TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Pencantuman gelar Sri Sultan Hamengku Buwono X dalam Peraturan Daerah 1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyusunan Perdais menjadi pembahasan alot di DPRD DIY.

Hal itu, menyusul adanya permintaan Kemendagri agar salah satu penjabaran gelar HB X yakni Khalifatullah dihapus. Sebab, gelar itu dinilai bisa memicu diskriminasi antar kelompok agama karena dianggap hanya perwakilan kelompok agama tertentu.

Untuk diketahui, dalam paragraf penjelasan alinea ketiga Perda itu menyebutkan "gelar HB X yakni Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Siyidin Panatagama Khalifatullah."

Atas gelar tersebut, terjadi perselisihan pendapat antar fraksi. Sebagian menolak pencantuman gelar Khalifatullah, sebagian yang lain menyetujui gelar itu karena jabatan Gubernur dan Raja itu tidak terpisahkan dalam Keistimewaan DIY.

"Kami perlu bertemu langsung dengan Sultan. Untuk menanyakan makna gelar beliau sebagai Raja, bukan sebagai Gubernur," ucap Ketua Pansus Putut Wiryawan dalam rapat Pansus Perubahan Perda No 1 Tahun 2013 di Gedung DPRD, Kamis (21/11/2013).

Namun, Putut belum bisa memutuskan kapan 18 anggota Pansus tersebut bisa berdiskusi langsung dengan Sultan. "Nanti dijadwalkan dulu," ucap politikus Demokrat itu.

Selain menggelar diskusi langsung dengan HB X, Putut juga mengusulkan adanya konsultasi ke Biro Hukum dan Direktorat Jendral Otonomi Daerah di Jakarta terkait penulisan gelar itu dalam Perda. "Kalau perlu mengundang pakar hukum tata negara untuk memberikan masukan," imbuhnya.

Namun usulan itu kurang disetujui anggota Pansus lainnya. Usulan mengundang pakar hukum tata negara itu membutuhkan anggaran hingga Rp 5 juta. "Sumber dananya dari mana? Ini akan jadi masalah," ucap anggota Pansus Istianah ZA.

SEMBER