salamander55Avatar border
TS
salamander55
di balik sisi gelap reog ponorogo
*Reog* adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok warok dan gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat reog dipertunjukkan. Reog adalah salah satu budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.


Sejarah

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok, namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni *Reog*, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.
Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu.
Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya.
Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Nah sekarang kita bahas WAROK & GEMBLAK

Suatu hari di tahun 1973. Sudarno asal Desa Kacangan, Kecamatan Sawo – Ponorogo, waktu itu masih berusia 10 tahun. Ia curiga akan terjadi sesuatu yang merubah jalan hidupnya kelak, ketika beberapa warok datang mengamati dirinya seusai pulang sekolah. Hampir tiga bulan, ia ditunggui di pagar luar sekolah. Sesuatu yang membuatnya ketakutan. Tidak salah. Para Warok sudah menilai layak tidaknya bocah Sudarno dipinang menjadi Gemblak.
Selama itu, teman temannya sudah mengejeknya sebagai calon Gemblak. Ia marah dan tidak terima sehingga melempar teman temannya dengan batu. Ia bahkan tidak bisa meminta perlindungan orang tuanya, Kehidupan keluarganya yang teramat miskin, membuat orang tuanya tak bisa menolak imbalan 2 ekor sapi dewasa untuk kontrak Gemblak selama 3 tahun.
Sudarno tidak terima dengan takdir ini, Ia berontak, membuang isi lemari pakaiannya. Dengan kalap ia memaculi lantai rumahnya yang masih tanah sehingga berantakan. Airmatanya tak berarti karena ia harus menjalani perintah orang tuanya, demi penghidupan keluarganya.
Hingga suatu watu ia diajak memancing oleh Sang warok. Anehnya, setiba di rumah orang tuanya, ia merasa ingin cepat cepat keluar dari rumahnya dan pergi bersama Warok yang telah membelinya. Kelak ia menduga bahwa si warok telah memberinya guna guna agar ia mau menjadi gemblak.
Sejak itu Sudarno menjadi milik perkumpulan Warok. Istilah ini dinamakan Gemblak Kumpulan. Ia dikontrak sebagai gemblak dari sekumpulan orang orang yang menjadi warok. Para warok berpatungan untuk memiliki gemblak. Artinya beberapa hari sekali, Sudarno kecil dipindahtangankan dari satu warok ke warok lainnya selama 3 tahun, sesuai isi perjanjian.

Memelihara gemblak adalah tradisi yang telah berakar kuat pada komunitas seniman reog. Bagi seorang warok hal tersebut wajar, bahkan diterima masyarakat. Warok bisa mempunyai satu atau banyak gemblak, yaitu lelaki belasan tahun usia 10-17 tahun berparas elok dan terawat yang dipelihara sebagai kelangenan. Kadang lebih disayangi ketimbang istri dan anaknya. Dalam tradisi turun temurun, kesaktian bisa diperoleh bila seorang warok rela tidak berhubungan seksual dengan perempuan.
Biaya yang dikeluarkan warok untuk seorang gemblak tidak murah.
Bila gemblak bersekolah maka warok yang memeliharanya harus membiayai keperluan sekolahnya di samping memberinya makan dan tempat tinggal. Sedangkan jika gemblak tidak bersekolah maka per satu atau dua tahun, warok memberikannya seekor sapi.
Lain cerita Mbah Basir asal Desa Siman yang menjadi gemblak pada tahun 1957 sampai 1963. Saat itu ia masih berusia 10 tahun dan menjadi gemblak ekslusif hanya buat Dasuki asal Desa Totokan , seorang warok yang menjadi pemilik sebuah komunitas reog. Bagi seorang warok, ini disebutngondolan. Memiliki sepenuhnya gemblak itu tanpa harus dipindahkan ke warok yang lain. Berbeda dengan Sudarno yang maharnya berupa sapi. Basir muda hanya disekolahkan dan dirawat.


Basir tinggal bersama 3 orang gemblak lainnya dalam rumah Warok Dasuki yang waktu itu sudah mempunyai isteri, tapi belum memiliki anak. Setiap malam Dasuki tidur bersama gemblak gemblaknya, sementara istrinya tidur sendiri di kamar belakang yang terpisah.
Selain disekolahkan, Basir juga diajarkan menari dan berlatih kesenian reog. Ia memulai dengan menjadi penari jathilan.
Baik Sudarno atau Basir, mendapat tempat yang istimewa dalam kehidupan warok. Mereka dididik tata krama dalam berpakaian, bersikap di meja makan sampai bagaimana melayani waroknya. Mereka umumnya menyebut warok yang memelihara dengan panggilan Bapak.
Gemblak sekaligus menjadi semacam asisten pribadi yang dibawa kemana mana. Kegiatan pasar atau undangan hajatan perkimpoian merupakan saat untuk memamerkan gemblaknya kepada masyarakat dan warok yang lain.
Sudarno mengingat, ia selalu dibonceng sepeda fonger oleh sang Warok. Ia bercelana pendek dan berpakaian lengan panjang yang ujung lengannya dikancing, Tak lupa asesoris kacamata biru bergagang kulit penyu.
Sementara Basir mengenakan baju linen warna pink, dan sudah memakai jam tangan. Sesuatu yang masih langka bagi anak seusianya.
Dalam acara ini, gemblak wajib membawakan rokok berpak pak, yang nanti bisa ditawarkan kepada tamu tamu lainnya atau ke bapak waroknya sendiri. Gemblak juga sudah diajarkan merokok sejak ia menjadi gemblak.
Bagi seorang warok , memiliki gemblak adalah simbol status. Banyak cara yang harus ditempuh untuk bisa mendapatkan gemblak idaman yang sudah dincarnya. Demi sebuah perhelatan, seorang warok bisa menyewa gemblak pujaan yang dimiliki warok lain selama beberapa jam, untuk dibawa dan dipamerkan selama hajatan tersebut.
Mbah Sisok kini 85 tahun, seorang bekas warok yang kini menjadi pengrajin reog asal Desa Kauman. Dulu ia pernah menanggung biaya sunat calon gemblaknya sambil menggelar pagelaran wayang kulit yang tergolong mewah pada jamannya. Itu belum termasuk mahar seekor sapi dewasa untuk 2 tahun.
Beberapa kasus, sering terjadi perkelahian antar warok untuk memperebutkan gemblak, bahkan yang berujung kematian salah satu warok.
Ada juga Warok yang menjadi perampok agar memiliki dana yang cukup untuk menebus gemblak.



Mbah Tobroni ( 75 th ), salah satu tokoh warok yang masih tersisa, pernah memiliki empat orang gemblak pada tahun 1990an. Ia menyekolahkan semuanya sampai lulus SMA. Kini Jingkang, menjadi anggota Marinir, Rengga menjadi guru di Pondok Pesantren, Agus – yang menurutnya paling tampan – menjadi pedagang mas. Terakhir Anto, yang disesali karena menjadi buron polisi.
Tobroni pernah menikah tiga kali. Ia masih memiliki grup kesenian reog dan hidup bersama isteri yang ketiga sambil mengelola sebuah restaurant. Hari hari tuanya dinikmati dengan menunggang motor Harley Davidsonnya dan memelihara burung perkutut kontes.
Ia adalah tokoh masyarakat terpandang di Ponorogo. Salah seorang anak perempuannya menjadi wakil ketua DRPRD di sana.
Tidak mudah membayangkan apa yang terjadi dalam kehidupan gemblak. Mereka sangat dicemburui oleh warok pemiliknya, terutama jika mereka menunjukan ketertarikan kepada lawan jenisnya. Basir muda harus dimarahi dan dicubit ketika hanya melirik kepada seorang gadis yang ditemui di sebuah warung dawet. Apalagi waktu itu Basir juga menjadi primadona reog, yang selalu dielu elukan penonton.
Ia mengingat, ketika sedang berjalan melintas desa. Para petani yang sedang bekerja di sawah, harus menghentikan kegiatan memacul hanya untuk melihat sang gemblak primadona dari dekat.
Untuk itu, warok Dasuki selalu secara reguler memberikan kemenyan kecil yang sudah di jampi jampi untuk dimakan sedikit demi sedikit oleh Basir, dan 3 orang gemblak lainnya yang tingga bersama. Ini agar sang Gemblak selalu betah dan ‘ mencintai ‘ bapak waroknya.
Mbah Mulud ( 80 tahun ) asal Desa Kutu Kulon, dulu mempunyai cara unik ada agar kelakian sang gemblak tidak berfungsi secara normal. Dengan ilmu, ia mematikan burung si gemblak. Ketika masa kontraknya habis, si gemblak dibuat normal kembali.
Sampai batas waktu perjanjian, Warok mengembalikan Gemblak ke rumah orang tuanya atau bisa memperpanjang masa kontrak. Beberapa kasus ketika Gemblak sudah menginjak dewasa, sang warok mencarikan istri untuk gemblaknya agar bisa lepas. Ini biasa terjadi ketika Gemblak tak mau dilepaskan dari kehidupan Warok. Mereka ada yang benar benar akhirnya ‘ mencintai ‘ bapak waroknya. Sehingga perpisahan bisa membuat kesedihan yang mendalam.
Ada beberapa alasan mengapa Warok melepas ikatan gemblaknya. Pertama, karena memang ingin mencari gemblak baru. Kedua, Warok memutuskan pensiun dan kembali menjadi orang normal atau menikah untuk memiliki keturunan.
Kehidupan gemblak telah merampas kemerdekaan masa kecil mereka. Jika anak anak sebayanya masih suka bermain layang layang. Para gemblak sudah dibuat cepat dewasa. Mulai dibiasakan merokok sampai memahami hubungan yang biasa dilakukan orang dewasa.
Dalam wawancara ini para warok dan gemblak menolak jika dikatakan ada praktek sodomi dalam hubungan mereka. Bisa jadi hal ini memang ditutupi, karena menjadi issue yang sensitive. Disamping karena masyarakat modern mencap stigma homoseksual sebagai penyimpangan.
Umumnya para warok mengakui hanya memeluk ketika tidur , sambil membelai dan menciumi Gemblaknya.


Mbah Gani ( 70 tahun ) bekas warok asal Desa Plunturan, Kecamatan Pulung mengakui jika harus melakukan penetrasi, ia menjepitkan kemaluannya yang sudah keras diantara paha gemblaknya. Lalu ia membersihkan air spermanya yang berceceran di tubuh Gemblaknya dengan kain.
Hubungan seksual yang terjadi memang hanya menjadi rahasia malam antara Warok dan Gemblaknya. Tertutup dan terasing. Praktek sodomi sangat dimungkinkan, mengingat Gemblak dalam posisi yang tak bisa menolak.
Seperti yang dikatakan Mbah Basir. Hanya satu yang dibenak Gemblak, yakni patuh dan taat kepada bapak Waroknya.
Sudarno kecilpun, harus menyimpan rasa jijiknya ketika harus melayani Warok yang jelek,kemproh dan kotor. Tapi ia diam saja, membiarkan jerit hatinya tersimpan dalam kamar peraduan.

Jujur nech gan ane masih ada darah keturunan warok buyut & kakek ane dulunya seorang warok sampai sekarang kakek ane di segani di desanya.
Yg ane tanyain nech gan apakah ane harus menjadi seperti mereka???ane bingung gan secara di darah ane mengalir darah keturunan warok tp ane normal gan masih suka ama cwek.
Sumber http://www.umpo.ac.id/artikel.detail.php?id=2

sumber ke 2 http://blog.imanbrotoseno.com/?p=1167




Diubah oleh salamander55 02-07-2013 08:50
0
15.5K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan