[BBM Competition] Ramadhan: dari Tempe Menjes hingga Maaf yang Tertunda
TS
ajungpangi
[BBM Competition] Ramadhan: dari Tempe Menjes hingga Maaf yang Tertunda
Ramadhan:
dari Tempe Menjes
hingga Maaf yang Tertunda
baca dari awal sampai akhir yaa!
Quote:
Saya masih ingat betul bagaimana hari demi hari pada bulan Ramadhan beberapa tahun yang lalu saya lalui bersama keluarga saya. Beberapa tahun silam (saya lupa), saya masih kecil yang jelas, adalah hari pertama Ramadhan di dalam tahun tersebut. Mungkin bisa dibilang itu adalah Ramadhan pertama saya, yang saya ingat maksud saya. Saya masih ingat betul betapa pulasnya tidurnya saya yang masih anak-anak terganggu oleh goncangan dan suara serak seseorang.
Quote:
“Nak, bangun nak...
Ayo bergegaslah sahur!”
Quote:
Mata saya sayup-sayup terbuka dan melihat seseorang dengan kopyah di kepalanya dan kumis tipis di atas bibirnya. Ya, dia adalah ayah saya. Saya masih sangat mengantuk. Di kejauhan jam dinding menunjukkan pukul 3 pagi. Ibu dan kakak perempuan saya terlihat sibuk menata meja makan. Dengan tanpa dosa saya pun tidur kembali. Akhirnya, saya digendong ayah saya ke meja makan untuk makan sahur.
Saya masih ingat, hari pertama saya belajar berpuasa dibangunkan oleh ayah saya. Dengan hidangan yang ada di meja makan kami pun bercengkrama dan menikmati sebuah keluarga kecil yang sedang menikmati santapan sahur. Saya yang masih kecil hanya bisa menikmati sayur lodeh dan tempe menjesbuatan ibu saya. Tapi mungkin, anggota keluarga lain merasakan hal yang lebih dari yang saya rasakan.
Spoiler for ilustrasi:
Quote:
Seusai sahur, saya dan ayah mengantarkan kakak perempuan saya untuk mengaji. Masih ingat juga, saat itu masih banyak anak-anak seumuran kakak saya yang berangkat mengaji dengan membawa obor.
Spoiler for ilustrasi:
Jalanan yang gelap membuat mata menjadi mengantuk kembali dan dengan tanpa dosa saat saya dan ayah pulang, saya berkata,
Quote:
“Ayah, saya sudah lapar!”
Hahaha, jika mengingatnya saya ingin tertawa rasanya. Akhirnya, ayah saya menasihati saya agar tetap berpuasa. Pulangnya pun saya digendong agar tidak kelelahan dan tentunya, tidak merasa lapar.
Quote:
“Jadi anak cowok harus kuat dong!”
Spoiler for ilustrasi:
Quote:
Tahun berikutnya, kami masih berempat menikmati nikmatnya santap sahur, hingga ketika ayah saya jatuh sakit, hanya saya, ibu, dan kakak saya yang berpuasa. Saya masih ingat benar, kami bertiga sahur dengan keadaan yang sedikit sunyi. Televisi sengaja tidak dinyalakan agar tidak mengganggu ayah yang sedang tidur, bahkan ibu dan kakak hanya berbisik ketika berbicara.
Quote:
Saya yang masih kecil sering kali merengek kepada ayah sayauntuk berjalan-jalan atau sekedar bermain bersama saya, beliau hanya bisa menjawab,
Quote:
"Ayah gak bisa nak, ayah sedang sakit...
Mau bangun aja susah, jalan kaki sudah cepat payah... "
"Baiklah,
nanti kalau ayah sudah sembuh nanti kita jalan-jalan keliling Jawa Tengah ya,
nanti ayah tunjukkan Masjid Demak,
ayah ajak ke Sunan Muria,
juga kita ke pantai ya!
Nanti kita beli es krim di sana!"
Saya pun tersenyum, dan bersorak gembira. Bisa dibayangkan anak seusia TK dijanjikan untuk diajak bepergian. Tentu bahagia sekali.
Quote:
Hampir setiap bulan saya bertanya kepada ayah saya,
Quote:
"Ayah, ayo kapan ayah sembuh?
Kapan kita berangkat jalan-jalannya?"
Jawaban Ayah selalu sama,
Quote:
"Nanti ya, nak...
Kalau ayah sudah sembuh..."
Berkali-kali saya katakan jawabannya tetap sama, dan akhirnya suatu ketika saya marah kepada ayah saya,
"Doakan ayah ya, nak!
Suatu saat nanti ayah pasti ajak kamu jalan-jalan!"
Saya bosan mendengarnya, saya pun marah dan meninggalkan ayah saya yang terbaring di kamar.
Hari demi hari berlalu, dan saya ingat betul bahwa saya tidak pernah bertanya lagi kepada ayah saya, “Kapan mau jalan-jalan, ayah?” karena saya saat itu sudah kesal. Saya akhirnya jarang berbicara dengan ayah saya, meskipun dalam hati saya ingin berkata,
Quote:
“Ayah sembuh dong...
Ayo jalan-jalan, Yah...”
Quote:
Hingga suatu hari saat saya pulang dari sekolah, saya mendapati kursi-kursi rumah diletakkan di teras tetangga saya, ada tenda didirikan di depan rumah saya, dan banyak orang mengerumuni rumah saya. Saya pun mulai merasa ada yang tidak beres, dan langsung berlari masuk. Terkejutnya saya saat mendapati raga ayah saya yang sudah terbujur kaku di kamarnya dan siap untuk dimandikan. Langsung saya memeluk ibu saya sambil menangis,
Quote:
“Ibu, ayah kenapa?
Ayah kenapa?”
Ibu saya yang matanya sembap menjawab sambil mengelus rambut saya,
Quote:
“Ayah nggak apa-apa nak,
dia hanya tertidur pulas...
Dia sudah sembuh dari segala rasa sakitnya...”
Saya hanya terdiam, terpaku melihat jasad ayah saya dimandikan, disholatkan, hingga akhirnya diberangkatkan hingga kepada tempat peristirahatannya yang terakhir.
Saya hanya bisa bersedih menahan airmata yang sebenarnya sudah siap meluncur dari kelopak mata saya, tetapi saya hanya menatap kosong ke langit, dan menggumam,
Quote:
“Ayah, maafkan aku yang selalu memaksamu untuk bermain denganku,
berjalan-jalan bersama ibu dan kakak,
tetapi ternyata takdir berkata lain...”
Saya menyesal telah mendiamkan ayah saya selama bertahun-tahun hanya karena keinginan saya, terlebih, saya menyesal belum pernah membahagiakan ayah saya. Saya menyesal tak sempat meminta maaf kepada ayah saya.
Saya menceritakan hal ini kepada ibu saya sambil terisak, dan ibu saya berkata,
Quote:
“Ayah tidak pernah marah karena kamu selalu merengek minta diajak jalan-jalan kan?
Ayah sayang kamu, nak...
Dia justru lebih menyesal karena belum sempat mengajakmu berjalan-jalan....
Doakan saja, ikhlaskan, ayah selalu memaafkanmu... Memaafkan kita...
Sekarang tugasnya di dunia telah selesai,
tinggal kita yang hidup mendoakannya agar dia tersenyum di sana...
Dan jadilah anak sholeh yang bisa mendoakan ayahmu,
dan kelak di surga nanti kita bisa bertemu
dan berjalan-jalan di taman surga Ilahi, nak”
Ramadhan-ramadhan selanjutnya bisa ditebak, semakin sepi. Tahun pertama tanpa ayah sering kali terasa berat, terutama ibu mungkin sebagai istri yang ditinggalkan ayah. Yang jelas, gubuk kecil yang kami tinggali serasa menjadi sebuah kastil sunyi yang asalnya sudah sepi, harus kehilangan salah satu penghuninya. Televisi jarang dihidupkan ketika sahur, lampu-lampu ruangan masih banyak yang padam, serta tidak ada kata-kata antara saya, ibu, dan kakak saya ketika sahur pertama tanpa ayah saya. Namun, kehidupan harus berjalan. Kami pun berusaha tegar dengan tetap bersama di dalam keluarga kecil kami meskipun sering kali rasanya rindu kepada ayahsering menghampiri. Terkadang saya juga trenyuh mengenang ketika saya dibangunkan oleh ayah saya dan digendong ayah saya ke meja makan. Saat ibu saya memasak tempe menjes, sering kali pandangan saya melanglang jauh dan teringat puasa di Ramadhan pertama saya... Ah, itu mungkin tinggal kenangan, tapi yang jelas, saya yakin, meskipun hanya berdua, asalkan Ramadhan tetap dihidupkan tidak akan ada yang namanya rasa sepi yang merasuk di sela-sela rumah yang kami tinggali.
Rasa menyesal belum sempat meminta maaf kepada ayah
mungkin masih ada di dalam hati saya,
tetapi kini saya senantiasa bersyukur
dan akhirnya mengerti kedudukan seorang ayah...
menyadari betapa indahnya sebuah kebersamaan
ketika ayah masih ada...
Saya juga bersyukur, kini saya tahu betapa berharganya sebuah kebersamaan dengan keluarga yang lengkap
yang dulu ketika saya masih kecil
hanya saya rasakan sebatas sayur lodeh dan tempe menjes,
kini saya tahu rasanya adalah sangat Alhamdulillah.
Alhamdulillah, saya diberi anugerah sebuah keluarga yang hangat.
Alhamdulillah, saya mempunyai seorang ayah dan ibu yang hebat.
Alhamdulillah, saya mengerti betapa berharganya sebuah kebersamaan.
Quote:
"Mengapa kita harus berpuasa?"
Agar kita senantiasa bersabar. "Mengapa kita harus sahur?"
Agar kita belajar bersyukur. "Mengapa kita harus tarawih?"
Agar ibadah kita menjadi sempurna.
Lupa-lupa ingat karena ayah saya sudah tiada lebih dari sepuluh tahun yang lalu,
namun pertanyaan saya dan jawaban dari ayah itu masih sering ada di benak saya...
dan tentunya...
Quote:
“Nak, bangun nak...
Ayo bergegaslah sahur!”
Saya yakin, suatu saat nanti...
kami berempat akan berkumpul untuk menikmati Ramadhan,
mungkin di sebuah kesempatan yang lain.
Quote:
Quote:
Cerita yang saya posting disini berasal dari pengalaman saya sendiri: AGUNG PANJI SASMITO,
tidak melanggar hak cipta pihak manapun
dan diperbolehkan untuk dipublikasikan di Forum KASKUS
semua ini saya ambil dari kenangan yang saya peroleh bersama keluarga saya...
maaf gambar ilustrasi banyak dari google, karena tidak punya dokumentasi selama ayah sakit
satu-satunya foto saya bersama ayah saya (berapa tahun lalu ya?)
Tidak mengejar hadiah maupun juara, namun hanya ingin berbagi di bulan nan fitri
jika orang tua kalian masih utuh,
sayangi ayah dan ibu kalian!
buatlah mereka tersenyum,
dan jangan lupa minta maaf ya!
Spoiler for disclaimer:
Waktu memang tak akrab denganku dan ayah
Tapi di dalam buku gambarku
Tak pernah ada duka atau badai
Hanya sederet sketsa
Tentang aku, ayah, dan tawa
Yang selalu bersama...
THIS THREAD IS DEDICATED FOR MY BELOVED DAD
Spoiler for catatan:
kalau berkenan bantu
dengan senang hati menerima
mohon tidak di