceraian. Aku menggangguk tapi sambil ada rasa sebal menggumpal. Ku turunkan isteriku di beranda. Dia pergi ke jalan menanti bis ke tempat kerja. Aku sendirian bermobil ke kantor.

Hari ke dua, kita berdua sudah tidak terlalu canggung. Isteriku menyandarkan kepalanya di dadaku. Tercium harum dari blus nya. Aku tersadar bahwa telah lama aku tidak memperhatikan isteriku. Tersadar aku bahwa kini dia tidak muda lagi. Ada kerutan - kerutan halus di wajahnya, rambutnya pun mulai beruban! Rupanya pernikahan kami telah mendera nya. Sesaat aku tercenung akan apa yang telah ku perbuat pada isteriku hingga ia seperti ini.

Ketika aku menggendong nya di hari ke empat, aku merasakan kembalinya rasa mesra. Inilah wanita yang telah memberikan sepuluh tahun hidupnya untuk ku. Pada hari ke lima dan ke enam, ku sadari bahwa kemesraan telah tumbuh kembali. Aku tidak ceritakan ini ke Jane. Hari demi hari berlalu, kini rasanya semakin mudah bagi ku menggendongnya. Mungki karena terlatih setiap hari, tubuh makin kuat.

Suatu hari isteriku memilih - milih baju. Dia coba beberapa tapi tidak ada yang cocok. Lalu dia mengeluh karena kini semua baju nya longgar. Mendadak aku tersadar bahwa kini isteriku menjadi sangat kurus, itulah alasan mengapa aku mudah menggendongnya.

Aku pun terpukul... rupanya isteriku telah didera kesedihan yang amat mendalam dipendam di hatinya. Tanpa sadar kujangkau dia dan ku sentuh keningnya.

Saat itu pula anakku masuk dan berkata, Pah, ini waktunya gendong mamah. Rupanya bagi anakku, melihat ayahnya menggendong ibunya telah menjadi bagian hidup yang penting. Dengan isyarat isteriku memanggil anakku mendekat dan memeluknya erat sekali. Aku berpaling. Aku takut berubah pikiran di menit - menit akhir pernikahan ini. Lalu aku menggendongnya lagi, seperti biasa, dari kamar, ke ruang tengah, ke ruang depan. Secara lembut dan alami, Isteriku mengalungkan tangannya di leher ku. Ku dekap tubuhnya dengan erat; persis seperti di hari pernikahan kami.

Namun sebenarnya, tubuhnya yang semakin ringan membuat aku sedih. Di hari terakhir ritual penggendongan, ketika aku merengkuhnya, aku hampir tidak bisa bergerak. Anakku telah pergi sekolah. Aku peluk isteriku dengan erat, aku katakan padanya bahwa aku baru menyadari betapa hidup kita kekurangan kemesraan...

Setelah itu aku bersegera ke rumah Jane, meloncat dari mobil dengan lekas tanpa mengunci mobil. Aku takut penundaan waktu merubah pikiran ku lagi. Jane menyambut di pintu, langsung aku berkata, maaf Jane, aku tidak ingin menceraikan isteriku...

Jane memandangku terkesiap, lalu memegang keningku. Apa kamu kena demam? katanya. Ku singkap tangan Jane dari keningku. Maaf Jane, aku tidak mau bercerai. Pernikahanku menjenuhkan karena mungkin aku dan isteriku tidak pernah menghargai detail - detail kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencinta lagi. Kini aku sadar bahwa sejak aku menggendong dia masuk rumah di hari pernikahan, seharusnya aku terus menggandeng isteriku hingga dipisahkan kematian.

Jane terlihat mendadak sadar. Di menampar aku dengan keras lalu membanting pintu dan meledak tangisnya. Aku berbalik dan pergi.
Di perjalanan pulang aku mampir ke toko bunga. Aku membeli seikat bunga. Si gadis penjual bertanya kata - kata apa yang akan ditulis di kartu. Aku tersenyum dan menulis: Aku akan mengendongmu setiap pagi hingga ajal memisahkan kita.

Sore aku sampai ke rumah, seikat bunga di tangan, senyum terkembang di wajahku, aku berlari menaiki tangga ke kamar tidur... ku dapati isteriku terbaring telah dingin di ranjang. Dari surat ketahui bahwa isteriku telah berbulan-bulan memerangi kanker, aku begitu sibuk dengan Jane sehingga semua pertanda penyakit itu terluput dari ku. Isteriku mengetahui bahwa umurnya tak lama lagi, dia ingin menyelamatkanku dari reaksi negatif anakku, jika memang kami jadi bercerai. Isteriku ingin, setidaknya di mata anakku: aku tetap sebagai suami yang mencintai isterinya...

Quote:


Spoiler for Source::
0
2K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan