- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Mengelola Rasa MARAH
TS
Pinky017
Mengelola Rasa MARAH
Agan-Agan Semua Pasti Pernah MARAH Kan?
Marah Itu Manusiawi. . .
Tetapi Bagaimana Cara Nya Supaya Kita Bisa Mengelola Amarah Kita
Menjadi Lebih Baik Lagi?
Baca Tips-Tips Nya Di Bawah Ini Ya Gan. . .
So. . . ?
Tunggu Apa Lagi. . .
Yuk Mulai Dari Sekarang Kita Kelola Ke MARAH An Kita. . .
Kalo Berkenan Bisa Gan. . .
Dan Kalo Threat Ane Di Rasa Bagus. . .
Bisa Kasih Ane CENDOL Gan. . . Haus Neh. .
Tapi Jangan Timpukin Ane Ya Gan. . .
KASKUSER Yang Baik Hati Nan Ganteng
Atau Cantik TIDAK NgeJUNK
Yang NgeJUNK Ane Sumpahin Mandul Selama HidupNya
Marah Itu Manusiawi. . .
Tetapi Bagaimana Cara Nya Supaya Kita Bisa Mengelola Amarah Kita
Menjadi Lebih Baik Lagi?
Baca Tips-Tips Nya Di Bawah Ini Ya Gan. . .
Quote:
Mengelola Rasa Marah
Rasa marah adalah salah satu refleks emosi yang universal bagi semua spesies manusia.
Sangat sulit menemukan orang yang belum pernah marah di sepanjang hidupnya.
Rasa marah tidak pandang usia, jenis kelamin, status sosial, status kesehatan, peran dalam keluarga, tingkat pendidikan, agama yang dianut, dsb.
Para rohaniwan yang sering terlihat tenang, teduh, dan santun pun tidak bisa terbebas dari rasa yang satu ini.
Secara psikologis marah adalah tanggapan emosi seseorang terhadap perasaan dan perlakuan yang tidak berkenan/tidak menyenangkan baginya.
Sumber penyebab rasa marah secara umum dapat dipilahkan menjadi dua :
diri sendiri (internal) dan luar diri (eksternal).
Yang bersumber dari diri sendiri,
misalnya perasaan ditolak, cemburu, kecurigaan, kecemasan, kekecewaan, keterancaman, dsb.
Sedangkan yang berasal dari luar diri, misalnya diejek, diumpati/dimaki, dipojokkan, dikritik, dikhianati, disakiti, terjebak kemacetan lalu-lintas, diperlakukan tidak adil, dsb.
Antara penyebab dari dalam diri dan dari luar diri sering berasosiasi secara langsung (misalnya, melihat istri berbicara mesra dengan rekan pria sekantor, kemudian terbakar rasa cemburu)
atau tidak langsung (misalnya, dikritik orang lain, kemudian kecewa pada kemampuan diri sendiri).
Keterkaitan antara penyebab internal dan eksternal dalam menimbulkan rasa marah bisa dalam bentuk reaksi fisiologis dan ekspresi emosional tak sengaja (bisa spontan),
yang disebabkan oleh kejadian tak menyenangkan ;
juga dapat disebabkan oleh pikiran dan ingatan yang muncul pada saat sebelum perasaan marah timbul.
Meskipun universal dan bersifat lintas individu, ekspresi rasa marah sangat beragam,
tergantung orang yang mengalaminya.
Bentuk ekspresi marah misalnya,
mengamuk berteriak-teriak, bicara sarkastis, memaki, makan berlebihan, mengunci diri di kamar, diam mengunci mulut.
Ada juga orang yang ketika marah justru bersikap tenang.
Menurut beberapa riset mengenai ekspresi emosi marah, banyak gaya, cara, dan ekspresi marah ternyata merupakan hasil “belajar sosial”, dan pada taraf tertentu bersifat khas kultural.
Keduanya sebenarnya saling terkait.
Hasil “belajar sosial” berarti cara banyak orang mengekspresikan rasa marahnya dipengaruhi oleh bagaimana orang lain/lingkungan (terutama orang-orang terdekat, seperti orangtua, pengasuh, dsb) mengekspresikan kemarahannya.
Bagaimana ekspresi ayah, ibu, kakak ketika marah akan dijadikan rujukan bagi anak ketika marah.
Bila ayah suka membanting piring misalnya, maka anak akan “mempraktikkan” perilaku membanting piring saat dilanda kemarahan.
Sering dalam “belajar sosial” berkaitan dengan ekspresi marah,
terjadi identifikasi peran jenis kelamin.
Ekspresi kemarahan anak perempuan akan merujuk pada bagaimana ekspresi sang ibu ketika marah.
Pun pada anak laki-laki akan lebih cenderung merujuk pada perilaku sang ayah, saat dilanda kemarahan.
Selain pengaruh “belajar sosial”, faktor kultural juga sering ditengarai sebagai pembeda ekspresi rasa marah.
Orang-orang dengan latar belakang budaya individualistik (misalnya, Amerika, Eropa) biasanya mengekspresikan rasa marahnya lebih eksplisit (terang-terangan dan lepas).
Sedangkan orang-orang dari latar belakang budaya kolektif (Indonesia, Jepang, Filipina) cenderung mengekspresikan rasa marahnya secara implisit (tersamar dan terkendali).
Terlepas dari temuan-temuan riset bahwa ekspresi rasa marah mungkin memang dipengaruhi oleh hasil “belajar sosial” atau pun sebagai produk khas kultural,
yang lebih riil untuk kita bahas di sini adalah bagaimana atau apa yang sebaiknya dilakukan bila rasa marah “menyerang” diri kita? Ada kiat alami yang bisa kita lakukan,
yaitu dengan tiga cara: mengungkapkan, menahan, dan meredakan.
Pertama, mengungkapkan.
Banyak psikolog menganjurkan cara ini,
karena dengan mengungkapkan berarti beban segera terlepas.
Syarat mengungkapkan rasa marah yang ideal,
si pelaku harus terbebas dari motif menyerang pihak lain/situasi.
Posisikan penyebab kemarahan pada posisi yang proporsional tanpa menyakiti orang lain atau pun diri sendiri.
Contohnya, seorang atasan menegur anak buahnya agar disiplin dalam bekerja.
Di sini, atasan menegur anak buah sebenarnya merupakan ungkapan amarah,
namun karena disampaikan dengan cara yang sesuai dan tepat maka amarah tersebut tidak dirasakan oleh orang yang dimarahi.
Kedua, menahan atau memendam.
Cara ini cukup bermanfaat bila orang yang marah berupaya bersikap positif dalam mencari pemecahan persoalan yang membuatnya marah.
Contohnya, ketika seorang anak merasa diperlakukan tidak adil oleh orangtua dengan tidak boleh menonton konser musik,
kemudian ia mencari pemecahannya dengan lebih berkonsentrasi pada tugas-tugas/kegiatan yang dapat melupakan rasa marahnya.
Cara semacam ini bisa efektif bila hanya sesekali dilakukan dan terbatas pada rasa marah yang berkaitan dengan hal-hal yang kurang prinsipil (misalnya, sebatas kekecewaan terhadap hal-hal teknis).
Bila sumber kemarahan adalah hal-hal yang lebih prinsipil. Misalnya, orangtua yang memegang teguh nilai-nilai moralitas, tiba-tiba mengetahui anaknya terlibat dalam jual beli wanita dari dan ke luar negeri,
dan orangtua menahan diri untuk tidak mengungkapkan kemarahan/menegurnya, dengan terus memendamnya.
Atau seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ia sangat marah,
namun tetap menahan diri ; maka akibatnya bisa lebih parah. Ibaratnya “menanam bom waktu”.
Bila tindakan memendam dilakukan terus-menerus, apalagi untuk sebab-sebab kemarahan yang cukup serius,
bisa berekses pada munculnya berbagai penyakit psikosomatis.
Ketiga, dengan meredakan. Di sini, “pelaku” berupaya mengendalikan sikap, perasaan, dan pikiran dengan tenang saat mengalami rasa marah. Kuncinya, dengan menyadari situasi/rasa marah yang tengah dialami,
dan dengan upaya yang disengaja mengendalikannya ke arah pikiran dan perasaan yang positif.
Pada umumnya orang-orang yang telah mencapai kematangan diri dan juga mereka yang telah “melampaui” tingkatan kebanyakan orang dalam kehidupan spiritualnya, akan lebih mampu melakukan tindakan “meredakan” amarah.
Biasanya mereka juga tidak mudah “terserang” kemarahan, betapa pun mengalami deraan problem dan perlakuan yang menyakiti atau menindasnya.
Para praktisi relaksasi-meditasi yang terlatih, banyak yang mampu menerapkan cara terakhir ini dengan baik.
Apakah mereka atau pun kita yang masih “tergolong orang-orang biasa” mampu menempuh cara ketiga ini saat mengalami rasa marah?
Tentunya tetap mungkin untuk itu,
asalkan kita mau berupaya untuk tetap menyadari semua jengkal perjalanan hidup ini.
Dari paparan sekilas tersebut,
jelaslah bahwa rasa marah yang sering kita alami dalam hidup ini sebenarnya memang manusiawi.
