Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ceper.rimbaAvatar border
TS
ceper.rimba
[CATPER] Dekapan Hujan Gunung Sumbing (28 - 31 Desember 2012)
Saya mau share ulang catatan perjalanan yang juga diposting di blog saya.
Spoiler for Sumbing:

Hari Jum'at, tanggal 28 Desember 2012, jam tiga sore kami berkumpul di terminal Lebak Bulus. Saya, Kang Hilwan, Bang Farhan, dan Mbak Titi bersiap menuju Wonosobo dengan bis ekonomi. Sekitar 12 jam perjalanan menyusuri pantura dan berbelok ke Purwokerto, kami sampai di Wonosobo. Tanya sana-sini, sampai ditipu supir angkot yang membawa kami ke Tambi - Sindoro, kami pun kembali menumpang angkutan sampai ke Garung Reco. Ternyata, daerah bernama Garung itu di Wonosobo ada dua tempat. Yang satu sebelum agrowisata Tambi, dan satu lagi ada di Kertek. Setelah tertipu, kami pun sampai di Garung Reco, Kertek. Nah, bagi yang ingin mendaki gunung Sumbing, turun bis di Terminal Wonosobo saja, dan naik angkutan jurusan Magelang, turun di pos pendakian Sumbing, Garung Reco, Dusun Butuh. Setelah sampai, kami berjalan setengah kilometer menuju basecamp Sumbing. Di sini, kami mengisi data dan membayar retribusi sebesar empat ribu rupiah per kepala. Sudah mengisi data dan membayar retribusi, kami mendapat peta sederhana di mana terdapat dua jalur mendaki, yaitu jalur lama dan baru. Setelah menimbang, akhirnya kami memilih jalur baru yang cukup curam untuk didaki, karena di sepanjang jalur masih ada sumber air. Maklum lah, kami kan manusia gelonggongan. Hehehe.

Mulai mendaki sekitar jam setengah sepuluh pagi. Kami menyusuri desa dan ladang-ladang petani. Berjalan santai dan tidak memburu waktu, karena kami memang tak memburu apa-apa. Kami hanya menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh Dusun Butuh saja. Sampai di batas vegetasi antara ladang dan hutan, kami mulai disuguhi tanjakan-tanjakan yang cukup curam dan sudah pasti, LICIN! Licin banget lhooooo.

Kabut turun perlahan, dan rintikan hujan mulai bertahan di jalur kami. Meskipun begitu, niat kami untuk segera sampai shelter Pos 2, tetap tertanam dalam hati. Apapun yang terjadi, target kami hari itu adalah sampai dulu di Pos 2. Sebelum Pos 2, kita akan melewati Pos 1 Bosweisen di mana bisa mengambil air dari mata air sebelum Bosweisen. Nah, setelah mendaki santai, kami sampai di Pos 2 sekitar pukul setengah tiga sore. Lima jam sampai di Pos 2, ya maklum lah. Namanya juga santai. Hahahaha. Di Pos 2, kami mendirikan tenda. Waktunya memasak!
Spoiler for Senja di Pos 2:

Makan sudah, ngopi-ngopi juga sudah. Nah, sekitar jam delapan malam, tibalah sesi curhat dan bincang-bincang. Tapi, hujan mulai mengguyur kami dengan derasnya. Kami pun masuk tenda dan berakhirlah sudah. Teman saya rupanya bangun tengah malam. Langit cerah dan bulan sedang penuh-penuhnya. Purnama yang sangat sempurna di hari itu. Sayang, teman saya bilang, ketika saya dibangunkan, saya tidak bangun. Dia bilang juga, kalau saya tidur seperti orang mati. Ya sudahlah, mungkin belum takdirnya untuk melihat purnama. Hehehehehe.

Pagi-pagi, saya dan Bang Farhan memasak sarapan. Kami membuat sereal yang dicampur dari beberapa jenis makanan. Entah bagaimana rasa makanan itu di lidah teman-teman, tapi yang jelas makanan itu habis seketika. Entah lapar atau rakus, saya juga tidak tahu. Hehehehe. Setelah sarapan sekenyang-kenyangnya (meskipun kurang), kami pun packing barang yang dibutuhkan untuk segera summit. Niat untuk summit attack jam tiga pagi terabaikan karena kami semua memang "jago molor dan ngorok".
Spoiler for sarapan:

Minggu pagi, jam delapan kami mulai mendaki. Tenda kami tinggalkan saja, karena kami punya firasat kalau kami pasti camp sehari lagi di Sumbing, mengingat kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk ngageder turun gunung. Nah, barang-barang penting kami bawa dan mulailah kami mendaki lagi jalur licin nan curam. Kami sampai di pos "in memoriam Tri Antono" dan berdoa sebentar. Setelah itu, kami pamit dan naik lagi. Cukup cepat juga langkah kami, sampai ke Pestan. Di Pestan, kami menyempatkan diri untuk bersantai, memandangi Sindoro di depan kami sambil tak henti-hentinya kagum. Saya sempat bergumam, "Tuhan Maha Keren!" beberapa kali dan entah euforia apa yang menjangkiti. Saat itu, langit mulai menghitam lagi. Rintik hujan turun perlahan, dan inilah saatnya kami mulai menempa diri untuk menyusuri sepanjang sabana yang cukup vertikal, sampai ke Pasar Watu.
Spoiler for jempolll:

Sampai di tanjakan menuju Pasar Watu, kami duduk sejenak di bebatuan. Kami keluarkan makanan kecil, karena perut kami mulai berbunyi. Perut minta diisi. Untuk memasak, sepertinya tidak pas kalau di Pasar Watu, karena angin menyapa kami dengan ganasnya. Kami pun duduk di bebatuan sambil ngemil. Sekali lagi, entah lapar atau rakus, cemilan pun habis dengan segera. Hahahaha.

Mbak Titi agak terkilir kakinya, jadi saya putuskan untuk berjalan pelan saja. Lagipula, cuaca tidak mendukung. Stamina kami dihajar habis-habisan. Hujan terus dan yang saya takutkan adalah petir yang kala itu mulai bersahut-sahutan. Sudah makan cemilan, kami putuskan untuk mendaki lagi, setidaknya sampai Watu Kotak, karena di cerukan batu itu kami bisa terlindung dari hujan angin.

Di Watu Kotak, kami disuguhi dua tenda yang rubuh karena badai. Kami pun memasang perlengkapan masak di dekat tenda yang tak bertuan itu. Mungkin pemiliknya sedang summit. Aduh, kami jadi bergidik sendiri, karena kami tidak mungkin memaksa diri untuk sampai ke puncak. Setidaknya, sudah sampai Watu Kotak pun sudah sangat bersyukur. Dan benar saja, rintikan hujan mulai mengguyur kami dengan deras. Kami pindahkan peralatan masak ke cerukan batu di bawah kami, agar terlindung dari arah datangnya angin dan hujan. Kami memasak dan menghangatkan diri, sementara Bang Farhan menadah air untuk menutup persediaan air yang mulai tipis. Saya dan Kang Hilwan mulai berpikir lagi, apakah kami harus ke puncak atau tidak? Begitulah polemik Watu Kotak terjadi. Sekitar dua jam kami berlindung di Watu Kotak dari hujan, angin, dan petirnya. Dan sekitar pukul setengah satu, hujan mulai reda. Akhirnya, saya memutuskan untuk summit, dengan Kang Hilwan saja. Mbak Titi terkilir kakinya dan Bang Farhan memutuskan untuk menjaga Mbak Titi saja. Sudah fix, saya segera kenakan ponco bak tukang ojek dan mulai mendaki.
Spoiler for Watu Kotak:

