Asyl007Avatar border
TS
Asyl007
Filsafat itu tidak menyesatkan
Tulisan yang sangat sederhana ini saya buat hanya karena saya sering dihadapkan pada pernyataan-pernyataan di bawah ini:


"Jangan terlalu berpikir filosofis!" atau "Jangan berfilsafat terlalu dalam ya, ntar bisa-bisa gila lho!" atau "Buat apa berfikir filosofis, ywdah lah, yang penting hidup!"

Pernyataan kedua dari tiga pernyataan di atas, sering sekali terdengar justru dari kalangan para "akademisi" dan para "intelektual" saat ini. Pernyataan yang sangat berlebihan dan terkesan mengerikan.

Namun apakah benar demikian? tidak sama sekali!

Berikut menurut pandangan saya dan ditambah kutipan dari buku yang saya baca. Semoga bermanfaat..

Apa itu berfilsafat?


Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu dihadapkan kepada berbagai macam fenomena, baik itu dari sisi kehidupan sosial sehari-hari, kejadian alam/nature, seni, ilmu pengetahuan, hingga mengenai diri sendiri/personal. Fenomena-fenomena dari berbagai bagian sisi kehidupan itu sebenarnya mempunyai banyak sekali nilai mendasar sebagai titik awal keberadaan sesuatu yang menawarkan segudang pertanyaan kepada kita akan apa yang sebenarnya terjadi. Terkadang ketika kita dihadapkan pada sesuatu, kita hanya menilik fenomena atau kejadian-kejadian itu hanyalah sampai batas permukaannya saja, dan terkesan enggan untuk menilik lebih dalam. Maksudnya apa, kira-kira begini, Misalnya saja, pernahkan kita tersirat oleh pertanyaan seperti: "Siapakah aku?", atau "Apa itu hidup?", atau mungkin suatu pernyataan yang terkesan takut untuk ditanyakan, "Siapakah itu Tuhan?". Masalahnya sekarang adalah, apakah ini semua ini perlu ditanyakan?

Kita ada, kita hidup, dan kita mati. Udah, gitu aja? Kita hidup tanpa tahu apa makna dari sebuah kehidupan, makna eksistensi/keberadaan sesuatu di, segudang fenomena-fenomena yang sering terjadi, kita hanya menjamahnya hanya sebatas kulitnya saja.

Jika diberi perntanyaan, "Siapa kamu?", spontan kita menjawabnya "Aku adalah manusia ciptaan Tuhan". Stop sampai disitu saja.

Namun apakah kita pernah berfikir jauh lebih dalam, ke dalam suatu kolam pemahaman diri yang membawa kita menyelam jauh lebih ke dasar yang menimbulkan suatu pertanyaan, "Apa arti keberadaanku?", "Buat apa aku ada?". Pernyataan-pernyataan seperti inilah yang sering digunakan orang-orang untuk dijadikan dasar pernyataan kedua di atas tadi, yaitu "bisa membuat gila".

Newton, dengan ketiga hukum dasar fisika yang dia buat; Hukum I Newton, Hukum II Newton, dan Hukum III Newton, merupakan suatu hasil pemikiran filosofis. "Mengapa suatu benda bergerak?". Jika dia dan manusia-manusia sampai beberapa dekade sesudahnya tidak berpikir secara filosofis mengenai suatu fenomena fisis, seperti ( "mengapa benda jatuh?", "Apa yang menyebabkan dia jatuh?"), "mengapa jatuhnya ke bawah?" maka mungkin sekarang kita masih menggunakan "daun untuk cebok" - *analogi.

Sesungguhnya berfikir filosofis bukanlah hanya sebatas itu, namun intinya adalah berpikir lebih dalam dan dalam, bukan hanya sampai luarnya saja. Seperti kata suatu kutipan "Kau tidak akan tahu isi sebuah buku dari hanya melihat sampulnya saja".

Berpikir dalam itu tidak lah salah, malah bagus untuk mengasah naluri berpikir manusia yang memang harus itu lah yang dia lakukan. Berpikir...dan berpikir..bernalar. Berpikir filosofis/berfilsafat tidak lah harus menemukan suatu ide/gagasan/paham mendunia seperti yang dilakukan para filsuf-filsuf Yunani kuno, seperti Aristoteles, Plato, Phytagoras, Archimedes, dll yang pada akhirnya (tidak jarang) dijadikan suatu ideologi/dasar pemikiran sesuatu orang atau bahkan kelompok. Bukan, di dalam berpikir filosofis/berfilsafat, kita hanya dituntut untuk bisa bernalar lebih jauh dan dalam akan sesuatu mengenai hal-hal mendasar. Dalam berfilsafat, yang diharapkan adalah penggabungan dari "Analitical Philosophy dan "Ekstensialism Philosophy".

Analytical Phylosophy/Filsafat Analitis memandang tugas berfilsafat adalah suatu bentuk gerakan penalaran atau penggunaan pemikiran-pemikiran logis untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sukar dalam hidup manusia dengan melalui "pernjernihan konsep-konsep kita" baik itu segala jenis pengaruh pemikiran tradisionil, dan segala konsep-konsep pemikiran rendah lainnya.

Adapun Filsafat Ekstensialisme memandang filsafat sebagai bentuk jalan hidup manusia. Di sini filsafat bertugas untuk menerangkan hakekat dan tujuan keberadaan manusia beserta segala kerumitannya.

Dari semua itu, sekilas, jelaslah tiga pemahaman tugas "berfilsafat" yang "patut" kita ketahui dari sekedar mengatakan filsafat adalah "pembuat gila".

Seorang filsafat yang baik (menurut Dr. Stephen Palmquist dalam buku Tree of Philoshophy) adalah penggabungan dari kedua pemahaman tugas filsafat di atas. Dipandang bahwa penjernihan konsep-konsep kita membawa ke arah tujuan hidup tertentu dan penjelasan akan jalan hidup ini harus diungkapkan secara gamblang dan jelas sehingga tidak jatuh dalam "jurang kegelapan".

Bagi saya, setiap manusia itu adalah seorang "filsuf" bagi dirinya sendiri. Dia bebas menentukan jalan hidupnya dan tentunya bebas memandang segala sesuatunya yang akhirnya membawanya kepada suatu pemahaman tersendiri akan sesuatu.

Salam


0
3K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan