Pontianak, - Menjelang takbiran tiba, Sungai Kapuas Pontianak akan begitu marak dengan hadirnya festival atau parade Meriam Karbit. Sebuah tradisi turun temurun yang berasal dari masyarakat Melayu Pontianak terdahulu.
Sejatinya, tradisi ini adalah sebuah ritual menembakkan meriam ke daratan yang pernah dilakukan oleh pendahulu dari Kasultanan Pontianak. Tujuannya adalah untuk mengusir hantu kuntilanak yang konon banyak bergentayangan di sekitar Kasultanan saat itu. (“Pontianak” di dalam Bahasa Melayu maknanya adalah “Hantu”. Penduduk di sekitarnya itu menamainya sebagai “Pulau Pontianak” karena tempat tersebut sering dijadikan sebagai tempat bersembunyi oleh Para Perompak dan Bajak Laut.
Jadi, kalau kita tengok riwayat berdirinya Negeri Pontianak, bahwa Hantu yang diusir dan diperangi itu maksudnya adalah Bajak Laut dan Perompak itulah.Hantu yang dimaksud itu (hantu yang diusir itu) adalah Para Perompak dan Bajak Laut yang bersembunyi di Pulau tersebut (di Pulau Pontianak). Karena itu sangatlah keliru kalau ada yang mengatakan bahwa Hantu yang dimaksud tersebut adalah Hantu yang makhluk halus itu.
Jadi, kata "Hantu" dalam hal ini adalah sebagai Metafora untuk Bajak Laut dan Perompak yang bersembunyi di Pulau Pontianak tersebut. sumber hanafimohan.blogspot.com)
Namun kemudian tradisi tersebut dilakukan oleh para warga secara turun temurun dan berkembang menjadi sebuah tradisi hingga festival. Tercatat di tahun 2007 silam, tradisi ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia.
Jika pada masa Kesultanan dulu, tradisi Meriam Karbit ini dilakukan setiap hari sepanjang Ramadhan dan menjadi pertanda berbuka puasa dan waktu sahur, maka sekarang hanya dilaksanakan saat malam takbiran hingga 3 hari setelah lebaran. Meriam Karbit pada umumnya terbuat dari bahan gelondongan kayu besar yang dilubangi dan diruas-ruas dan diisi dengan karbit dan disulut dengan api di salah satu sudutnya. Setidaknya harga pembuatannya mencapai 1 juta lebih, dan untuk festival tersebut biasanya warga dari masing-masing RT rela untuk urunan.
Masyarakat Pontianak mulai memenuhi Sungai Kapuas saat hari terakhir berpuasa. Beberapa kelompok orang dari kalangan RT yang berbeda sudah bersiap meletakan meriam-meriam uniknya disepanjang pelataran Sungai Kapuas. Dan saat waktu berbuka puasa tiba, meriam-meriam tersebut pun akan dibunyikan sepanjang malam dengan cara bergiliran.(HST) sumber
Spoiler for Meriam Karbit, Tradisi masyarakat Pontianak:
Meriam Karbit, Tradisi masyarakat Pontianak
Menyusuri tepian Sungai Kapuas seusai shalat tarawih bersama teman-teman menjelang tengah malam di akhir Ramadhan. Dentuman meriam karbit menyambut dan mengejutkanku, karena ini merupakan pengalaman pertama memotret persiapan festival meriam karbit. Festival ini diadakan setahun sekali saat malam takbiran. Uniknya, yang menyulut meriam-meriam yang berukuran besar ini adalah anak-anak. Rasa takjub tak terbendung ketika melihat keberanian mereka menyulut meriam dan mengisi karbit serta air ke dalam meriam yang siap diledakkan. Foto-foto di bawah ini menggambarkan kesibukan persiapan tersebut.
LANTUNAN ayat suci Alquran sayup-sayup terdengar dari menara masjid ketika Ahmad Mudin turun dari rumahnya, di Kelurahan Parit Mayor, Kecamatan Pontianak Timur, Kota Pontianak. Belasan meter dia berjalan kaki ke bantaran Parit Mayor. Di sana, sekumpulan anak muda sebayanya sudah sibuk merampungkan perakitan meriam karbit raksasa.
Malam itu, Jumat (27/7), suasana batas kota tak seperti biasanya. Sejak usai taraweh hingga jelang sahur, anak-anak muda setempat masih larut dalam tugas masing-masing. Mereka menargetkan penyelesaian tujuh buah meriam karbit raksasa yang kelak akan menyemarakkan malam takbiran. “Ini salah satu upaya kita menjaga tradisi lebaran di Pontianak,‘ kata Ahmad.
Pria 40 tahun itu ikut ambil bagian dalam proses pengerjaan meriam karbit. Seutas tali dia raih untuk mengikat kayu bulat yang sebelumnya sudah dibelah menjadi dua bagian. Inti kayu jenis mahang dengan diameter sekitar 100 meter itu sudah dikeruk sehingga membentuk lorong sepanjang tujuh meter. Di lorong kayu itulah karbit akan ditanam sebelum disulut.
Ada dua jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan meriam karbit di Parit Mayor. Masing-masing kayu mahang dan durian. “Di sini kami masih beruntung tidak kesulitan mencari bahan baku kayu. Tidak seperti saudara-saudara lainnya di kota. Mereka pasti kesulitan mendapatkan kayu bulat karena berbenturan dengan regulasi,‘ ucap Ahmad.
Kendati demikian, dia tak menampik besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk membiayai seluruh kebutuhan pembuatan meriam karbit. Dana yang dibutuhkan sekitar Rp20 juta. “Meriam karbit ini kami kerjakan secara gotong-royong. Sumber dananya juga dari sumbangan masyarakat. Bahkan, kayu yang kita pakai adalah sumbangan masyarakat. Jadi relatif dapat menghemat biaya,‘ katanya.
Ahmad menjelaskan, jika harus membeli kebutuhan bahan baku, maka harga kayu bulat bisa mencapai Rp1,7 juta per batang. Sedangkan harga karbit per drum 100 kilogram mencapai Rp1,8 juta. Belum lagi kebutuhan lainnya di malam lebaran.
Tahun ini, panitia meriam karbit batas kota menyiapkan tujuh meriam raksasa. Angka tujuh diambil dari jumlah ayat dalam surat Al-Fatihah. Ketujuh meriam karbit ini akan disulut pada malam takbiran dan menjadi bagian dari Festival Meriam Karbit Pontianak.
Dalam lintasan sejarah, meriam karbit masih berkaitan dengan sejarah berdirinya Kota Pontianak. Sejumlah literatur menyebut, pada saat itu, Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie sebagai pendiri Kota Pontianak hendak membuka lahan untuk bertempat tinggal. Namun niat itu terhadang gangguan makhluk halus.
Sultan akhirnya memerintahkan pasukan untuk menembakkan meriam ke arah daratan.
Tujuannya untuk mengusir hantu kuntilanak yang konon saat itu banyak bergentanyangan di daratan tempat yang akan disinggahi Sang Sultan.
Untuk mengenang peristiwa bersejarah itulah, masyarakat Kota Pontianak, khususnya yang tinggal di tepian Sungai Kapuas membuat meriam karbit berbahan baku dari batang kayu gelondongan besar. “Tidak ada kepentingan apa-apa selain melestarikan nilai-nilai lokal yang kita punya. Meriam karbit ini sebuah tanda datangnya Idul Fitri,‘ pungkas Ahmad.(Andi Fachrizal) sumber