Namun, pemahaman ini jangan kemudian menjadi rujukan pembenaran bahwa rasa marah tetap kita biarkan menguasai setiap momen kehidupan.
Kita perlu mengelolanya sedemikian rupa,
sesuai dengan situasi dan semaksimal kemampuan yang kita bisa lakukan.
Marilah kita upayakan realisasinya.
Rasa marah adalah salah satu refleks emosi yang universal bagi semua spesies manusia.
Sangat sulit menemukan orang yang belum pernah marah di sepanjang hidupnya.
Rasa marah tidak pandang usia, jenis kelamin, status sosial, status kesehatan, peran dalam keluarga, tingkat pendidikan, agama yang dianut, dsb.
Para rohaniwan yang sering terlihat tenang, teduh, dan santun pun tidak bisa terbebas dari rasa yang satu ini.
Secara psikologis marah adalah tanggapan emosi seseorang terhadap perasaan dan perlakuan yang tidak berkenan/tidak menyenangkan baginya.
Sumber penyebab rasa marah secara umum dapat dipilahkan menjadi dua :
diri sendiri (internal) dan luar diri (eksternal).
Yang bersumber dari diri sendiri,
misalnya perasaan ditolak, cemburu, kecurigaan, kecemasan, kekecewaan, keterancaman, dsb.
Sedangkan yang berasal dari luar diri, misalnya diejek, diumpati/dimaki, dipojokkan, dikritik, dikhianati, disakiti, terjebak kemacetan lalu-lintas, diperlakukan tidak adil, dsb.
Antara penyebab dari dalam diri dan dari luar diri sering berasosiasi secara langsung (misalnya, melihat istri berbicara mesra dengan rekan pria sekantor, kemudian terbakar rasa cemburu)
atau tidak langsung (misalnya, dikritik orang lain, kemudian kecewa pada kemampuan diri sendiri).
Keterkaitan antara penyebab internal dan eksternal dalam menimbulkan rasa marah bisa dalam bentuk reaksi fisiologis dan ekspresi emosional tak sengaja (bisa spontan),
yang disebabkan oleh kejadian tak menyenangkan ;
juga dapat disebabkan oleh pikiran dan ingatan yang muncul pada saat sebelum perasaan marah timbul.
Meskipun universal dan bersifat lintas individu, ekspresi rasa marah sangat beragam,
tergantung orang yang mengalaminya.
Bentuk ekspresi marah misalnya,
mengamuk berteriak-teriak, bicara sarkastis, memaki, makan berlebihan, mengunci diri di kamar, diam mengunci mulut.
Ada juga orang yang ketika marah justru bersikap tenang.
Menurut beberapa riset mengenai ekspresi emosi marah, banyak gaya, cara, dan ekspresi marah ternyata merupakan hasil “belajar sosial”, dan pada taraf tertentu bersifat khas kultural.
Keduanya sebenarnya saling terkait.
Hasil “belajar sosial” berarti cara banyak orang mengekspresikan rasa marahnya dipengaruhi oleh bagaimana orang lain/lingkungan (terutama orang-orang terdekat, seperti orangtua, pengasuh, dsb) mengekspresikan kemarahannya.
Bagaimana ekspresi ayah, ibu, kakak ketika marah akan dijadikan rujukan bagi anak ketika marah.
Bila ayah suka membanting piring misalnya, maka anak akan “mempraktikkan” perilaku membanting piring saat dilanda kemarahan.
Sering dalam “belajar sosial” berkaitan dengan ekspresi marah,
terjadi identifikasi peran jenis kelamin.
Ekspresi kemarahan anak perempuan akan merujuk pada bagaimana ekspresi sang ibu ketika marah.
Pun pada anak laki-laki akan lebih cenderung merujuk pada perilaku sang ayah, saat dilanda kemarahan.
Selain pengaruh “belajar sosial”, faktor kultural juga sering ditengarai sebagai pembeda ekspresi rasa marah.
Orang-orang dengan latar belakang budaya individualistik (misalnya, Amerika, Eropa) biasanya mengekspresikan rasa marahnya lebih eksplisit (terang-terangan dan lepas).
Sedangkan orang-orang dari latar belakang budaya kolektif (Indonesia, Jepang, Filipina) cenderung mengekspresikan rasa marahnya secara implisit (tersamar dan terkendali).
Terlepas dari temuan-temuan riset bahwa ekspresi rasa marah mungkin memang dipengaruhi oleh hasil “belajar sosial” atau pun sebagai produk khas kultural,
yang lebih riil untuk kita bahas di sini adalah bagaimana atau apa yang sebaiknya dilakukan bila rasa marah “menyerang” diri kita? Ada kiat alami yang bisa kita lakukan,
yaitu dengan tiga cara: mengungkapkan, menahan, dan meredakan.
