Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ibenroesAvatar border
TS
ibenroes
Rekam Jejak Gempa Pada Terumbu Karang
Setiap kali terjadi gempabumi yang besar, biasanya akan diikuti oleh perubahan permukaan tanah yang dalam bahasa ilmiah sering disebutkan dengan istilah Ground Deformation. Ground Deformation berupa naik (up-lift) atau turun (down-lift) permukaan tanah, dan sekarang ini bisa diamati dengan menggunakan teknologi GPS Geodetik yang memiliki akurasi dan presisi yang sangat tinggi. Namun menjadi tantangan tersendiri bagi ilmuan kebumian untuk mengetahui kejadian-kejadian gempa masa lalu berdasarkan Ground Deformation yang terjadi pada saat itu. Tantangan ini harus dijawab karena dengan mengetahui gempa masa lalu mudah-mudahan kita bisa menduga-duga kapan lagi gempa itu akan terjadi karena ilmuan gempa menyakini bahwa gempa itu memiliki sebuah siklus yang disebut earthquake circle.

Microatolls Sebagai Paleogeodetik

D. R. Stoddart dan T. P. Scoffin melalui publikasinya pada Atoll Research Bulletin No. 224 Tahun 1979 dengan judul “Microatolls: Review of Form, Origin and Terminology” mengatakan bahwa terumbu karang microatolls pertama sekali didefinisikan oleh Darwin (1842), Dana (1872 dan 1875), Semper (1880 dan 1889) dan Gruppy (1886) sebagai kepala koral atau blok koral yang tumbuh sampai batas terendah muka air laut. Microatolls pada awal pertumbuhannya terus tumbuh sampai mencapai permukaan air dan selanjutnya akan tumbuh ke samping. Bentuk permukaan laut yang terdiri dari banyak terumbu karang dan landai merupakan tempat yang ideal untuk terbentuknya sebuah terumbu karang microatolls.


Gambar 1. Gambar microatoll bentuk topi dan mangkok serta perubahannya akibat muka air laut yang dimodifikasi dari Scoffin and Stoddart tahun 1978 (sumber: Zachariasen, 2000)


Terumbu karang microatolls ini sangat bagus digunakan untuk mengamati perubahan muka air laut karena mencairnya es di kutub. Namun perlu menjadi cacatan bersama bahwa terbentuknya terumbu karang microatolls yang bertingkat tidak hanya dipengaruhi oleh mencair dan membekunya es di kutub tetapi juga dipengaruhi oleh up-lift dan down-lift permukaan tanah sesaat setelah gempabumi terjadi, terlebih lagi gempa-gempa di kawasan zona subduksi. Apabila di suatu kawasan terus tejadi penurunan permukaan tanah maka akan terbentuk terumbu karang microatolls “mangkok” atau “cup” dan apabila terjadi kenaikan permukaan tanah maka akan terbentuk microatolls “topi” atau “hat” seperti gambar di atas.

Bentuk microatolls yang bertingkat-tingkat bisa menjadi alat pengukur kenaikan permukaan tanah yang terjadi pada zaman purba atau dalam istilah ilmiahnya disebut sebagai paleogeodetik. Kapan gempabumi terjadi juga bisa diperkiraan dari Annual ring (cincin tahun) yang ada di terumbu karang tersebut. Annual ring ini terbentuk karena perbedaan densitas terumbu karang yang disebabkan perbedaan musim (kemarau dan penghujan).

Naik-Turun Pulau Mentawai

Sejak bulan Juli 1994 dan Januari serta Februari 1996, Prof. Kerry Sieh dan Zachariasen bersama kawan-kawannya mulai melakukan penelitian tentang perubahan bentuk terumbu karang microatolls untuk mengamati kejadian gempabumi masa lalu di kawasan kepulauan Mentawai. Pada tahun 2000, Kerry Sieh bersama kawan-kawan memublikasinya hasil penelitiannya di Bulletin of Seismology Society of America yang berjudul “Modern Vertical Deformation above the Sumatran Subduction Zone: Paleogeodetic Insights from Coral Microatolls”.

Setelah mereka menganalisa 7 buah terumbu karang microatolls dimana 5 terumbu diambil di lokasi pantai busur luar kepulauan Mentawai dan 2 terumbu karang diambil di pantai utama. Dari hasil tersebut mereka menemukan bahwa Kepulau Mentawai sedang turun dengan kecepatan 4-10 mm/tahun selama 4 – 5 dekade terakhir. Di beberapa tempat juga dijumpai terumbu microatolls yang tumbuh lebih dari 1 meter. Ini mengindikasi bahwa penurunan Mentawai sudah lama terjadi.

Kejadian yang sangat kontras terjadi di pantai barat sumatra (Sumantra Barat dan Bengkulu) dimana penurunan tidak terjadi. Penurunan yang hanya terjadi di sekitar pulau Mentawai bisa jadi mengindikasikan bahwa telah terjadi akumulasi energi sekian lama dan belum lepas di sekitar pulau Mentawai. Lock yang terjadi sekitar zona tunjaman menyebabkan Mentawai tertarik ke bawah sampai saat ini belum lepas. Jadi kalau kawan-kawan pernah dengar bahwa selama ini para ilmuan sangat was-was terhadap pulau Mentawai, ya sangat wajar karena sejak tahun 2000 para ilmuan gempa sudah menunggu gempa Mentawai tetapi tahun 2004 malah terjadi di kampung kelahiran penulis (Aceh.) Energi gempa yang terakumulasi di sekitar kepulauan Mentawai sampai ini belum lepas, kesiapsiagaan warga sekitar pulau Mentawai dan Sumatra bagian barat wajib ada dan mutlak disiapkan. Apa yang harus disiapkan sebelum, ketika dan setelah gempa terjadi bisa baca di Blog Melek Bencana

Namun satu hal yang kita ingat bersama bahwa sampai saat ini belum ada ilmu yang bisa memprediksi gempa dengan tepat. Yang mampu ilmuan lakukan adalah memprediksi dimana kawasan-kawasan yang memiliki tingkat tegangan dan regangan yang memungkinkan akan terjadinya gempa. Seperti kasus Mentawai, kita tidak tahu pasti kapan akan terjadi tapi kita menyakini kemungkinan akan terjadi di masa yang akan datang.

Bacaan terkait:
[list=1]
[*]
[/list]Mencari Kawasan Berpotensi Gempa Dgn Google Earth

[list=2]
[*]
[/list]Memahami Banjir Bandang Padang

[list=3]
[*]
[/list]Si Pemantau Gelombang Tsunami


Sumber

0
1.6K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan