Sering kita lakukan pendakian ke gunung, tujuan mendaki gunung adalah pencapaian titik tertinggi. Namun kita juga menyadari bahwa untuk mencapai itu semua perlu adanya persiapan-persiapan yg matang, mulai persiapan fisik, psikologis, logistik dsb agar kita bisa menggapai semua itu

Banyak orang yg mendaki gunung dg berbagai macam tujuan, ada yg niat muncak, ada yg cuma sampai di suatu tempat diantara titik awal perjalanan~puncak, ada pula yg tujuannya adalah sampai rumah dg selamat

Niat awal pendakian adalah muncak gunung tersebut, tapi tanpa kita duga terjadi situasi diluar dugaan kita. Misalnya gunung meletus, longsor, kebakaran dll sehingga pengelola dengan sangat terpaksa menutup sebagian/seluruh kawasan. Ada pula yg terserang musibah penyakit, kehabisan logistik, kecapekan hingga tenaga kita ngedrop atau terjadi kecalakaan ditengah perjalanan sehingga perjalanan tersebut menjadi terhenti (pause) atau balik kanan grak :





Suatu rombongan/tim harus terkoordinasi dg baik agar perjalanan tersebut dapat dilaksanakan dg lancar. Misal pada etape pos terakhir menuju puncak, di tengah perjalanan ada yg sakit sehingga dg sangat terpaksa seseorang itu tidak dapat melanjutkan
Kita dihadapkan dg berbagai pilihan, nekat membopong orang yg sakit tadi berjalan dg segudang resikonya, mungkin teriming-iming puncak ada di depan mata (tanggung nih). Mungkin dia ditinggal sendiri/ditemani beberapa personil, atau seluruh tim membatalkan niat menuju puncak?

Nah, pada tahap ini emosi kita diuji. Bila puncak gunung ditutup untuk pendakian otomatis kita harus mematuhinya. Namun kalo ada teman kita yg sakit apakah kita membatalkan niat ke puncak?
Banyak yg beranggapan suatu rombongan harus kompak, kalo muncak ya semua ikut, kalo gak bisa muncak semua juga gak muncak. Apakah hal ini adil?

Itu semua kita kembalikan ke masing-masing individu



Niat kita adalah mencapai suatu tempat, tapi gak bisa mencapainya karena alasan tertentu
Tidak cuma di gunung saja, di pantai, goa, pulau dll juga boleh sharing



Monggo pendapatnya