Pertama, mengungkapkan.
Banyak psikolog menganjurkan cara ini,
karena dengan mengungkapkan berarti beban segera terlepas.
Syarat mengungkapkan rasa marah yang ideal,
si pelaku harus terbebas dari motif menyerang pihak lain/situasi.
Posisikan penyebab kemarahan pada posisi yang proporsional tanpa menyakiti orang lain atau pun diri sendiri.
Contohnya, seorang atasan menegur anak buahnya agar disiplin dalam bekerja.
Di sini, atasan menegur anak buah sebenarnya merupakan ungkapan amarah,
namun karena disampaikan dengan cara yang sesuai dan tepat maka amarah tersebut tidak dirasakan oleh orang yang dimarahi.
Kedua, menahan atau memendam.
Cara ini cukup bermanfaat bila orang yang marah berupaya bersikap positif dalam mencari pemecahan persoalan yang membuatnya marah.
Contohnya, ketika seorang anak merasa diperlakukan tidak adil oleh orangtua dengan tidak boleh menonton konser musik,
kemudian ia mencari pemecahannya dengan lebih berkonsentrasi pada tugas-tugas/kegiatan yang dapat melupakan rasa marahnya.
Cara semacam ini bisa efektif bila hanya sesekali dilakukan dan terbatas pada rasa marah yang berkaitan dengan hal-hal yang kurang prinsipil (misalnya, sebatas kekecewaan terhadap hal-hal teknis).
Bila sumber kemarahan adalah hal-hal yang lebih prinsipil. Misalnya, orangtua yang memegang teguh nilai-nilai moralitas, tiba-tiba mengetahui anaknya terlibat dalam jual beli wanita dari dan ke luar negeri,
dan orangtua menahan diri untuk tidak mengungkapkan kemarahan/menegurnya, dengan terus memendamnya.
Atau seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan ia sangat marah,
namun tetap menahan diri ; maka akibatnya bisa lebih parah. Ibaratnya “menanam bom waktu”.
Bila tindakan memendam dilakukan terus-menerus, apalagi untuk sebab-sebab kemarahan yang cukup serius,
bisa berekses pada munculnya berbagai penyakit psikosomatis.
Ketiga, dengan meredakan. Di sini, “pelaku” berupaya mengendalikan sikap, perasaan, dan pikiran dengan tenang saat mengalami rasa marah. Kuncinya, dengan menyadari situasi/rasa marah yang tengah dialami,
dan dengan upaya yang disengaja mengendalikannya ke arah pikiran dan perasaan yang positif.
Pada umumnya orang-orang yang telah mencapai kematangan diri dan juga mereka yang telah “melampaui” tingkatan kebanyakan orang dalam kehidupan spiritualnya, akan lebih mampu melakukan tindakan “meredakan” amarah.
Biasanya mereka juga tidak mudah “terserang” kemarahan, betapa pun mengalami deraan problem dan perlakuan yang menyakiti atau menindasnya.
Para praktisi relaksasi-meditasi yang terlatih, banyak yang mampu menerapkan cara terakhir ini dengan baik.
Apakah mereka atau pun kita yang masih “tergolong orang-orang biasa” mampu menempuh cara ketiga ini saat mengalami rasa marah?
Tentunya tetap mungkin untuk itu,
asalkan kita mau berupaya untuk tetap menyadari semua jengkal perjalanan hidup ini.
Dari paparan sekilas tersebut,
jelaslah bahwa rasa marah yang sering kita alami dalam hidup ini sebenarnya memang manusiawi.
Namun, pemahaman ini jangan kemudian menjadi rujukan pembenaran bahwa rasa marah tetap kita biarkan menguasai setiap momen kehidupan.
Kita perlu mengelolanya sedemikian rupa,
sesuai dengan situasi dan semaksimal kemampuan yang kita bisa lakukan.
Marilah kita upayakan realisasinya.
So. . . ?
Tunggu Apa Lagi. . .
Yuk Mulai Dari Sekarang Kita Kelola Ke MARAH An Kita. . .
Kalo Berkenan Bisa Gan. . .
Dan Kalo Threat Ane Di Rasa Bagus. . .
Bisa Kasih Ane CENDOL Gan. . . Haus Neh. .
Tapi Jangan Timpukin Ane Ya Gan. . .
KASKUSER Yang Baik Hati Nan Ganteng
Atau Cantik TIDAK NgeJUNK
Yang NgeJUNK Ane Sumpahin Mandul Selama HidupNya
0
2.1K
Kutip
20
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan