- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Tebus Ijazah Anak Rp17 Juta, Ayah Nekat Jual Ginjal
TS
Ruskin.NHYD
Tebus Ijazah Anak Rp17 Juta, Ayah Nekat Jual Ginjal
Quote:
Tebus Ijazah Anak Rp17 Juta, Ayah Nekat Jual Ginjal
Quote:
Sugiyanto berorasi menawarkan ginjalnya di Bundaran HI.
Meski bercucuran keringat, Sugiyanto (45) tetap semangat melakukan orasi di bawah terik matahari kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu 26 Juni 2013.
Ditemani oleh anaknya, Sarah Melanda Ayu (19), Sugiyanto membawa poster bertuliskan bersedia menjual ginjal demi memperjuangkan nasib anaknya itu.
Sugiyanto nekat menjual organ tubuhnya untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan oleh pondok pesantren tempat anaknya menimba ilmu.
Ijazah tersebut ditahan oleh pihak sekolah yakni Ponpes Al-Ashiriyyah Nurul Iman, di Desa Waru Jaya, Parung, Bogor.
"Anak saya selama 7 tahun mendapat pendidikan di sana. Tahun lalu lulus SMA, sempat kuliah di sana beberapa bulan. Namun karena ada masalah di ponpes itu, anak saya keluar," ujarnya.
Sugiyanto menambahkan, putrinya masuk ke ponpes sejak tahun 2005 dan lulus pada tahun 2012. Dia diminta uang untuk menebus ijazah SMP dan SMA anaknya selama bersekolah di sana. Awalnya Sugiyanto dijanjikan bahwa ijazah tersebut gratis, namun ketika pemimpin ponpes meninggal dan digantikan oleh yang baru, dia diminta biaya tebusan, yakni Rp7 Juta untuk jjazah SMP dan Rp10 Juta untuk ijazah SMA.
Sugiyanto yang hanya berprofesi sebagai penjahit mengaku bingung diminta uang sebesar Rp17 Juta. "saya mohon ke pondok dengan mengajukan surat miskin namun ditolak," kata warga Tegal Alur, Jakarta Barat.
Dia juga sempat mendatangi Komnas HAM, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama. Namun nasib ijazah anaknya masih tidak jelas.
"Saya sudah usaha ke sana kemari tapi tetap tidak ada kejelasan," lanjutnya.
Karena masih tidak ada jalan keluar, akhirnya Sugiyanto berniat menjual ginjalnya. Dia mengaku bersyukur jika ada orang yang mau memberikan bantuan kepada dirinya. Namun Sugiyanto juga siap jika memang harus kehilangan organ tubuhnya.
"Kalau bukan karena ijazah anak saya, ditawar Rp1 miliar pun tidak mau saya jual. Kalau memang diperlukan dan ada yang mau saya mau, demi anak saya, jantung pun
saya jual. Mati pun tidak apa-apa," kata dia.
Meski bercucuran keringat, Sugiyanto (45) tetap semangat melakukan orasi di bawah terik matahari kawasan Bundaran HI, Jakarta, Rabu 26 Juni 2013.
Ditemani oleh anaknya, Sarah Melanda Ayu (19), Sugiyanto membawa poster bertuliskan bersedia menjual ginjal demi memperjuangkan nasib anaknya itu.
Sugiyanto nekat menjual organ tubuhnya untuk menebus ijazah anaknya yang ditahan oleh pondok pesantren tempat anaknya menimba ilmu.
Ijazah tersebut ditahan oleh pihak sekolah yakni Ponpes Al-Ashiriyyah Nurul Iman, di Desa Waru Jaya, Parung, Bogor.
"Anak saya selama 7 tahun mendapat pendidikan di sana. Tahun lalu lulus SMA, sempat kuliah di sana beberapa bulan. Namun karena ada masalah di ponpes itu, anak saya keluar," ujarnya.
Sugiyanto menambahkan, putrinya masuk ke ponpes sejak tahun 2005 dan lulus pada tahun 2012. Dia diminta uang untuk menebus ijazah SMP dan SMA anaknya selama bersekolah di sana. Awalnya Sugiyanto dijanjikan bahwa ijazah tersebut gratis, namun ketika pemimpin ponpes meninggal dan digantikan oleh yang baru, dia diminta biaya tebusan, yakni Rp7 Juta untuk jjazah SMP dan Rp10 Juta untuk ijazah SMA.
Sugiyanto yang hanya berprofesi sebagai penjahit mengaku bingung diminta uang sebesar Rp17 Juta. "saya mohon ke pondok dengan mengajukan surat miskin namun ditolak," kata warga Tegal Alur, Jakarta Barat.
Dia juga sempat mendatangi Komnas HAM, Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementrian Agama. Namun nasib ijazah anaknya masih tidak jelas.
"Saya sudah usaha ke sana kemari tapi tetap tidak ada kejelasan," lanjutnya.
Karena masih tidak ada jalan keluar, akhirnya Sugiyanto berniat menjual ginjalnya. Dia mengaku bersyukur jika ada orang yang mau memberikan bantuan kepada dirinya. Namun Sugiyanto juga siap jika memang harus kehilangan organ tubuhnya.
"Kalau bukan karena ijazah anak saya, ditawar Rp1 miliar pun tidak mau saya jual. Kalau memang diperlukan dan ada yang mau saya mau, demi anak saya, jantung pun
saya jual. Mati pun tidak apa-apa," kata dia.
Quote:
Tambahan dari kaskuser
Quote:
Original Posted By awasdhack►Nih dapat berita yang serupa dari http://www.majalah-alkisah.com/index...n-parung-bogor
Derita Nissa di Pesantren Nurul Iman, Parung, Bogor
Impian Nissa, 12 tahun, untuk menjadi ustadzah buyar sudah. Asa yang dipupuknya sirna, bak awan tersapu angin.
Betapa tidak, ketika diterima di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, yang didirikan oleh almarhum Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abubakar Bin Salim, 16 Juni 1998 ini, gadis kecil kelahiran Cibalagung, Bogor, itu begitu gembira. Sampai-sampai ia mengabarkan ke seluruh teman sepermainannya bahwa kelak ia akan menimba ilmu di pesantren yang terkenal dengan kehebatan dan kemegahannya.
Namun, setelah 40 hari berada di tempat itu, ia pun menangis dan meminta dipulangkan oleh orangtuanya. Dalam cerita itu, ia hanya menceritakan bahwa ia tak betah karena kangen kepada sang ibu, yang telah menghadap Sang Pencipta, juga kepada sang ayah, yang sangat dicintainya. Sang ayah pun mengerti dengan kerinduan gadis kecilnya, namun ia berusaha menasihati dan memberi pengertian anaknya.
Rupanya nasihat sang ayah diterimanya. Ia pun berjanji akan tetap berada di pesantren itu. Tetapi empat hari kemudian, gadis kecil yang lugu ini kembali menghubungi orangtuanya melalui telepon yang dipinjamnya dari kerabat salah seorang tamannya yang kebetulan datang menjenguk.
“Ayah… Ayah… kalau Nissa tidak dijemput, Nissa kabur saja,” katanya memelas di sela isak tangisnya.
Mendengar ucapan itu, Hendra, sang ayah, pun kelabakan. Dan ia pun berjanji bahwa keesokan harinya ia akan datang menjemput sang buah hati. Sayang, keesokan harinya Hendra tak mampu menjemput anak kesayangannya ini. Dan ia pun meminta bantuan kerabatnya, yakni kedua bibi anak kecil ini, yang salah satunya ikut mengantar waktu gadis kecil itu masuk ke pesantren untuk pertama kalinya.
Singkat cerita, keesokan harinya, kedua bibinya bertemu gadis piatu ini. Berbagai upaya dilakukan agar anak ini tetap mau bertahan. Tapi rupanya niat sang keponakan tak bisa dibendung. Dengan berat hati kedua bibi ini meminta izin kepada pengurus pondok pesantren ini.
“Boleh… tapi Ibu harus membayar Rp 20.000 x 40 hari. Jadi totalnya Rp 800.000,” kata Ustadz Nasir, di sekretariat.
“Lho? Untuk apa?” tanya si bibi bingung.
“Iya… jika si anak tak betah, ia harus membayar pengganti uang makan, seharinya Rp 20.000 kali berapa hari ia bermukim di sini.”
“Kok waktu dimasukkan ke sini dulu tidak ada perjanjian seperti ini,” kata si bibi yang pertama kali mengantar gadis kecil itu.
“Tidak ada uang cash, anak tak bisa keluar pesantren,” kata Ustadz Nasir dengan muka keras.
Mendengar ucapan itu, upaya negosiasi dilakukan. Tapi hasilnya tak membawa hasil.
Jelas kata-kata itu membuat si bibi tersedak. Maka ia pun menghubungi Majalah alKisah, yang pernah menulis berita tentang rajutan impian dan tujuan almarhum Habib Saggaf bin Mahdi ketika beliau masih hidup, dan selalu menerima wartawan dengan tangan terbuka.
“Apakah benar kalau santri keluar harus membayar, Ustadz?” tanya Adi Priatna dari Majalah alKisah sore itu.
“Benar!” jawab sang ustadz singkat.
“Setahu kami, peraturan ini tidak pernah ada. Kami tahu betul, karena hubungan kami dengan almarhum sangat baik.”
“Ini memang peraturan baru. Mulai diberlakukan tanggal 15 Agustus lalu oleh Umi, pimpinan pesantren ini,” ujar Ustadz.
“Kok jadi begini? Hati-hati, Ustadz, kalau nanti diketahui publik, mungkin orang tak akan lagi mau datang ke sini,” kata Adi Priatna mengingatkan.
“Kalau mau ditulis juga nggak apa-apa,” kata si Ustadz Nasir pongah.
Maka, mengingat betapa keras kepalanya si ustadz, Adi Priatna pun kembali berbicara kepada bibi si anak untuk membayar uang denda tersebut.
Mendengar hal itu, si bibi pun langsung memberikan uang sejumlah yang diminta, yang langsung diterima Ustadzah Neni dengan muka dan mata berbinar.
“Rupanya pesantren itu sudah seperti rumah gadai. Jika ingin barang (orang) keluar, mereka harus menyerahkan tebusan,” ujar si bibi dengan nada masygul.
“Bukan… pondok itu sudah seperti kamp penculikan. Ingin sang anak bebas, harus membayar tebusan,” kata sang ayah kepada alKisah.
Ingin tahu mengapa Nissa, gadis kecil piatu ini, tak lagi ingin berada di tempat itu? Mengapa ia selama ini bungkam dan tak mau menceritakan kejadian yang dialaminya kepada keluarganya. Bagaimana cara wartawan alKisah mengorek isi hatinya? Simak kisahnya di Majalah alKisah edisi 22/2012, yang akan terbit tanggal 24 Oktober 2012 mendatang.
Derita Nissa di Pesantren Nurul Iman, Parung, Bogor
Impian Nissa, 12 tahun, untuk menjadi ustadzah buyar sudah. Asa yang dipupuknya sirna, bak awan tersapu angin.
Betapa tidak, ketika diterima di Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman, Parung, Bogor, yang didirikan oleh almarhum Habib Saggaf bin Mahdi bin Syekh Abubakar Bin Salim, 16 Juni 1998 ini, gadis kecil kelahiran Cibalagung, Bogor, itu begitu gembira. Sampai-sampai ia mengabarkan ke seluruh teman sepermainannya bahwa kelak ia akan menimba ilmu di pesantren yang terkenal dengan kehebatan dan kemegahannya.
Namun, setelah 40 hari berada di tempat itu, ia pun menangis dan meminta dipulangkan oleh orangtuanya. Dalam cerita itu, ia hanya menceritakan bahwa ia tak betah karena kangen kepada sang ibu, yang telah menghadap Sang Pencipta, juga kepada sang ayah, yang sangat dicintainya. Sang ayah pun mengerti dengan kerinduan gadis kecilnya, namun ia berusaha menasihati dan memberi pengertian anaknya.
Rupanya nasihat sang ayah diterimanya. Ia pun berjanji akan tetap berada di pesantren itu. Tetapi empat hari kemudian, gadis kecil yang lugu ini kembali menghubungi orangtuanya melalui telepon yang dipinjamnya dari kerabat salah seorang tamannya yang kebetulan datang menjenguk.
“Ayah… Ayah… kalau Nissa tidak dijemput, Nissa kabur saja,” katanya memelas di sela isak tangisnya.
Mendengar ucapan itu, Hendra, sang ayah, pun kelabakan. Dan ia pun berjanji bahwa keesokan harinya ia akan datang menjemput sang buah hati. Sayang, keesokan harinya Hendra tak mampu menjemput anak kesayangannya ini. Dan ia pun meminta bantuan kerabatnya, yakni kedua bibi anak kecil ini, yang salah satunya ikut mengantar waktu gadis kecil itu masuk ke pesantren untuk pertama kalinya.
Singkat cerita, keesokan harinya, kedua bibinya bertemu gadis piatu ini. Berbagai upaya dilakukan agar anak ini tetap mau bertahan. Tapi rupanya niat sang keponakan tak bisa dibendung. Dengan berat hati kedua bibi ini meminta izin kepada pengurus pondok pesantren ini.
“Boleh… tapi Ibu harus membayar Rp 20.000 x 40 hari. Jadi totalnya Rp 800.000,” kata Ustadz Nasir, di sekretariat.
“Lho? Untuk apa?” tanya si bibi bingung.
“Iya… jika si anak tak betah, ia harus membayar pengganti uang makan, seharinya Rp 20.000 kali berapa hari ia bermukim di sini.”
“Kok waktu dimasukkan ke sini dulu tidak ada perjanjian seperti ini,” kata si bibi yang pertama kali mengantar gadis kecil itu.
“Tidak ada uang cash, anak tak bisa keluar pesantren,” kata Ustadz Nasir dengan muka keras.
Mendengar ucapan itu, upaya negosiasi dilakukan. Tapi hasilnya tak membawa hasil.
Jelas kata-kata itu membuat si bibi tersedak. Maka ia pun menghubungi Majalah alKisah, yang pernah menulis berita tentang rajutan impian dan tujuan almarhum Habib Saggaf bin Mahdi ketika beliau masih hidup, dan selalu menerima wartawan dengan tangan terbuka.
“Apakah benar kalau santri keluar harus membayar, Ustadz?” tanya Adi Priatna dari Majalah alKisah sore itu.
“Benar!” jawab sang ustadz singkat.
“Setahu kami, peraturan ini tidak pernah ada. Kami tahu betul, karena hubungan kami dengan almarhum sangat baik.”
“Ini memang peraturan baru. Mulai diberlakukan tanggal 15 Agustus lalu oleh Umi, pimpinan pesantren ini,” ujar Ustadz.
“Kok jadi begini? Hati-hati, Ustadz, kalau nanti diketahui publik, mungkin orang tak akan lagi mau datang ke sini,” kata Adi Priatna mengingatkan.
“Kalau mau ditulis juga nggak apa-apa,” kata si Ustadz Nasir pongah.
Maka, mengingat betapa keras kepalanya si ustadz, Adi Priatna pun kembali berbicara kepada bibi si anak untuk membayar uang denda tersebut.
Mendengar hal itu, si bibi pun langsung memberikan uang sejumlah yang diminta, yang langsung diterima Ustadzah Neni dengan muka dan mata berbinar.
“Rupanya pesantren itu sudah seperti rumah gadai. Jika ingin barang (orang) keluar, mereka harus menyerahkan tebusan,” ujar si bibi dengan nada masygul.
“Bukan… pondok itu sudah seperti kamp penculikan. Ingin sang anak bebas, harus membayar tebusan,” kata sang ayah kepada alKisah.
Ingin tahu mengapa Nissa, gadis kecil piatu ini, tak lagi ingin berada di tempat itu? Mengapa ia selama ini bungkam dan tak mau menceritakan kejadian yang dialaminya kepada keluarganya. Bagaimana cara wartawan alKisah mengorek isi hatinya? Simak kisahnya di Majalah alKisah edisi 22/2012, yang akan terbit tanggal 24 Oktober 2012 mendatang.
Spoiler for komentar dr seorg kaskuser yg mnrt ane kena d hati:
Quote:
Original Posted By dinardan►Subsidi BBM dikurangi KITA NURUT PAK katanya DEMI KESEJAHTERAAN,
sekarang buktinya mana? rakyat nanggung biaya mahal pak, untuk pendidikan
sekarang buktinya mana? rakyat nanggung biaya mahal pak, untuk pendidikan
Diubah oleh Ruskin.NHYD 26-06-2013 20:43
0
3.7K
Kutip
59
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan