BOGOTA, KOMPAS.com— Kesal karena Pemerintah Kolombia tak kunjung memperbaiki jalan yang menghubungkan kota terpencil Barbacaos ke kota lain, para perempuan kota ini menggelar aksi mogok.
Bukan aksi mogok biasa karena para perempuan Barbacaos ini melakukan aksi mogok berhubungan seks dengan suami mereka hingga pemerintah memperbaiki jalanan kota yang hancur lebur.
Dan, tampaknya aksi para perempuan Barbacaos ini berhasil. Menurut situs berita PRI, pemerintah sudah memperbaiki jalanan utama kota yang dalam kondisi sangat buruk.
Begitu buruknya kondisi jalanan itu, sehingga warga Barbacaos membutuhkan waktu 14 jam untuk mencapai rumah sakit terdekat. Akibatnya, banyak warga sakit meninggal dunia sebelum tiba di rumah sakit.
Ini adalah kali kedua para perempuan Barbacaos melakukan aksi mogok seks. Aksi pertama digelar pada 2011 yang juga diikuti hakim Marybell Silva.
Aksi itu dilakukan setelah seorang perempuan muda meninggal bersama bayi dalam kandungannya karena ambulans yang membawa perempuan itu terjebak di jalanan yang rusak dan tak bisa tiba di rumah sakit tepat waktu.
"Buat apa melahirkan anak saat mereka bisa saja mati karena tak mendapatkan perawatan medis dan kami tak bisa memberi mereka hak-hak dasar mereka?" kata pemimpin aksi, Ruby Quinonez.
"Sehingga kami memutuskan tidak akan berhubungan seks dan berhenti hamil serta melahirkan anak hingga negara memenuhi janjinya, memperbaiki jalan," tambah Ruby.
Saat itu, setelah tiga bulan dan 19 hari mogok seks, para politisi menjanjikan jalan akan diperbaiki dan Pemerintah Kolombia menjanjikan 21 juta dollar AS untuk proyek perbaikan.
Namun, setelah dua tahun ternyata janji itu tak terlaksana, para perempuan itu kembali melakukan mogok. Hasilnya, kesatuan teknik AD Kolombia datang dengan buldoser dan peralatan berat lainnya untuk membuktikan negara benar-benar memenuhi janji.
Sumber :
Daily Mail
Editor : Ervan Hardoko
Quote:
Istri Mogok Seks demi Jalan Aspal
Senin, 17 Oktober 2011 | 09:01 WIB
Share to Twitter
BOGOTA, KOMPAS.com- Kaum perempuan Barbacos, Kolombia, mengakhiri aksi "merapatkan kaki" alias mogok seks yang telah berlangsung selama tiga bulan dan 19 hari, kantor berita AFP melaporkan Minggu (16/10/2011).
Pemogokan itu dilakukan untuk menuntut pembuatan jalan aspal ke kota kecil mereka. Aksi itu berakhir setelah para pejabat kota berjanji mengerjakan proyek itu.
"Malam itu kami mencurahkan semua kasih sayang kepada pasangan kami masing-masing," kata Luz Marina Castillo, pemimpin aksi protes itu, kepada harian Bogota, El Tiempo.
Menteri Transportasi German Cardona telah berjanji untuk mengaspal bagian pertama sepanjang 27 kilometer, dari 57 kilometer panjang seluruh jalan itu, dengan biaya 21 juta dolar AS.
Ia menambahkan kajian dilakukan mengenai biayanya dan rancangan separuh bagian kedua rute itu.
Sedikitnya 300 perempuan memulai pemogokan itu pada 22 Juni. Mereka menolak melakukan hubungan seks dengan pasangan mereka, sampai pemerintah setuju untuk mengaspal separuh bagian pertama jalan kuda yang berusia 163 tahun menuju kota kecil tersebut, di bagian selatan Narino.
Semua perempuan itu didorong untuk melakukan pemogokan tersebut oleh dua hakim Narino --Maribel Silva dan Diego Enriquez-- setelah mereka mengeluh tentang sikap diam kaum lelaki dalam menghadapi masalah tersebut.
"Reaksi pertama kaum pria adalah tertawa, sebab buat mereka, cara kami melancarkan protes sungguh aneh," kata Silva.
Kemudian kenyataan berlaku, dan pengerjaan jalan itu akhirnya dimulai pekan lalu, sebagaimana telah dijanjikan oleh pemerintah.
"Pada hari kami melihat peralatan tiba, kami tak percaya itu," kata Castillo.
"Itu sangat istimewa, bukan hanya bagi gerakan ini, tapi juga buat semua warga Barbacos. Bayangkan saja, jalan itu sudah berabad-abad diabaikan."
Sumber : ANT, AFP
Editor : Kistyarini
Quote:
Istri Mogok Seks, Suami Berhenti Perang
Senin, 19 September 2011 | 18:16 WIB
Share to Twitter
MANILA, KOMPAS.com- Kesal karena para suami memilih mengangkat senjata, sejumlah istri di beberapa desa di Kepulauan Mindanao, Filipina, melakukan aksi mogok seks. Mereka menolak melayani suami sebelum mereka berhenti berperang.
Aksi itu ternyata berhasil menghentikan aksi kekerasan selama bulan Juli di desa-desa itu. Hal itu terungkap dalam laporan UN High Commissioner for Refugees (UNHCR) yang dirilis pekan ini,CNNmelaporkan, Senin (19/9/2011).
Pemberontakan kelompok separatis di Mindanao terjadi sejak tahun 1970-an. Akibatnya banyak keluarga terpaksa mengungsi. Mereka kini berusaha membangun kehidupan kembali dengan bantuan UNHCR dan lembaga bantuan lainnya.
Kemudian timbul ide mogok berhubungan seks dengan suami masing-masing demi menciptakan perdamaian agar mereka bisa membangun desa mereka kembali.
Ide itu timbul ketika para perempuan itu bergabung dengan koperasi menjahit yang disponsori UNHCR. Banyak dari mereka yang kesal karena tidak bisa mengirim karya mereka karena kekerasan yang terus terjadi antara dua desa.
Juru bicara UNHCR untuk Asia, Kitty McKinsey, mengatakan, dia menyaksikan sendiri perempuan-perempuan diam-diam melakukan aksi yang membuahkan hasil manis itu.
Dalam beberapa pekan sejak aksi itu dilakukan, jalan utama desa dibuka kembali dan pertempuran antardesa berhenti. Kaum perempuan yang bergabung dalam koperasi itu berhasil mengirim hasil karya mereka dan menggerakkan roda ekonomi desa.
"Kaum perempuan menginginkan suami mereka berhenti bertempur. Dengan menggunakan 'tipu daya' feminitas, mereka berhasil mendesakkan keinginan," kata McKinsey.
Aksi mogok seks semacam ini bukan hal baru. Drama Yunani Kuno Lysistrata mengisahkan kaum perem;puan yang menggalang aksi mogok seks untuk mengakhiri perang antara Athena dan Sparta.
Pada 2006, aksi serupa dilakukan kaum perempuan di Pereira, kota di Kolombia yang dikenal karena kejahatan narkoba dan kekerasan. Pelakunya adalah pacar dan istri anggota geng yang berusaha membuat suami atau pacar mereka meletakkan senjata dan mengubah gaya hidup.
Aksi mogok seks itu menjadi salah satu cara warga Mindanao untuk mengubah kehidupan. "Saya tersentuh melihat mereka tidak hanya mau menerima pemberian orang. Mereka bersemangat untuk menolong diri sendiir," kata McKinsey
Quote:
Istri Mogok Seks, Suami Stres dan Sulit Tidur
Penulis :ONO Sabtu, 9 Mei 2009 | 08:11 WIB
Share to Twitter
NAIROBI, KOMPAS.com —Seorang pria Kenya menggugat kelompok aktivis perempuan yang menyerukan mogok seks selama seminggu sebagai protes terjadinya kebuntuan politik di negara itu, Jumat (8/5).
James Kimondo kepada wartawan di luar gedung Pengadilan Tinggi Nairobi mengatakan bahwa istrinya mengikuti seruan mogok seks menyebabkan Kimondo tidak nyaman dan susah tidur. "Saya mengalami gangguan mental, stres, sakit punggung, dan kehilangan konsentrasi," katanya.
Tidak ada laporan resmi menyebut berapa banyak wanita di negara itu yang mengikuti mogok seks yang berakhir, Rabu (6/5).
Minggu lalu, organisasi perempuan Kenya memang menyerukan kaumnya untuk melakukan mogok seks selama tujuh hari. Sasarannya bukan pasangan mereka, tetapi untuk meminta perhatian atas situasi politik yang mencekam negeri itu.
Ada yang menilai bahwa mogok seks sebagai aksi tanpa kekerasan adalah bagus. Mereka menyebutnya "Gandhi di kamar tidur." Namun, ada pula yang menentang dan menganggap ini sebagai pelanggaran hak seks dalam rumah tangga.
Namun, meski ada perbedaan pendapat, semua setuju bahwa ini adalah aksi simbolis yang banyak menarik perhatian, dan ini ada baiknya karena kritik terhadap perebutan kekuasaan di kalangan politisi Kenya muncul di mana-mana. Penyelenggara mogok seks ini bertujuan memprotes mereka.
Berbagai koran di Kenya menyoroti sulitnya kerja sama antara Presiden Kibaki dan Perdana Menteri Odinga, dua partai yang bersaing. Kedua pemimpin sudah tidak berunding lagi.
Awal tahun lalu, di Kenya selama dua bulan terjadi krisis yang hampir meruntuhkan negara itu. Ini menyusul hasil pemilihan presiden yang banyak ditentang dan berbagai kerusuhan politik. Pemerintahan hampir tidak jalan lagi. Partai yang berkoalisi terus saja berselisih.
Berbagai janji reformasi tidak ada yang dipenuhi, baik itu tentang peraturan kepemilikan tanah, kasus korupsi, maupun tentang kinerja polisi. Penyusunan konstitusi baru juga belum dimulai. Semua pembaruan ini penting untuk menghindari krisis seperti tahun lalu.
Penengah internasional Kofi Annan tetap khawatir karena para pemimpin Kenya tidak memenuhi janji mereka. Dalam perundingan tahun lalu, ia menekankan bahwa kekerasan politik yang terjadi di Kenya menunjukkan adanya ketimpangan sosial di negara itu, misalnya antara penduduk kaya dan miskin.
Sumber :
BBC
Yang pasti beban sang suami tambah berat sajah