Interval waktu yang saya dan Kang Hilwan rasakan, cukup cepat. Sekitar tiga puluh lima menit saja, kami sudah sampai di Puncak Buntu Gunung Sumbing. Meski hujan mengguyur kami, kami tetap berpijak pada tanah-tanah vulkanik yang licin. Dan saya berdoa dalam hati, agar ketika sampai puncak Sumbing, saya diberikan cuaca yang cerah. Benar saja, sampai di puncak, hujan berhenti. Berhentinya tiba-tiba! Waaaah, pemandangan kota Wonosobo terlihat keren sekali! Meskipun Sindoro tertutup awan, puncaknya tetap mengintip pada kami di atas tanah Sumbing.

Sudah foto-foto dan berkeliling menikmati pemandangan, kami memasak air panas untuk menghangatkan badan kami yang diguyur hujan sepanjang jalan. Karena jari sudah kaku semua, maka kami hangatkan dengan uap airnya. Ngopi-ngopi lagi deh!

Saatnya berpisah dengan puncak Sumbing. Hiks. Sedih juga rasanya. Sepertinya damai sekali di atas sana. Tapi, bagaimanapun kami harus turun karena kami harus sudah sampai di Pos 2 sebelum senja tiba. Dua puluh menit kami turun dengan cepatnya, seperti tupai melompat-lompat dan sampailah kami di Pestan. Di Pestan sudah ada Bang Farhan dan Mbak Titi. Setelah kabut di jalur baru tersibak, kami pun berpamitan dengan pendaki yang kami temui di Pestan dan segera menyusuri jalur baru untuk turun ke Pos 2.

Hari mulai gelap, dan kami mempercepat langkah. Sebelum senja datang, kami sudah sampai di Pos 2. Segera kami rapikan kembali tenda yang sudah berubah bentuk di sana sini sejak terakhir kami tinggal. Sudah rapi, waktunya menyapa Maghrib.

Senja berlalu dan langit pun kembali tak bersahabat. Hujan mengguyur kami lagi dan secara terpaksa, kami pun mempercepat hari esok dengan tidur di tenda.

Pagi tiba, langit cerah. Burung-burung berkicau dan saya menuju ke belakang shelter untuk mendapatkan pemandangan gunung Slamet di kejauhan. Yap! Saya mendapatkannya! Kabut tipis berhias di kejauhan dan gunung Slamet tampak cerah. Sekali lagi saya bergumam, "Tuhan Maha Keren!", sebelum akhirnya bersiap untuk sarapan dan packing. Saatnya berpisah dengan gunung Sumbing. Huhuhuhu.
Spoiler for bayangan Gn. Slamet:

Jam delapan pagi kami turun dan jam sepuluh lewat sudah sampai di basecamp Sumbing lagi. Perjalanan yang menyuguhkan banyak sekali pengalaman. Hujan, angin, dan petir membuat kami tak berani berbangga hati, karena hanya dengan itulah kami masih menyadari diri kami sebagai manusia. Masih ada yang lebih kuat lagi dari kami. Karena badai hari itu membuat kami sadar, bahwa kami hanya makhluk tak berdaya yang bisa sewaktu-waktu mati, hilang, dan tak berbekas lagi. Di atas sana, Tuhan lebih tahu apa yang kami mau. emoticon-Smilie

Jakarta, 02 Januari 2013
12:25 PM


P.S:
  • Transport Jakarta - Wonosobo PP Rp 160.000,-
  • Wonosobo - Magelang turun Garung Reco, PP Rp 10.000,-
  • Retribusi Sumbing @ Rp 4.000,-
  • Bagi yang berminat, monggo dicoba gunung Sumbingnya. Dan hati-hati, jangan salah turun Garung kayak saya yaaaaa. Turunlah di Garung Reco, Kertek, jangan di Tambi! Ingat! Waspadalah, waspadalah! Penipuan berlaku di mana sajaaaa. Hehehehe.


Have a good trip, mates! emoticon-Smilie
0
8.8K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan