sadochieAvatar border
TS
sadochie
Ketika Si Macan Terusik Tari Telanjang Tanpa Rangsang di Salihara
Tari telanjang alias streaptease masih tabu di Indonesia meskipun fenomena itu sudah mewabah di berbagai tempat hiburan malam. Tari telanjang, apapun bentuknya, dipastikan tidak mendapat tempat di hati khalayak umum. Namun, bagi Komunitas Salihara, menampilkan tari telanjang adalah sah-sah saja, selama masih dibungkus dalam kreativitas seni.

KENYATAAN inilah yang membuat pemilik akun twitter @TrioMacan2000 yang kerap menimbulkan kontroversial di jagat maya, merasa terusik dengan Festival Salihara Keempat, yang digelar di markas Salihara, Jakarta Selatan, Selasa (9/10). Menurut Si Macan, festival bertajuk Amour, acide, et noix tersebut, telah menampilkan atraksi porno. “Pentas tari tanpa busana / telanjang Daniel Leveille selasa 9/10, komunitas Salihara TEMPO jadi ajang pornografi,” kicau Si Macan, dalam beberapa kesempatan.

Si Macan tampak kecewa karena pementasan yang diikuti 230-an orang dengan tiket masuk Rp 50.000 (mahasiswa) dan Rp 100.000 (umum) itu seolah luput dari pantauan media massa. Ia bahkan menyebut sebuah kelompok media besar di Tanah Air, yang justru berada di balik pementasan itu. Diketahui, festival itu sendiri memang disponsori beberapa media massa terkemuka di Indonesia.

Berdasarkan informasi yang dirilis Salihara.org, festival itu memang menampilkan tarian telanjang. Akan tetapi, lanjut Salihara, tubuh telanjang tidak selalu menjadikan pelihatnya terangsang. Tari telanjang pun juga tak selalu berkutat dalam bingkai erotis pemancing syahwat.

Dalam konteks ini, Amour, acide, et noix (2001) dari Daniel Léveillé Danse (Kanada) menjadi contohnya. Penampilan mereka dalam Festival Salihara Keempat Selasa (09/10) lalu memukau 230-an penonton di Teater Salihara.

Selama 60 menit, empat penari, salah satunya perempuan, menunjukkan ketelanjangan memberikan keleluasan penontonnya melihat detail tubuh seperti otot, tarikan napas perut dan dada, hingga cucur keringat sebagai bagian penting dari sebuah koreografi. Dada membusung dan otot perut mengencang seiring tarikan napas, gelayut pantat usai sebuah gerak melompat, dan bergoyangnya buah zakar atau buah dada saat tubuh bertumpu pada satu kaki mustahil terlihat pada tubuh berbalut kostum.

"Bagi kami tubuh telanjang adalah bagian dari kostum. Ketelanjangan adalah kostum itu sendiri," ujar Justin Gionet, salah satu penari Amour, acide, et noix (2001) dari Daniele Leveille Danse.

Justin tak menampik keterkejutan penonton yang muncul di awal pentas saat bersama tiga kawannya dia muncul telanjang bulat di atas panggung. Ragam persepsi umum dalam pikiran penonton tentang tubuh polos secara alamiah memantikkan keterkejutan itu.

"Bagi kami, tampil tanpa busana di depan banyak pasang mata adalah keharusan untuk membawakan Amour, acide, et noix. Tidak ada bedanya dengan saat tampil berpenutup tubuh saat membawakan karya Daniele lainnya," kata Lucie Vigneault, satu-satunya penari perempuan pada pentas itu.

Karya ini memang menyorong kulit manusia sebagai kostum yang sejati dalam penjelajahan tubuh. Dengan konsep semacam itu, tubuh telanjang jelas menjadi satu-satunya cara untuk mementaskannya. Selain Lucie dan Justin, masih ada Jean Francois Deziel dan Emmanuel Proulx sebagai penari dalam karya yang memenangkan Dora Mavor Moore Award (2004) dalam ketegori “Outstanding New Choreography” dari Toronto Alliance for the Performing Arts

Maria Darmaningsih, pegiat tari, yang ada di antara ratusan penonton usai pementasan menyebut Amour, acide, et noix sebagai karya mengesankan. “Teknik yang mereka kuasai sangat baik. Sepanjang pementasan, tidak ada tanda atau isyarat tertentu di antara penari pada setiap gerak dengan tetap menghasilkan ketepatan rangkaian gerak itu sendiri. Itu tidak mudah,” katanya.

Jika ketepatan itu tidak terjadi, rangkaian gerak bisa menjadi berantakan. Maria menyebut, Amour, acide, et noix sangat pas dipentaskan pada gedung teater black box seperti Teater Salihara. Gedung berdesain seperti itu memudahkan penonton di atas kursi duduknya melihat secara utuh gerak demi gerak penari di atas panggung.

Sebagai sebuah koreografi, Amour, acide, et noix memiliki cerita yang tidak linear. Kisah perjuangan manusia di tengah kesepian agar hidup terus berlanjut menjadi inti dari narasi gerak sepanjang pementasan. Sesuai dengan cerita, gerak di atas pentas tidak melulu lembut, apalagi gemulai.

Empat penari bergantian menjelajahi sudut-sudut panggung, melompat, meloncat, berguling, berdiri dengan satu kaki, berjejalan sembari tengkurap, menekuk badan, memutar tubuh, dan saling menopang. Di beberapa bagian, perjuangan keras akibat satu kaki bergetar menahan keseimbangan tubuh agar tak jatuh tampak dengan jelas. Tak jelas apakah itu bagian dari koreografi atau memang karena sulitnya gerakan.

Daniel Léveillé adalah penari, koreografer, guru, dan perupa. Ia mendirikan Daniel Léveillé Danse di Québec, Kanada, pada 1991, setelah sebelumnya mendirikan kelompok tari dengan nama lain dan bekerja sebagai koreografer independen.

Sebagai Direktur Artistik Daniel Léveillé Danse ia telah meraih banyak pengakuan internasional lewat Amour, acide, et noix. Karya ini juga pernah meraih Public Dance Award pada “Dance Week Zagreb” yang diadakan oleh Croatian Institute for Movement and Dance, Kroasia.

Bersama La pudeur des icebergs (2004) dan Crépuscule des océans (2007) ia telah menjadi bagian trilogi Anatomy of Imperfection yang ditampilkan di Dance Venice Biennale (2010). Pementasan ini didukung oleh Conseil des arts et des lettres du Québec and Canada Concil for the Arts.

Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008, dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia. Berlokasi di atas sebidang tanah seluas sekitar 3.800 m2 di Jalan Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, kompleks Komunitas Salihara terdiri atas tiga unit bangunan utama: Teater Salihara, Galeri Salihara, dan ruang perkantoran.

Saat ini, Teaterblackbox Salihara adalah satu-satunya yang ada di Indonesia. Pada saat ini kompleks Komunitas Salihara sedang diperluas dengan tambahan fasilitas untuk studio latihan, wisma seni dan amfiteater.

Komunitas Salihara dibentuk oleh sejumlah sastrawan, seniman, jurnalis, dan peminat seni. Sejak berdiri, Komunitas Salihara telah menampilkan berbagai macam acara seni dan pemikiran; sebagian datang dari mancanegara, dan berkelas dunia pula.

Komunitas Salihara banyak dikunjungi masyarakat yang ingin menikmati program-program kesenian dan pemikiran, klasik dan mutakhir, dan bermutu tinggi. Di samping itu, Komunitas Salihara menjadi tempat berkumpul bagi berbagai kelompok minat seperti sastrawan, pembuat film, koreografer, arsitek muda, peminat filsafat, penerjemah, pencinta buku, dan lain-lain.

Komunitas Salihara dapat juga disebut pusat kebudayaan alternatif: ia tidak dimiliki oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, ataupun kedutaan asing. Sedangkan visi Komunitas Salihara adalah memelihara kebebasan berpikir dan berekspresi, menghormati perbedaan dan keragaman, serta menumbuhkan dan menyebarkan kekayaan artistik dan intelektual.

Komunitas Salihara dibantu berbagai lembaga, terutama lembaga swasta maupun perorangan. Di samping itu Komunitas Salihara selalu berusaha bekerjasama dengan sejumlah lembaga asing, seperti pusat kebudayaan asing yang ada di Jakarta untuk mendatangkan sejumlah kelompok ke Indonesia.


TKP
0
44.8K
313
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan